Sunday 25 May 2008

Vagina & Penis (Komersil)

Semenjak manusia diciptakan Tuhan (lebih tepatnya semenjak ibu hawa mendampingi ayah Adam), manusia memang ditakdirkan untuk memiliki kebutuhan biologis. Pemenuhan kebutuhan biologis itu sendiri telah diatur Tuhan, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan layaknya binatang. Sayang, kenyataannya tidak seindah itu. Kebutuhan biologis ternyata dapat diperdagangkan, untuk memenuhi kebutuhan dasar lain yang lebih penting yaitu pangan, sandang dan papan. Memperdagangkan kebutuhan biologis dianggap sebagai sebuah dosa besar. Tapi apakah benar begitu ?

Memang tidak semua wanita maupun pria memperdagangkan kebutuhan biologis (melacur) demi mempertahankan hidup, ada juga yang melacur demi mengejar kekayaan atau materi itu sendiri. Semuanya beralasan terdesak atau ‘didesak’ oleh keadaan. Saya harap anda dapat membedakan kata terdesak dan ‘didesak’. Ya, yang membedakan adalah faktor kesengajaan dan niat.

Permisalan keadaan terdesak adalah sebagai berikut. Tuti seorang anak dengan tiga orang tanggungan hidup, yaitu seorang ibu dan 2 orang adik. Suatu ketika, ibu Tuti jatuh sakit dan setelah didiagnosis ternyata kondisinya membutuhkan perawatan lebih dan kemungkinan diperlukan operasi. Ibu Tuti sehari-hari bekerja sebagai penjaja makanan keliling yang tidak memiliki cukup dana untuk membiayai penyakitnya, serta beban hidup bagi ketiga anaknya. Setelah Tuti berusaha kesana kemari untuk memperoleh pinjaman, dan hasilnya tidak akan mencukupi biaya pengobatan Ibunya, maka Tuti memutuskan untuk menjual keperawanannya dan melacur. Tuti melakukan itu semua demi menyelamatkan nyawa ibu dan kelangsungan hidup dua orang adiknya. Saya sepakat, bahwa permisalan ini adalah sebuah kondisi dimana seorang Tuti terdesak.oleh keadaan.

Permisalan keadaan didesak adalah sebagai berikut. Anne adalah seorang anak yang duduk di bangku sekolah menengah. Anne hidup di dua lingkungan yang berbeda. Anne berasal dari lingkungan masyarakat dan keluarga yang pas-pasan (bisa makan sehari sekali saja sudah syukur). Sedangkan Anne belajar di lingkungan sekolah yang elite, yang kebanyakan berasal dari kalangan kelas atas dan ‘berotak’. Tidak dipungkiri, Anne berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda strata sosial-ekonominya. Dari pandangan riil kehidupan sehari-hari, maka lambat laun hal itu beralih kepada pandangan hidup. Anne pun tidak sanggup menerima ‘kemiskinan’ yang membelenggu dirinya. Demi mensejajarkan diri, dalam hal cara pandang dan gaya hidup seperti teman-temannya, maka Anne menjual keperawanan dan melacurkan dirinya. Pada kondisi ini, saya sepakat bahwa Anne didesak oleh keadaaan. Pernyataan ‘didesak’ menyiratkan bahwa sebetulnya ada pilihan bagi Anne untuk memilih jalan hidupnya. Dan Anne memilih untuk melacur.

Sejujurnya, tulisan ini diinspirasi oleh Metropolis Cover Story di Jawa Pos sebanyak 2 seri back to back pada 18 dan 19 Mei 2008. Dalam rubrik tersebut, dideskripsikan fenomena tentang grey chicken atau lebih dikenal sebagai pelacur pelajar. Pada seri pertama dijelaskan tentang pelacur yang didesak keadaan. Sedangkan pada seri kedua dijelaskan tentang pelacur yang terdesak oleh keadaan. Saya sendiri sebetulnya emoh membedakan makna didesak dan terdesak. Hal itu karena bedanya ukuran saya dengan orang lain, bahkan dengan Tuhan mengenai standard kata ‘desak’. Dalam dua seri back to back tersebut, keduanya membuat hati saya benar-benar terbelah dua. Pada seri pertama saya benar-benar dibuat jengkel, sedangkan pada seri kedua saya benar-benar dibuat trenyuh (tapi tetep jengkel juga sih ?).

