Sunday 25 May 2008

Vagina & Penis (Komersil)

Semenjak manusia diciptakan Tuhan (lebih tepatnya semenjak ibu hawa mendampingi ayah Adam), manusia memang ditakdirkan untuk memiliki kebutuhan biologis. Pemenuhan kebutuhan biologis itu sendiri telah diatur Tuhan, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan layaknya binatang. Sayang, kenyataannya tidak seindah itu. Kebutuhan biologis ternyata dapat diperdagangkan, untuk memenuhi kebutuhan dasar lain yang lebih penting yaitu pangan, sandang dan papan. Memperdagangkan kebutuhan biologis dianggap sebagai sebuah dosa besar. Tapi apakah benar begitu ?

Memang tidak semua wanita maupun pria memperdagangkan kebutuhan biologis (melacur) demi mempertahankan hidup, ada juga yang melacur demi mengejar kekayaan atau materi itu sendiri. Semuanya beralasan terdesak atau ‘didesak’ oleh keadaan. Saya harap anda dapat membedakan kata terdesak dan ‘didesak’. Ya, yang membedakan adalah faktor kesengajaan dan niat.

Permisalan keadaan terdesak adalah sebagai berikut. Tuti seorang anak dengan tiga orang tanggungan hidup, yaitu seorang ibu dan 2 orang adik. Suatu ketika, ibu Tuti jatuh sakit dan setelah didiagnosis ternyata kondisinya membutuhkan perawatan lebih dan kemungkinan diperlukan operasi. Ibu Tuti sehari-hari bekerja sebagai penjaja makanan keliling yang tidak memiliki cukup dana untuk membiayai penyakitnya, serta beban hidup bagi ketiga anaknya. Setelah Tuti berusaha kesana kemari untuk memperoleh pinjaman, dan hasilnya tidak akan mencukupi biaya pengobatan Ibunya, maka Tuti memutuskan untuk menjual keperawanannya dan melacur. Tuti melakukan itu semua demi menyelamatkan nyawa ibu dan kelangsungan hidup dua orang adiknya. Saya sepakat, bahwa permisalan ini adalah sebuah kondisi dimana seorang Tuti terdesak.oleh keadaan.

Permisalan keadaan didesak adalah sebagai berikut. Anne adalah seorang anak yang duduk di bangku sekolah menengah. Anne hidup di dua lingkungan yang berbeda. Anne berasal dari lingkungan masyarakat dan keluarga yang pas-pasan (bisa makan sehari sekali saja sudah syukur). Sedangkan Anne belajar di lingkungan sekolah yang elite, yang kebanyakan berasal dari kalangan kelas atas dan ‘berotak’. Tidak dipungkiri, Anne berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda strata sosial-ekonominya. Dari pandangan riil kehidupan sehari-hari, maka lambat laun hal itu beralih kepada pandangan hidup. Anne pun tidak sanggup menerima ‘kemiskinan’ yang membelenggu dirinya. Demi mensejajarkan diri, dalam hal cara pandang dan gaya hidup seperti teman-temannya, maka Anne menjual keperawanan dan melacurkan dirinya. Pada kondisi ini, saya sepakat bahwa Anne didesak oleh keadaaan. Pernyataan ‘didesak’ menyiratkan bahwa sebetulnya ada pilihan bagi Anne untuk memilih jalan hidupnya. Dan Anne memilih untuk melacur.

Sejujurnya, tulisan ini diinspirasi oleh Metropolis Cover Story di Jawa Pos sebanyak 2 seri back to back pada 18 dan 19 Mei 2008. Dalam rubrik tersebut, dideskripsikan fenomena tentang grey chicken atau lebih dikenal sebagai pelacur pelajar. Pada seri pertama dijelaskan tentang pelacur yang didesak keadaan. Sedangkan pada seri kedua dijelaskan tentang pelacur yang terdesak oleh keadaan. Saya sendiri sebetulnya emoh membedakan makna didesak dan terdesak. Hal itu karena bedanya ukuran saya dengan orang lain, bahkan dengan Tuhan mengenai standard kata ‘desak’. Dalam dua seri back to back tersebut, keduanya membuat hati saya benar-benar terbelah dua. Pada seri pertama saya benar-benar dibuat jengkel, sedangkan pada seri kedua saya benar-benar dibuat trenyuh (tapi tetep jengkel juga sih ?).

Pada seri pertama, dijelaskan bahwa mereka melacurkan diri hanya sebatas untuk bisa mengikuti gaya hidup sinetron dengan handphone dan laptop. Bila perlu, mereka secepatnya berambisi untuk membeli mobil dan rumah mewah. Dan itu bisa dilakukan, seri kedua membuktikan itu ! Bahkan dalam ‘operasional’ bisnisnya mereka juga tidak segan-segan menipu pelanggan dengan berbagai trick agar bisa dibilang ‘perawan’. Jadi kasarnya, mereka yang mengaku pelacur pelajar ini sebetulnya adalah perawan jadi-jadian. Ada yang keperawanannya direnggut pacar sendiri, ada juga yang benar-benar direnggut oleh si hidung belang.

Pada seri kedua, dijelaskan bahwa salah seorang legenda pelacur pelajar menyatakan telah ‘berhenti’ dan hanya memberikan service khusus kepada beberapa langganannya yang exclusive. Alasannya sebagai balas budi, karena hidung belang exclusive itulah yang bisa membuatnya hidup ‘enak’ sekarang. Si legenda ini, alasannya melacur bolehlah saya bilang ke dalam kategori terdesak. Maklum, ketika melacurkan diri dia mengalami kejadian yang cukup mengejutkan. Dan secara otomatis membuat keluarganya tidak memiliki penghasilan apapun untuk menghidupi beban hidup keluarga. Selanjutnya, diceritakan kejadian-kejadian yang cukup memberi kita pengertian tentang sisi lain dunia si legenda. Satu hal yang cukup membuat saya jengkel kepada dia adalah ucapan yang menyatakan bahwa dia ‘senang’ dengan kehidupannya sekarang, dan rela jadi ‘bekas’ orang jelek-jelek daripada bekas orang baik-baik.

Tapi … ya sudahlah …

Jujur saja, saya kadang merasa pilu kenapa banyak orang menyadari dan melakukan suatu kejahatan, tapi tidak mengakui kejahatannya. Saya ini penggemar bokep dan komik porno, jika saya ditanya tentang “Apakah kamu merasa salah dan bersalah atas kegiatan yang kamu lakukan ?”, maka jawaban saya cukup singkat, “YA!”. Andaikata saya seorang pelacur, saya setuju bahwa saya bersalah, tapi saya tidak akan merasa bangga dengan mengatakan, “Itu bagian dari jalan hidup saya. Lagipula saya tidak akan bisa hidup enak kalau tidak melakukan pekerjaan itu. Lebih baik jadi bekas orang jelek-jelek daripada bekas orang baik-baik.”

Ah … dunia ini memang kompleks … dan di dalamnya kebenaran dan kejahatan adalah seperti dua sisi mata uang. Sulit bagi saya untuk menjustifikasi orang lain apalagi diri saya sendiri. Sebab, nilai kebenaran hakiki hanya Tuhan yang tahu, rahasia kehidupan, janji surga dan ancaman neraka adalah hal-hal ‘kuno’ yang tidak konkrit dan tidak memiliki wujud nyata, semuanya imajiner. Agaknya, slogan mau untung besar maka korbannya juga harus besar, itu benar adanya. Sekalipun pengorbanan itu agaknya menyakiti jiwa dan keyakinan kita akan kebenaran sejati … yang terkucil di pojok hati.

Belum cukup sampai di situ, banyak ketakutan lain yang harus dihadapi dalam menjalani hidup ini. Jujur saja saya takut dengan arah pikir dan cara pandang kita yang didominasi oleh nilai-nilai materi yang positivistik dan maskulin. Terbukti sudah, bahwa gaya pikir anak-anak muda zaman sekarang adalah gaya pikir yang sangat pragmatis (keseharian), instant, dan cenderung mengacuhkan nilai-nilai moral. Saya tidak pernah menyatakan bahwa bersikap rasional itu buruk, malah dalam era digital sekarang sikap rasional dan logis akan mengantarkan manusia pada kesuksesan. Tapi sukses itu sendiri apa ? Buat saya, sukses itu adalah ketenteraman bathin yang tidak melupakan ketenteraman lahir. Jadi, bagi saya nilai-nilai moral dan sikap rasional dibutuhkan secara seimbang, komplementer, dan bukan bersifat saling substitutif secara mendominasi.

Pola pikir yang ‘ajaib’ terutama dalam kasus-kasus pelacuran akan terus berkembang, dengan ‘paket’ yang kian hari kian inovativ. Bukan hanya untuk menangguk keuntungan dari penjualan penis dan vagina semata, namun juga untuk mensahihkan eksistensi mereka sebagai bagian dari lingkup sosial-ekonomi-budaya di belahan dunia manapun. Fenomena itu terbukti benar, dan kian hari kian menguat. Mereka yang bergerak di bidang pelacuran ini bahkan telah merenggut banyak keperawanan gadis-gadis di bawah umur. Saya tak peduli lagi dengan alasan, mengapa mereka me;acur ? tokh mereka juga berpikir EGP kepada saya. Tapi saya juga berhak menuntut tempat kepada mereka …

Saya paham bahwa perawan bukan hanya soal selaput dara !!! Perawan adalah soal yang kompleks terutama dalam domain ke-tradisi-an di negeri ini. Oke !!! Saya harus mengaku bahwa saya termasuk ke dalam kalangan tradisionalis itu, walaupun juga bisa dibilang menjalani proses metamorfosis ke arah progresiv thinking. Oke, selaput dara sobek ! Tapi disebabkan oleh apa ? Apakah disetubuhi (diperkosa) ? Atau menjual diri ? Apakah dilakukan dengan niat suka-sama-suka ? Atau keterpaksaan ? Jujur saja, saya belum bisa menerima seorang gadis yang telah kehilangan keperawanan karena bersetubuh dengan laki-laki lain. Saya tidak pernah berharap mendapatkan gadis semacam itu sebagai istri.

Terkadang saya mencoba berpikir sebijaksana mungkin untuk menanyakan masalah ini kepada diri saya sendiri. Saya ingin sesekali memikirkan ini, untuk meredam emosi saya jika akhirnya diketahui bahwa istri saya memang punya sejarah ‘kelam’. Saya mencoba berpikir bijaksana, antara harga diri saya sebagai lelaki yang dapat barang ‘bekas’, dengan nilai-nilai komitmen dalam sebuah pernikahan. Semua itu karena pernikahan bukan hanya soal seks semata, namun lembar baru ‘kehidupan bersama’ sampai mati. Yang di dalamnya sebuah keluarga akan bertumbuh bersama baik dari sisi kuantitas juga kualitas. Kasarnya, saya ingin punya istri yang bisa saya sayang dan saya bina menjadi manusia yang lebih baik daripada sebelum waktu menikah. Begitu juga harapan istri saya kepada saya. Saya akan berjuang menjadi lelaki yang lebih baik bagi istri dan anak-anak saya.