Pada seri pertama, dijelaskan bahwa mereka melacurkan diri hanya sebatas untuk bisa mengikuti gaya hidup sinetron dengan handphone dan laptop. Bila perlu, mereka secepatnya berambisi untuk membeli mobil dan rumah mewah. Dan itu bisa dilakukan, seri kedua membuktikan itu ! Bahkan dalam ‘operasional’ bisnisnya mereka juga tidak segan-segan menipu pelanggan dengan berbagai trick agar bisa dibilang ‘perawan’. Jadi kasarnya, mereka yang mengaku pelacur pelajar ini sebetulnya adalah perawan jadi-jadian. Ada yang keperawanannya direnggut pacar sendiri, ada juga yang benar-benar direnggut oleh si hidung belang.

Pada seri kedua, dijelaskan bahwa salah seorang legenda pelacur pelajar menyatakan telah ‘berhenti’ dan hanya memberikan service khusus kepada beberapa langganannya yang exclusive. Alasannya sebagai balas budi, karena hidung belang exclusive itulah yang bisa membuatnya hidup ‘enak’ sekarang. Si legenda ini, alasannya melacur bolehlah saya bilang ke dalam kategori terdesak. Maklum, ketika melacurkan diri dia mengalami kejadian yang cukup mengejutkan. Dan secara otomatis membuat keluarganya tidak memiliki penghasilan apapun untuk menghidupi beban hidup keluarga. Selanjutnya, diceritakan kejadian-kejadian yang cukup memberi kita pengertian tentang sisi lain dunia si legenda. Satu hal yang cukup membuat saya jengkel kepada dia adalah ucapan yang menyatakan bahwa dia ‘senang’ dengan kehidupannya sekarang, dan rela jadi ‘bekas’ orang jelek-jelek daripada bekas orang baik-baik.

Tapi … ya sudahlah …

Jujur saja, saya kadang merasa pilu kenapa banyak orang menyadari dan melakukan suatu kejahatan, tapi tidak mengakui kejahatannya. Saya ini penggemar bokep dan komik porno, jika saya ditanya tentang “Apakah kamu merasa salah dan bersalah atas kegiatan yang kamu lakukan ?”, maka jawaban saya cukup singkat, “YA!”. Andaikata saya seorang pelacur, saya setuju bahwa saya bersalah, tapi saya tidak akan merasa bangga dengan mengatakan, “Itu bagian dari jalan hidup saya. Lagipula saya tidak akan bisa hidup enak kalau tidak melakukan pekerjaan itu. Lebih baik jadi bekas orang jelek-jelek daripada bekas orang baik-baik.”

Ah … dunia ini memang kompleks … dan di dalamnya kebenaran dan kejahatan adalah seperti dua sisi mata uang. Sulit bagi saya untuk menjustifikasi orang lain apalagi diri saya sendiri. Sebab, nilai kebenaran hakiki hanya Tuhan yang tahu, rahasia kehidupan, janji surga dan ancaman neraka adalah hal-hal ‘kuno’ yang tidak konkrit dan tidak memiliki wujud nyata, semuanya imajiner. Agaknya, slogan mau untung besar maka korbannya juga harus besar, itu benar adanya. Sekalipun pengorbanan itu agaknya menyakiti jiwa dan keyakinan kita akan kebenaran sejati … yang terkucil di pojok hati.

Belum cukup sampai di situ, banyak ketakutan lain yang harus dihadapi dalam menjalani hidup ini. Jujur saja saya takut dengan arah pikir dan cara pandang kita yang didominasi oleh nilai-nilai materi yang positivistik dan maskulin. Terbukti sudah, bahwa gaya pikir anak-anak muda zaman sekarang adalah gaya pikir yang sangat pragmatis (keseharian), instant, dan cenderung mengacuhkan nilai-nilai moral. Saya tidak pernah menyatakan bahwa bersikap rasional itu buruk, malah dalam era digital sekarang sikap rasional dan logis akan mengantarkan manusia pada kesuksesan. Tapi sukses itu sendiri apa ? Buat saya, sukses itu adalah ketenteraman bathin yang tidak melupakan ketenteraman lahir. Jadi, bagi saya nilai-nilai moral dan sikap rasional dibutuhkan secara seimbang, komplementer, dan bukan bersifat saling substitutif secara mendominasi.