Namun, kini sebagai lelaki normal yang mampu membaca perkembangan prostitusi dan pergaulan remaja zaman sekarang, hati saya jadi gundah. Saya jadi punya pikiran ‘jangan-jangan’ … Jangan-jangan calon istri saya tidak perawan ? Jangan-jangan saya dapat ‘barang bekas’ ? Jangan-jangan calon istri saya masih akan ‘giat’ bersetubuh dengan lelaki lain ? Jangan-jangan saya tidak mencintai calon istri saya dan hanya menginginkan tubuhnya, sama halnya dengan lelaki hidung belang ?! Jangan-jangan saya memang hidung belang ? Jangan-jangan …

Salam …

Tuesday 20 May 2008

Centenial of Nation Awakening

Tepat 1 abad sudah, negeri ini melintasi titik kebangkitan nasional. Satu waktu yang cukup jauh dari sebuah kondisi yang boleh dibilang ‘menyedihkan’ sebagai sebuah titik tolak. Ketika nation awakening ditasbihkan pada 20 Mei 1908, kita tidak mengenal apa itu nation ? Apa itu kesatuan ? Waktu itu, setelah makna nasionalitas dipahami, baru kemudian muncul pemikiran-pemikiran untuk berontak melawan penjajahan -Belanda- yang merampas hak-hak sosial keekonomian. ‘Pemberontakan’ itulah yang kita maknai sebagai titik balik atau kebangkitan.

Setelah satu abad berlalu, makna kebangkitan jadi berbeda. Kebangkitan tidak lagi berarti berontak mengangkat senjata kepada penjajahan yang kasat mata. Kebangkitan memiliki makna lain, yaitu bergerak maju, bersaing dan beradu-cerdik, bukan hanya antar nation tapi juga antar sesama kita, sesama bangsa Indonesia. Kebangkitan dengan makna baru ini, mungkin sulit dipahami bagi sebagian masyarakat Indonesia. Maklum, semenjak masih bocah, manusia Indonesia -melulu- diajari sopan santun tapi tidak mengenal toleransi, diajari bahwa bersaing sama dengan bertengkar. Tapi yang paling parah adalah menyatakan secara implisit bahwa bangsa asing adalah bangsa penjajah dan untuk itu mereka harus dimusuhi.

Manusia Indonesia belajar bersopan santun, tapi tidak sanggup menetapkan garis antara membela keyakinan dengan melawan. Akibatnya, setiap perbedaan pendapat -terutama kepada yang lebih tua- dianggap perbuatan tidak tahu diri. Sulit bagi kita (ELO kaleeeeeeee !!! Hehehehe … ) untuk mengungkapkan apa yang kita rasakan secara proporsional dan relevan, untuk mengubah kehidupan kita, untuk mengubah takdir menuju kehidupan yang lebih baik. Akibatnya, negeri ini jauh dari keterbukaan, penuh budaya ngomong belakang dan saling telikung di persimpangan. Jadi, jangan heran kalau ujung dari budaya bermuka dua ini adalah pada upaya memperkaya diri sendiri dan kroni-kroni melalui cara-cara yang tidak etis (potong kompas).

Manusia Indonesia belajar untuk hidup rukun sebagai sebuah bangsa yang ramah, tapi lupa bahwa hidup tidak selamanya ngomong yang manis-manis. Hidup juga dihiasi dengan jalan terjal dan konflik antar manusia. Karena dasarnya tidak punya toleransi, manusia Indonesia gampang dengki, iri dan hasud jika melihat koleganya sukses. Alasannya, karena hidup itu harus ‘gotong-royong’, ‘satu jiwa-satu rasa’. Apa yang kamu rasakan, HARUS saya rasakan bagaimanapun caranya. Sepintas, kita melihat bahwa hal tersebut merangsang kreativitas dan produktivitas, tapi kenyataannya berbeda. Untuk mencapai sukses, maka pihak yang SUKSES harus dijegal, untuk meraih SUKSES maka apapun dikorbankan tanpa berpikir secara rasional. SUKSES bagi kita (ELO kaleeeeeee !!! Hehehehe … ) diukur dari materi. Kalau tidak percaya, lihatlah negeri ini !!!

Banyak ‘orang miskin baru’ supaya jadi kaya. Anehnya, mereka bangga disebut miskin. Mengaku miskin agar dapat BLT, agar dapat kompor konversi. Dengan lantang mereka berteriak,”Saya miskin !!! Dan saya berhak menerima bantuan pemerintah !!!”. Banyak juga orang kaya yang mengaku miskin AGAR tetap kaya. Mobil di garasinya 6 biji, semuanya berkapasitas di atas 2500 cc dan baru (kadang juga beli kredit), tapi BBMnya ‘sanggup’ beli premium. Padahal standar mesin, meminta BBM kelas Pertamax agar keawetan mesin terjamin. Susah deh !!!

Kebangkitan nasional yang satu abad ini juga kian tidak dipahami oleh masyarakat yang mindset pikirnya masih tertinggal di zaman perjuangan dan juga zaman revolusi. Di saat harga BBM dan bahan pokok naik, semua berteriak bahwa beban hidup akan semakin bertambah. Di saat yang sama pula, orang-orang yang ‘cerdas’ menyerukan boikot kepada multinational corporation dari negara-negara maju. Mindset pikir semacam ini jelas-jelas tidak konstruktif, dan dari gaya berpikir kapitalistik pun sudah boleh saya anggap sebagai insane alias tidak masuk akal.

Semua berteriak beban hidup yang diperkirakan akan kiat meningkat. Tapi masyarakat tidak memahami apa yang disebut sebagai beban ? ‘Beban’ secara konsep finansial adalah pengorbanan untuk meraih ‘pendapatan’. Agar dapat hidup layak maka penghasilan harus melebihi beban, berarti dengan pengorbanan yang sedikit meraih perolehan yang signifikan. Sayangnya, ya itu tadi, seringkali kita berkorban untuk hal-hal yang tidak relevan dan jauh dari kemanusiaan. Bisa naik motor, eh minta naik mobil ! Sendirian lagi. HP yang lama masih sanggup memenuhi kebutuhan komunikasi, eh sudah beli HP baru, padahal ya cuman dipakai ngomong dan sms. Bisa sekali-sekali makan tahu-tempe, maunya ayam melulu. Kasarnya, dalam konsep ekonomi, bangsa ini standar ekonominya ketinggian dan tidak pernah memperhatikan asas biaya-manfaat. Lebih kasar lagi, bangsa ini gemar FOYA-FOYA padahal tau penghasilannya nggak cukup. Jadi, mulailah berpikir relevan dan sistematis, agar semuanya efisien dan efektif.