Pola pikir yang ‘ajaib’ terutama dalam kasus-kasus pelacuran akan terus berkembang, dengan ‘paket’ yang kian hari kian inovativ. Bukan hanya untuk menangguk keuntungan dari penjualan penis dan vagina semata, namun juga untuk mensahihkan eksistensi mereka sebagai bagian dari lingkup sosial-ekonomi-budaya di belahan dunia manapun. Fenomena itu terbukti benar, dan kian hari kian menguat. Mereka yang bergerak di bidang pelacuran ini bahkan telah merenggut banyak keperawanan gadis-gadis di bawah umur. Saya tak peduli lagi dengan alasan, mengapa mereka me;acur ? tokh mereka juga berpikir EGP kepada saya. Tapi saya juga berhak menuntut tempat kepada mereka …

Saya paham bahwa perawan bukan hanya soal selaput dara !!! Perawan adalah soal yang kompleks terutama dalam domain ke-tradisi-an di negeri ini. Oke !!! Saya harus mengaku bahwa saya termasuk ke dalam kalangan tradisionalis itu, walaupun juga bisa dibilang menjalani proses metamorfosis ke arah progresiv thinking. Oke, selaput dara sobek ! Tapi disebabkan oleh apa ? Apakah disetubuhi (diperkosa) ? Atau menjual diri ? Apakah dilakukan dengan niat suka-sama-suka ? Atau keterpaksaan ? Jujur saja, saya belum bisa menerima seorang gadis yang telah kehilangan keperawanan karena bersetubuh dengan laki-laki lain. Saya tidak pernah berharap mendapatkan gadis semacam itu sebagai istri.

Terkadang saya mencoba berpikir sebijaksana mungkin untuk menanyakan masalah ini kepada diri saya sendiri. Saya ingin sesekali memikirkan ini, untuk meredam emosi saya jika akhirnya diketahui bahwa istri saya memang punya sejarah ‘kelam’. Saya mencoba berpikir bijaksana, antara harga diri saya sebagai lelaki yang dapat barang ‘bekas’, dengan nilai-nilai komitmen dalam sebuah pernikahan. Semua itu karena pernikahan bukan hanya soal seks semata, namun lembar baru ‘kehidupan bersama’ sampai mati. Yang di dalamnya sebuah keluarga akan bertumbuh bersama baik dari sisi kuantitas juga kualitas. Kasarnya, saya ingin punya istri yang bisa saya sayang dan saya bina menjadi manusia yang lebih baik daripada sebelum waktu menikah. Begitu juga harapan istri saya kepada saya. Saya akan berjuang menjadi lelaki yang lebih baik bagi istri dan anak-anak saya.

Namun, kini sebagai lelaki normal yang mampu membaca perkembangan prostitusi dan pergaulan remaja zaman sekarang, hati saya jadi gundah. Saya jadi punya pikiran ‘jangan-jangan’ … Jangan-jangan calon istri saya tidak perawan ? Jangan-jangan saya dapat ‘barang bekas’ ? Jangan-jangan calon istri saya masih akan ‘giat’ bersetubuh dengan lelaki lain ? Jangan-jangan saya tidak mencintai calon istri saya dan hanya menginginkan tubuhnya, sama halnya dengan lelaki hidung belang ?! Jangan-jangan saya memang hidung belang ? Jangan-jangan …

Salam …

Tuesday 20 May 2008

Centenial of Nation Awakening

Tepat 1 abad sudah, negeri ini melintasi titik kebangkitan nasional. Satu waktu yang cukup jauh dari sebuah kondisi yang boleh dibilang ‘menyedihkan’ sebagai sebuah titik tolak. Ketika nation awakening ditasbihkan pada 20 Mei 1908, kita tidak mengenal apa itu nation ? Apa itu kesatuan ? Waktu itu, setelah makna nasionalitas dipahami, baru kemudian muncul pemikiran-pemikiran untuk berontak melawan penjajahan -Belanda- yang merampas hak-hak sosial keekonomian. ‘Pemberontakan’ itulah yang kita maknai sebagai titik balik atau kebangkitan.