Semua berteriak bahwa multinational corporation adalah wujud kongkrit dari ide kapitalistik dan liberalisme. Tapi kenyataannya, bangsa ini cinta mati dengan gaya hidup kapitalistik, sampai terbawa dalam mimpi-mimpi di sinetrron dan kuis-kuis REG. Jadi, sebetulnya bangsa ini adem-panas. Ya cinta, ya benci. Sungguh sebuah hubungan yang kompleks. Tapi sebetulnya, daripada harus berteriak-teriak memusuhi ‘agen-agen asing’ itu, bukankah lebih baik bangsa ini bermitra dan bersungguh-sungguh untuk menerima peralihan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tepat guna. Bangsa ini tidak pernah sadar, bahwa mereka yang berinvestasi adalah mereka yang punya UANG. Kita selalu berpikir bahwa privatisasi hanya akan membuat buruh menderita, tapi kita selalu lupa, bahwa tidak mempunyai pekerjaan adalah jauh lebih menderita !!! Kita selalu menempatkan ide-ide kebangsaan pada posisi yang salah dan tidak relevan. Untuk mencapai kemajuan, bangsa ini perlu bekerja keras, mengaktualisasikan diri dan mau untuk terus belajar (berdialog).

Jika kemudian saya ditanya,”Apakah saya pro-pemerintah dalam setiap kenaikan harga BBM ?”. Maka saya menjawab,”Sebelum saya berbicara tentang pro dan kontra, ada baiknya saya mengajak anda untuk duduk melihat gambaran makro dari sebuah masalah. Jangan pernah memutuskan masalah dari isu-isu yang sepotong, dari data-data yang tidak diketahui validitas serta keterukurannya. Jujur saja, saya saat ini berdiri pada posisi ‘PRO’ terhadap kenaikan harga BBM, karena secara faktual anggaran pemerintah memiliki rencana kerja yang bagus, namun SETIAP warga negaranya (bukan hanya DPR) tidak menggunakan anggaran secara efektif, efisien dan bernilai tambah, sementara harga internasional BBM terus melonjak. Jujur, berat memang … karena kita tidak terbiasa berpikir rasional dan relevan dalam memecahkan masalah atau memutuskan pilihan. Mungkin dari sini kita bisa belajar produktif, rasional dan bernilai tambah. Dengan nilai tambah itulah bangsa ini akan bangkit.”


Salam …

Creative

Creative … diserap oleh bahasa Indonesia menjadi kreativ.

Kata kreativ, sekarang menjadi kosakata yang sangat keren. Bukan hanya itu, kata kreativ juga ditakuti oleh para pembuat sistem, penjaga dan penganutnya.

Sistem … diserap dari bahasa Inggris ‘System’ yang secara wujudiyah berupa sejumlah aturan, struktur organisasi dan institusi yang kita sebut ‘para ahli/praktisi/yang berwenang’.

Jadi, apa itu kreativ ?

Sulit untuk mendefinisikan kreativ, tetapi pada dasarnya kita dapat melihat kreativ pada para seniman, pengarang, desainer, inovator, motivator. Itu yang positiv. Kreativ juga dapat dilihat pada karir kelam para cracker, carder atau sekedar kejahilan bocah-bocah SD. Yang terakhir saya sebut, baru saja diberitakan di koran. Seorang kepala sekolah swasta di Malang, baru saja memperkarakan seorang murid yang ‘kreativ’. Kepala sekolah ini, merupakan salah seorang murid pasca-sarjana yang disebut jenius oleh dosen pembimbing saya.

Tapi ternyata, dia tidak sejenius itu !!!

Alkisah, bocah MI (Madrasah Ibtidaiyah) ini terjerat ‘kasus’ gara-gara ‘menerbitkan’ 2 buah selebaran yang ditempelkan di dinding sekolah Islam swasta BANI HASYIM. Jika disingkat, selebaran yang pertama menuliskan bahwa sekolah BANI HASYIM tersebut DIJUAL, sedangkan selebaran kedua menuliskan bahwa putri kepala sekolah BANI HASYIM tersebut DICARI pihak berwenang. Menurut pemberitaan di koran, ulah bocah ini sudah berlangsung berulang kali. Sebagai akibatnya, kepala sekolah pun jadi jengkel dibuatnya. Tak pelak, bocah ini harus siap dituntut di pengadilan.

Kisah di atas adalah salah satu contoh kreativitas yang ditindaklanjuti dengan tindakan yang tidak kreativ. LUCU, BODOH dan KONYOL. Sulit kita bayangkan bahwa seorang kepala sekolah yang menurut dosen pembimbing saya disebut jenius itu, ternyata kalah oleh ‘selebaran’ bocah ingusan. Memang, sang kepala sekolah kemungkinan besar akan menang di pengadilan. Tapi kenyataannya, ketika seseorang kehilangan akal sehat dalam berfikir … dia sudah pasti dinyatakan KALAH. Kehilangan akal sehat = GENDHENG/GILA.

Bagaimana dengan bocah SD ini di masa depan ? Saya tidak perlu meramal, berdasar pengalaman, maka logikanya … kalau seekor nyamuk dibunuh dengan insektisida, maka di masa mendatang nyamuk ini akan kebal terhadap insektisida. Kalau sudah kebal, nyamuk ini tentu tetap sulit mengalahkan manusia, tapi dia tetap akan selangkah di depan. Obsesi nyamuk ini jelas, membuat manusia jengkel, terbangun dan tak akan pernah tidur nyenyak.