Setelah satu abad berlalu, makna kebangkitan jadi berbeda. Kebangkitan tidak lagi berarti berontak mengangkat senjata kepada penjajahan yang kasat mata. Kebangkitan memiliki makna lain, yaitu bergerak maju, bersaing dan beradu-cerdik, bukan hanya antar nation tapi juga antar sesama kita, sesama bangsa Indonesia. Kebangkitan dengan makna baru ini, mungkin sulit dipahami bagi sebagian masyarakat Indonesia. Maklum, semenjak masih bocah, manusia Indonesia -melulu- diajari sopan santun tapi tidak mengenal toleransi, diajari bahwa bersaing sama dengan bertengkar. Tapi yang paling parah adalah menyatakan secara implisit bahwa bangsa asing adalah bangsa penjajah dan untuk itu mereka harus dimusuhi.

Manusia Indonesia belajar bersopan santun, tapi tidak sanggup menetapkan garis antara membela keyakinan dengan melawan. Akibatnya, setiap perbedaan pendapat -terutama kepada yang lebih tua- dianggap perbuatan tidak tahu diri. Sulit bagi kita (ELO kaleeeeeeee !!! Hehehehe … ) untuk mengungkapkan apa yang kita rasakan secara proporsional dan relevan, untuk mengubah kehidupan kita, untuk mengubah takdir menuju kehidupan yang lebih baik. Akibatnya, negeri ini jauh dari keterbukaan, penuh budaya ngomong belakang dan saling telikung di persimpangan. Jadi, jangan heran kalau ujung dari budaya bermuka dua ini adalah pada upaya memperkaya diri sendiri dan kroni-kroni melalui cara-cara yang tidak etis (potong kompas).

Manusia Indonesia belajar untuk hidup rukun sebagai sebuah bangsa yang ramah, tapi lupa bahwa hidup tidak selamanya ngomong yang manis-manis. Hidup juga dihiasi dengan jalan terjal dan konflik antar manusia. Karena dasarnya tidak punya toleransi, manusia Indonesia gampang dengki, iri dan hasud jika melihat koleganya sukses. Alasannya, karena hidup itu harus ‘gotong-royong’, ‘satu jiwa-satu rasa’. Apa yang kamu rasakan, HARUS saya rasakan bagaimanapun caranya. Sepintas, kita melihat bahwa hal tersebut merangsang kreativitas dan produktivitas, tapi kenyataannya berbeda. Untuk mencapai sukses, maka pihak yang SUKSES harus dijegal, untuk meraih SUKSES maka apapun dikorbankan tanpa berpikir secara rasional. SUKSES bagi kita (ELO kaleeeeeee !!! Hehehehe … ) diukur dari materi. Kalau tidak percaya, lihatlah negeri ini !!!

Banyak ‘orang miskin baru’ supaya jadi kaya. Anehnya, mereka bangga disebut miskin. Mengaku miskin agar dapat BLT, agar dapat kompor konversi. Dengan lantang mereka berteriak,”Saya miskin !!! Dan saya berhak menerima bantuan pemerintah !!!”. Banyak juga orang kaya yang mengaku miskin AGAR tetap kaya. Mobil di garasinya 6 biji, semuanya berkapasitas di atas 2500 cc dan baru (kadang juga beli kredit), tapi BBMnya ‘sanggup’ beli premium. Padahal standar mesin, meminta BBM kelas Pertamax agar keawetan mesin terjamin. Susah deh !!!

Kebangkitan nasional yang satu abad ini juga kian tidak dipahami oleh masyarakat yang mindset pikirnya masih tertinggal di zaman perjuangan dan juga zaman revolusi. Di saat harga BBM dan bahan pokok naik, semua berteriak bahwa beban hidup akan semakin bertambah. Di saat yang sama pula, orang-orang yang ‘cerdas’ menyerukan boikot kepada multinational corporation dari negara-negara maju. Mindset pikir semacam ini jelas-jelas tidak konstruktif, dan dari gaya berpikir kapitalistik pun sudah boleh saya anggap sebagai insane alias tidak masuk akal.

Semua berteriak beban hidup yang diperkirakan akan kiat meningkat. Tapi masyarakat tidak memahami apa yang disebut sebagai beban ? ‘Beban’ secara konsep finansial adalah pengorbanan untuk meraih ‘pendapatan’. Agar dapat hidup layak maka penghasilan harus melebihi beban, berarti dengan pengorbanan yang sedikit meraih perolehan yang signifikan. Sayangnya, ya itu tadi, seringkali kita berkorban untuk hal-hal yang tidak relevan dan jauh dari kemanusiaan. Bisa naik motor, eh minta naik mobil ! Sendirian lagi. HP yang lama masih sanggup memenuhi kebutuhan komunikasi, eh sudah beli HP baru, padahal ya cuman dipakai ngomong dan sms. Bisa sekali-sekali makan tahu-tempe, maunya ayam melulu. Kasarnya, dalam konsep ekonomi, bangsa ini standar ekonominya ketinggian dan tidak pernah memperhatikan asas biaya-manfaat. Lebih kasar lagi, bangsa ini gemar FOYA-FOYA padahal tau penghasilannya nggak cukup. Jadi, mulailah berpikir relevan dan sistematis, agar semuanya efisien dan efektif.