Yang menjadi persoalan adalah siapkah kita menghadapi ‘nyamuk’ ?

Saya yakin, kebanyakan kita tidak siap. Sudah berapa tahun, semenjak Malaria dan Aedes Aegypti ditemukan, namun kita selalu punya korban yang ambruk karenanya ? Terbukti bahwa ‘nyamuk’ bukan hal sepele. ‘Nyamuk’ selalu sibuk mencari celah, berinovasi dan bermetamorfosis agar tetap dapat bertahan hidup. Memang, hidupnya boleh jadi selalu berada dalam ancaman, terancam atau memang diancam. Tapi ‘nyamuk’ tidak pernah mati … mulai dari zaman dinosaurus sampai zaman robot.

Sekarang, kosakata ‘kreativ’ juga menempel pada kata ekonomi. Banyak para pemimpin negeri ini, mendengung-dengungkan kata-kata ekonomi kreativ, tapi tidak tahu siapa para pelakunya.

Untuk mengerti ekonomi kreativ, bayangkan siapa saja yang kira-kira masuk di dalamnya ? Jika anda sudah membayangkan, anda tentu tahu bahwa para pelaku ekonomi kreativ ini adalah orang-orang mandiri yang tidak berpijak pada sistem, tetapi justru memanipulasi sistem. Termasuk di dalamnya sistem ekonomi, sistem hukum, politik dan seterusnya yang biasa didengar pada mata pelajaran PPkn.

Sebagian besar para pelaku ekonomi kreativ bekerja pada sektor informal. Mereka merintis usahanya dengan modal dengkul dan berakhir pada kebebasan finansial dan kebebasan waktu. Bukannya memuji, tapi kenyataannya memang begitu. Anda tentu tidak pernah membayangkan, bahwa agen koran sanggup memperoleh omzet 2-3 juta rupiah per bulan. Anda juga tidak pernah menyangka bahwa tukang bakso bisa memperoleh omzet per bulan yang tidak jauh berbeda. Dan di sini, di internet, banyak pengusaha muda yang tidak pernah anda kenal dan ketahui. Sepintas, mereka mungkin tampak seperti pengangguran, tapi kenyataannya tidak … dompetnya kempis … karena hanya diisi bank check … bertuliskan USD.

Jujur saja, saya ngeri melihat kenyataan itu. Gaji saya dulu sebagai auditor junior cuman satu juta, kalah sama tukang parkir liar -yang taruhan nyawa- dengan omzet 2 juta per bulan. Jika dilihat statusnya, mentereng sekali kata AUDITOR itu, tapi gajinya ngenes. Tapi ngenesnya saya itu menjadi lebih ngenes ketika kita suka berlagak sok di depan para ‘tukang’. Entah itu tukang sol, tukang bakso, tukang parkir, tukang sablon, tukang dodok duco sampai dengan tukang jambret. Kenyataannya, tukang-tukang itu adalah master of himself / herself. Mereka adalah tuan dari dirinya sendiri, merekalah para pemilik usaha, OWNER !!! CEO !!!

Kengerian itu berubah jadi kekaguman bagi yang berpandangan positiv. Dan bisa jadi berubah bagi yang berpandangan sempit, menghina, picik dan super-duper konservativ. Jujur saja, pada masa ekonomi kreativ ini, boleh jadi buruh akan digantikan mesin, akuntan/auditor/lawyer akan menjadi baterai (baca: KULI) hal itu karena semuanya akan terotomatisasi. Kalimat halusnya,”Manusia terlalu mulia untuk bekerja keras dan bersusah-susah, izinkan sistem digital dan mesin yang menggantikannya.”.

Apakah saya tidak takut ? Tentu saja saya normal, saya pasti takut … karena latar belakang pendidikan saya cuman accounting. Accounting di masa depan pasti mati, accounting is dying now. Lagipula dengan kematian accounting itu sendiri, semuanya akan menjadi simple. Dunia usaha kreativ di masa depan mungkin masih paham pada patronase dasar ilmu keuangan (mainstream). Tapi seiring bertumbuhnya sektor informal maka yang terpenting di masa depan adalah KAS. Lagipula pengusaha informal tidak butuh accountant apalagi lawyer.

Kasarnya, ekonomi ke depan akan kian kompetitiv. Ketika buruh dan kuli sudah tidak dibutuhkan, maka cepat atau lambat akan muncul pengusaha-pengusaha muda dengan scope bisnis yang kecil namun tetap fokus. Hubungan di antara penjual dan pembeli akan kembali pada hubungan yang lebih bersifat non-formal. Yang dibangun bukanlah materi, tetapi kepercayaan, komitmen dan tanggung jawab. Karena scopenya kecil, maka lingkup materi dan barang yang berputar juga tidak terlalu ‘besar’ layaknya multinational corporation. Karena itu, jika terjadi pencederaan komitmen, kemungkinan besar maka hubungan bisnis akan segera berakhir selamanya. Tidak ada acara tuntut-menuntut, karena para pebisnis ini tahu bahwa profesi lawyer tidak jauh berbeda dengan lintah atau vampir.

Jadi kemana kita harus melangkah ? Kita harus melangkah pada peluang-peluang baru yang belum terjamah, menggapainya melalui visi yang jernih untuk segera direalisasikan. Karena ‘suatu hari’ tidak akan pernah tiba. Dengan merealisasikan peluang-peluang bisnis yang baru, anda akan segera keluar dari fenomena kuli multitasking. Anda yang saat ini bekerja sebagai kuli kantor tentu tahu, anda adalah baterai yang dipergunakan untuk menghandle berbagai macam kasus dan person untuk diselesaikan … atas perintah BOS anda. Saya pernah merasakan fenomena multitasking itu !!! Saya bergerak bagai robot dengan otak komputer. Capek …

Saya lebih menyukai urutan prioritas dalam bekerja dan membangun hubungan non-formal yang akrab dengan relasi bisnis saya. Dan itu hanya bisa dilakukan jika anda menjadi BOS atau setidaknya anda yang bekerja sebagai kuli kantor harus punya mental BOS. Lihatlah Bos-bos zaman sekarang, mereka sungguh sangat santai, kerjanya hanya membangun ‘relasi’ dari hari ke hari, mereka melakukan traveling tapi tidak pernah kelelahan, karena semuanya menyenangkan. Mereka … para BOS itu memegang kendali atas waktu. KULI … jangan harap …

Jadi mulai sekarang cobalah bersikap kreativ … mungkin beberapa karya kreativ anda akan ‘nyerempet’ ke arah kriminil, tapi nggak papa. Kan baru permulaan, semakin anda mengasah kreativitas anda, anda akan terbiasa dengan inovasi dan ide-ide segar dalam kehidupan sehari-hari, dan bukan tidak mungkin, itu adalah sebuah peluang usaha yang bagus. Berpikir kreativ akan mengajak anda bermental BOS. Tidak berpikiran sempit, seperti kepala sekolah BANI HASYIM yang sempat masuk pemberitaan koran nasional. Maunya, selalu saja berlindung di balik sistem !!! PAYAH !!!

“Wahai kepala sekolah BANI HASYIM … SADARLAH !!! Sejujurnya, saya malas memasukkan buku anda ke dalam literatur penelitian saya. Bukan karena anda berpikiran sempit, tetapi karena anda sendiri tidak sanggup membuat tulisan yang membumi dan mudah dipahami. Seorang jenius, akan membuat semuanya jadi lebih mudah. Bukan hanya untuk dipahami, namun juga untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.”

Ayo bermental BOS. Ayo bermental kreativ. Karena ini bukan soal memenangkan persaingan … ini soal makan dan tidak makan, ini soal hidup dan mati. Satu lagi, jangan suka menganggap rendah tukang bakso atau tukang-tukang lain, ya ?

Hehehe … jangan ketakutan dan merengut gitu !


Salam …

Saturday 17 May 2008

REG … (lagi-lagi)

Jika anda cukup rajin menonton acara TV sepulang kerja, amatilah tayangan-tayangan yang disajikan kubus berwarna tersebut !!!

Ini bukan soal sinetron. Seperti yang kita tahu, sinetron di Indonesia selalu mengusung tema musiman. Di bulan biasa, temanya tidak jauh dari cinta. Di bulan Ramadhan, temanya tidak jauh dari religi. Itu belum cara penyajiannya yang ‘kasar’, tidak berpijak pada realitas dan jauh dari pesan moral maupun public education. Jadi, soal sinetron saya cukupkan sampai di sini !!!

Fenomena baru pertelevisian di Indonesia adalah … REG !!!

REG ini ‘menjual’ macam-macam, mulai konten HP, kehidupan pribadi, horoskop, motivasi, jaringan perkawanan … hingga -yang membuat saya cukup gusar- adalah UNDIAN !!!

Kenapa saya harus gusar ? Karena undian-undian ini cepat atau lambat akan mampu mencuci otak masyarakat Indonesia. Dan pencucian otak semacam ini, bahkan telah memperoleh izin dari Departemen Sosial RI. Saya pantas gusar, karena pesan-pesan yang disampaikan secara repetitive dapat berubah menjadi fakta, dari yang bersifat memotivasi pada akhirnya menjadi sugesti tanpa logika.

Cobalah lihat perkembangan iklan, billboard dan berbagai perangkat advertorial yang ‘berserakan’ di bumi pertiwi ini. Semuanya memancing minat dan rasa penasaran, yang pada akhirnya cepat atau lambat, sadar atau tanpa sadar akan membuat kita mencoba produk-produk yang ditawarkan tersebut. Jujur saya akui, saya pun pernah menjadi korban iklan.

Saya, tidak pernah tidak, selalu menjadi ‘korban’ iklan sabun LUX. Maklum, setiap periode tertentu, LUX selalu mengadakan undian untuk jalan-jalan bareng ke luar negeri bersama bintang iklannya. Salah satu bintang iklan LUX, adalah pacar khayalan saya … Mariana Renata.

Okey !!!

Jadi, ada apa dengan REG undian-undian tersebut ? Sebetulnya tidak akan menjadi masalah besar jika advertorial REG undian-undian ini berlangsung di luar jam prime-time. Namun kenyataannya, advertorial REG ini berlangsung pada jam tayangan anak-anak !!! Saya sebagai calon orang tua, pantas khawatir dengan para ‘penipu’ ini. Dengan kata-kata yang manis, mereka memikat ‘korban’nya. Cobalah baca kalimat-kalimat yang biasa dipakai penipu-penipu ini :

“Ayo ketik sebanyak-banyaknya, kalo dapat hadiahnya pasti hepi banget kan ? Dengan uang segitu, kamu bisa mau melakukan apa saja. Apa ? Mau digunakan untuk membantu orang tua ? Waaah … anak yang berbakti. Ayo cepet ketik sebanyak-banyaknya, karena aku pengennya KAMU yang menang !!!”

Hati saya sungguh sakit mendengar kalimat-kalimat menipu semacam itu. Betapa tidak ? Penawaran produk undian ini juga mencakup anak-anak sebagai korbannya. Padahal, anak-anak yang baru melek teknologi (pegang HP) adalah anak-anak dengan pemikiran sederhana dan nggak ngerti apa-apa. Mungkin saya terlalu paranoid. Tapi iklan-iklan menipu semacam ini, bukan tidak mungkin, akan mengajak korbannya mengikuti ajang perjudian … walau sekali !!!