Semua berteriak bahwa multinational corporation adalah wujud kongkrit dari ide kapitalistik dan liberalisme. Tapi kenyataannya, bangsa ini cinta mati dengan gaya hidup kapitalistik, sampai terbawa dalam mimpi-mimpi di sinetrron dan kuis-kuis REG. Jadi, sebetulnya bangsa ini adem-panas. Ya cinta, ya benci. Sungguh sebuah hubungan yang kompleks. Tapi sebetulnya, daripada harus berteriak-teriak memusuhi ‘agen-agen asing’ itu, bukankah lebih baik bangsa ini bermitra dan bersungguh-sungguh untuk menerima peralihan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tepat guna. Bangsa ini tidak pernah sadar, bahwa mereka yang berinvestasi adalah mereka yang punya UANG. Kita selalu berpikir bahwa privatisasi hanya akan membuat buruh menderita, tapi kita selalu lupa, bahwa tidak mempunyai pekerjaan adalah jauh lebih menderita !!! Kita selalu menempatkan ide-ide kebangsaan pada posisi yang salah dan tidak relevan. Untuk mencapai kemajuan, bangsa ini perlu bekerja keras, mengaktualisasikan diri dan mau untuk terus belajar (berdialog).

Jika kemudian saya ditanya,”Apakah saya pro-pemerintah dalam setiap kenaikan harga BBM ?”. Maka saya menjawab,”Sebelum saya berbicara tentang pro dan kontra, ada baiknya saya mengajak anda untuk duduk melihat gambaran makro dari sebuah masalah. Jangan pernah memutuskan masalah dari isu-isu yang sepotong, dari data-data yang tidak diketahui validitas serta keterukurannya. Jujur saja, saya saat ini berdiri pada posisi ‘PRO’ terhadap kenaikan harga BBM, karena secara faktual anggaran pemerintah memiliki rencana kerja yang bagus, namun SETIAP warga negaranya (bukan hanya DPR) tidak menggunakan anggaran secara efektif, efisien dan bernilai tambah, sementara harga internasional BBM terus melonjak. Jujur, berat memang … karena kita tidak terbiasa berpikir rasional dan relevan dalam memecahkan masalah atau memutuskan pilihan. Mungkin dari sini kita bisa belajar produktif, rasional dan bernilai tambah. Dengan nilai tambah itulah bangsa ini akan bangkit.”


Salam …

Creative

Creative … diserap oleh bahasa Indonesia menjadi kreativ.

Kata kreativ, sekarang menjadi kosakata yang sangat keren. Bukan hanya itu, kata kreativ juga ditakuti oleh para pembuat sistem, penjaga dan penganutnya.

Sistem … diserap dari bahasa Inggris ‘System’ yang secara wujudiyah berupa sejumlah aturan, struktur organisasi dan institusi yang kita sebut ‘para ahli/praktisi/yang berwenang’.

Jadi, apa itu kreativ ?

Sulit untuk mendefinisikan kreativ, tetapi pada dasarnya kita dapat melihat kreativ pada para seniman, pengarang, desainer, inovator, motivator. Itu yang positiv. Kreativ juga dapat dilihat pada karir kelam para cracker, carder atau sekedar kejahilan bocah-bocah SD. Yang terakhir saya sebut, baru saja diberitakan di koran. Seorang kepala sekolah swasta di Malang, baru saja memperkarakan seorang murid yang ‘kreativ’. Kepala sekolah ini, merupakan salah seorang murid pasca-sarjana yang disebut jenius oleh dosen pembimbing saya.

Tapi ternyata, dia tidak sejenius itu !!!