Para penipu ini dengan mengantongi izin pemerintah dan konsesi tarif dengan pihak operator mampu meraih keuntungan yang berlipat-lipat, jika berhasil merayu korbannya. Kasarnya dengan tarif rata-rata Rp. 2000, mereka sanggup memperoleh modal kerja sebesar Rp. 1650 s.d. Rp 1850 per sms partisipasi (bukan per korban). Masalahnya kita tidak pernah tahu, berapa partisipasi yang diraih para penipu ini ? Tapi bisa jadi milyaran rupiah. Hal ini bukan sebuah hal yang mustahil, karena karakter orang Indonesia adalah terlalu ‘ramah’ dan percaya dengan ‘intuisi’ keberuntungan. Seperti saya … sebagai contohnya !!! T_T (Payah banget … nulis kelemahan diri sendiri !!!)

Dengan pasar (wilayah kerja) nasional dan penghimpunan dana yang massive dari masyarakat, semestinya mereka mampu menyajikan transparansi dan akuntabilitas kepada publik. Tapi, nyatanya transparansi dan akuntabilitas itu tidak pernah diungkapkan kepada masyarakat. Jadi, titel PENIPU pantas disandang oleh penyelenggara REG-REG undian itu.

Kalau mereka memang penipu … sebetulnya saya tidak akan pernah ambil pusing.

Yang justru membuat saya pusing adalah dampak sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan. Undian-undian, dari zaman SDSB sampai zaman REG-REG an ini ditopang oleh pangsa pasar baru, pangsa pasar yang ditopang oleh imajinasi dan impian. Berawal dari sinetron yang menggambarkan kaum borjuis, pembantu yang jadi OKB, anak jalanan yang jadi sekretaris direktur dan sejumlah mimpi. Undian-undian REG ini menjadi kokoh fondasinya.

Itu belum ditambah keadaan bangsa ini yang korup, bermental pengemis, pemalas dan tanpa punya malu mengaku-ngaku sebagai orang miskin untuk menerima BLT dan program konversi gas pemerintah. Sungguh, bangsa ini tahunya makan melulu tanpa pernah bekerja keras. Istilah orang Jawa bilang, “Koen iku … sega mateng surak hore”. Pantas saja, sedari dulu bangsa ini selalu jadi kuli di negeri sendiri, karena otaknya tidak pernah berpikir. Sudah diberitahu pun, masih saja ngeyel dengan kebodohannya. PARAH !!!

Kalau masyarakat terus dicekoki dengan mimpi-mimpi kosong dan undian-undian bodhong, lebih baik negara ini ditutup sekarang juga. Kalau kenyataan itu terus dibiarkan, negara ini tidak pantas disebut sebagai negara republik, negara ini lebih pantas disebut sebagai negara rumah bandar. Dulu, judi togel yang nyelip-nyelip itu diberantas, lha kok ini yang terang-terangan ditonton setiap hari malah dibiarkan. Selain itu, seharusnya para artis pendukung REG-REG an gombal itu harusnya malu, karena mendukung upaya money laundring dan ikut membodohi masyarakat. Ngakunya artis, tapi tingkahnya gak nyeni blas !!!

Salam …

Monday 12 May 2008

UNAS ku, UNAS mu ... UNAS kita

UNAS

Setiap kali mendengar kata UNAS, saya kadang terbatuk-batuk dan mulai demam. Saya juga tidak tahu, mengapa saya mengalami syndrome semacam itu ? Yang jelas setiap saya mendengar kata UNAS, terbayang sejumlah kata komplementer seperti GAGAL dan CURANG. Bukan karena tidak ada aspek positif dari UNAS, melainkan karena UNAS itu sendiri bukan pertempuran para murid semata. UNAS adalah pertempuran seluruh elemen pendidikan, mulai dari kabinet, Dirjen. Diknas, Kepala Sekolah dan juga guru.

Dalam pertempuran ini, musuhnya adalah satu kata saja. GAGAL. Para murid bertempur untuk tidak GAGAL lulus. Para guru bertempur untuk tidak GAGAL ajar. Para Dirjen. Pendidikan Dati I dan Dati II bertempur untuk tidak GAGAL bina. Dan, pada tingkat tertinggi, Presiden dan Wakil Presiden bertempur untuk tidak GAGAL mengemban amanat negara dalam mengembangkan potensi SDM. Sudah jelas, bahwa kegiatan mendidik dan kegiatan ajar mengajar, belum mencapai kata belajar. Kegiatan pendidikan di negeri ini, tiap tahun dihadapkan pada evaluasi GAGAL – SUKSES. Akibatnya, akan selalu ada murid yang GAGAL, guru yang GAGAL, menteri yang GAGAL dan bukan tidak mungkin preisden yang GAGAL.

Tapi tetap saja, beban yang paling berat ada di pundak murid. Murid yang GAGAL. Betapa mengerikannya gelar itu, apalagi jika tersemat pada murid dengan jenjang pendidikan SD dan SMP. Mereka, adik-adik saya yang disebut gagal itu, apakah tidak mengalami tekanan mental dan perasaan rendah diri sepanjang hidupnya ? Kegagalan UNAS seakan-akan adalah ujung dunia dan ujung waktu. Gagal UNAS, dalam persepsi mereka yang masih sederhana, adalah GAGAL hidup, calon pengangguran, sampah masyarakat dan yang paling jelas adalah bayangan caci-maki orang tua.

Tidaklah mengherankan, jika setiap tahun selalu ada murid yang pingsan, yang menangis maupun yang stress. Tingkat beban emosi mereka, tiap tahun juga makin bertambah dengan prosedur kelulusan yang makin “meningkat”. Karena itu, para Kyai, Motivator dan Tentor adalah profesi yang kian laris di masa mendatang. Hal ini, dikarenakan makin banyaknya siswa di masa mendatang yang tidak siap untuk sukses. Tapi juga bukan berarti siap untuk gagal. Kasarnya, murid-murid di negeri ini punya perasaan inferior dan super pesimistic.

Sebetulnya, tanpa harus menelisik lebih jauh, harus kita akui bahwa -sistem- pendidikan kita bukan sistem pendidikan jatuh bangun ataupun bongkar pasang. Sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang jatuh melulu dan membongkar selalu. Tidak percaya, lihat saja kenyataan berikut.

Anggaran pendidikan kita yang sudah fix 20 persen, tidak pernah nyampe-nyampe ke angka 20 persen. Terlihat sudah, bahwa mentalitas bangsa ini adalah mentalitas hipokrit, munafik dan mencla-mencle. Terutama yang ada di Senayan. UUD sudah diamandemen, artinya sudah disepakati bersama oleh seluruh -wakil- rakyat. Tapi, kesepakatan yang progresiv konstruktiv tersebut -lagi lagi- dilanggar. Betapa malangnya bangsa ini. Mudah sekali bagi saya, mungkin anda dan mereka yang duduk di pemerintahan mengingkari janji. Ingkar janji dalam dunia bisnis, adalah awal kegagalan dan merupakan hal yang sangat dibenci. Bahkan dalam beragama pun, ingkar janji adalah hal yang dibenci gusti pangeran.

Selanjutnya, mengenai kelulusan itu sendiri. Sampai saat ini saya tidak pernah mengerti, bagaimana mungkin nilai 5.5 dapat disebut sebagai kelulusan ? Apa tidak kebangetan ? Bahkan di rapor pun nilai 5 adalah nilai GAGAL. Lha kalau di rapor saja nilai 5 disebut nilai GAGAL, kok bisa UNAS dengan santainya menyebut nilai 5 sebagai standar kelulusan. Jujur saja, bagi saya yang sudah pernah melewati 3 kali EBTANAS rasanya kok tidak ada bangga-bangganya lulus dengan nilai 5. Lulus dengan nilai 6 saja, rasanya sudah bikin hati eneg. Paling nggak, setidaknya lulus itu nilai 7. Kalau selama ini nilai 5 pantas disandang oleh si bodoh, berarti sejujurnya bangsa Indonesia ini secara kumulatif adalah bangsa yang super-duper GOBLOK !!!

Jika masih ada yang berdalih, “Ujiannya sulit-sulit dan banyak Mas !!!” tentu saya bertanya-tanya, bukankah materi ujian adalah materi yang sudah diajarkan ? Dan materi ajar tersebut sudah pasti adalah materi ajar yang layak dipelajari oleh tiap murid pada setiap jenjang pendidikan. Jika materi ajar di tiap jenjang sudah tidak layak ajar, berarti guru dan praktisi pendidikan sudah GAGAL dari dulu-dulu !!! Materi SMP diajarkan di SD, materi Universitas pindah ke SMU&SMK, ya jelas saja kalau siswa-siswa ajar padha klenger !!! Sudah paham, sudah mengerti bahwa bahan ajar belum saatnya diberikan … kok tetap diberikan dan diujikan ! Berarti gurunya tidak ambil peduli dan tidak sanggup memperjuangkan siswanya. Itu baru kegagalan teknis seorang guru.

Kegagalan yang paling besar dari seorang guru, adalah tidak mampu membuat siswanya menjadi individu normal yang punya kepercayaan diri yang cukup dalam menghadapi kerasnya dunia nyata. Siswa yang menangis dan pingsan menjalani ujian baru akhir-akhir ini saya lihat. Tapi yang benar-benar membuat saya terkejut, adalah adanya tayangan sebuah scene berita di TV yang menunjukkan seorang siswa yang TIDUR pada saat UNAS !!! Ya Tuhan, sebetulnya pendidikan di Indonesia ini adalah pendidikan macam apa ? Pendidikan di sekolah yang bersifat kejiwaan, benar-benar membutuhkan sosok guru yang merupakan sosok manusia utuh, yang bukan hanya berwawasan luas, namun memiliki empathy yang sangat baik, sehingga mampu mengayomi siswa-siswinya, sebagaimana layaknya seorang ayah.

Akibatnya setiap menjelang UNAS, para murid di drill habis-habisan layaknya produk mesin dan elektronik yang melalui proses quality control (QC) sebuah pabrik. NGERI !!! Kemudian, supaya tidak stress mereka diajak ber-istighotsah, bahkan ngaji sebelum ujian. KONYOL !!! Berdasarkan naluri akal sehat saja, kalau anda mau ujian semestinya anda harus rajin-rajin berlatih dan menjaga kesehatan, bukan ngaji habis-habisan. Rasional saja, Tuhan tidak akan menurunkan mu’jizat dan karomah secara dadakan. Sebaliknya, apakah para guru dan murid ini tidak sadar, bahwa istighotsah dan ngaji di saat-saat sulit dan terjepit, sama saja dengan melecehkan Tuhan ? Hina sekali. Di saat jaya, kita lupa pada Tuhan. Tapi di saat sulit, kita semua mengiba-ngiba pertolonganNya.

Setelah melihat berbagai uraian di atas, dan masih banyak uraian lain yang relevan namun tak tertulis, kita patut bertanya-tanya. Apakah negara ini akan mampu menjadi negara yang maju ? Saya yang pecundang ini, sanggup menjawabnya … TIDAK. Apalagi jika melihat adik-adik saya yang pingsan dan nangis waktu ujian. Sebetulnya adik-adik saya di sekolah itu ngapain ? Fashion show ? Pacaran ? Haduuuuuhhh …

Salam …