Alkisah, bocah MI (Madrasah Ibtidaiyah) ini terjerat ‘kasus’ gara-gara ‘menerbitkan’ 2 buah selebaran yang ditempelkan di dinding sekolah Islam swasta BANI HASYIM. Jika disingkat, selebaran yang pertama menuliskan bahwa sekolah BANI HASYIM tersebut DIJUAL, sedangkan selebaran kedua menuliskan bahwa putri kepala sekolah BANI HASYIM tersebut DICARI pihak berwenang. Menurut pemberitaan di koran, ulah bocah ini sudah berlangsung berulang kali. Sebagai akibatnya, kepala sekolah pun jadi jengkel dibuatnya. Tak pelak, bocah ini harus siap dituntut di pengadilan.

Kisah di atas adalah salah satu contoh kreativitas yang ditindaklanjuti dengan tindakan yang tidak kreativ. LUCU, BODOH dan KONYOL. Sulit kita bayangkan bahwa seorang kepala sekolah yang menurut dosen pembimbing saya disebut jenius itu, ternyata kalah oleh ‘selebaran’ bocah ingusan. Memang, sang kepala sekolah kemungkinan besar akan menang di pengadilan. Tapi kenyataannya, ketika seseorang kehilangan akal sehat dalam berfikir … dia sudah pasti dinyatakan KALAH. Kehilangan akal sehat = GENDHENG/GILA.

Bagaimana dengan bocah SD ini di masa depan ? Saya tidak perlu meramal, berdasar pengalaman, maka logikanya … kalau seekor nyamuk dibunuh dengan insektisida, maka di masa mendatang nyamuk ini akan kebal terhadap insektisida. Kalau sudah kebal, nyamuk ini tentu tetap sulit mengalahkan manusia, tapi dia tetap akan selangkah di depan. Obsesi nyamuk ini jelas, membuat manusia jengkel, terbangun dan tak akan pernah tidur nyenyak.

Yang menjadi persoalan adalah siapkah kita menghadapi ‘nyamuk’ ?

Saya yakin, kebanyakan kita tidak siap. Sudah berapa tahun, semenjak Malaria dan Aedes Aegypti ditemukan, namun kita selalu punya korban yang ambruk karenanya ? Terbukti bahwa ‘nyamuk’ bukan hal sepele. ‘Nyamuk’ selalu sibuk mencari celah, berinovasi dan bermetamorfosis agar tetap dapat bertahan hidup. Memang, hidupnya boleh jadi selalu berada dalam ancaman, terancam atau memang diancam. Tapi ‘nyamuk’ tidak pernah mati … mulai dari zaman dinosaurus sampai zaman robot.

Sekarang, kosakata ‘kreativ’ juga menempel pada kata ekonomi. Banyak para pemimpin negeri ini, mendengung-dengungkan kata-kata ekonomi kreativ, tapi tidak tahu siapa para pelakunya.

Untuk mengerti ekonomi kreativ, bayangkan siapa saja yang kira-kira masuk di dalamnya ? Jika anda sudah membayangkan, anda tentu tahu bahwa para pelaku ekonomi kreativ ini adalah orang-orang mandiri yang tidak berpijak pada sistem, tetapi justru memanipulasi sistem. Termasuk di dalamnya sistem ekonomi, sistem hukum, politik dan seterusnya yang biasa didengar pada mata pelajaran PPkn.

Sebagian besar para pelaku ekonomi kreativ bekerja pada sektor informal. Mereka merintis usahanya dengan modal dengkul dan berakhir pada kebebasan finansial dan kebebasan waktu. Bukannya memuji, tapi kenyataannya memang begitu. Anda tentu tidak pernah membayangkan, bahwa agen koran sanggup memperoleh omzet 2-3 juta rupiah per bulan. Anda juga tidak pernah menyangka bahwa tukang bakso bisa memperoleh omzet per bulan yang tidak jauh berbeda. Dan di sini, di internet, banyak pengusaha muda yang tidak pernah anda kenal dan ketahui. Sepintas, mereka mungkin tampak seperti pengangguran, tapi kenyataannya tidak … dompetnya kempis … karena hanya diisi bank check … bertuliskan USD.

Jujur saja, saya ngeri melihat kenyataan itu. Gaji saya dulu sebagai auditor junior cuman satu juta, kalah sama tukang parkir liar -yang taruhan nyawa- dengan omzet 2 juta per bulan. Jika dilihat statusnya, mentereng sekali kata AUDITOR itu, tapi gajinya ngenes. Tapi ngenesnya saya itu menjadi lebih ngenes ketika kita suka berlagak sok di depan para ‘tukang’. Entah itu tukang sol, tukang bakso, tukang parkir, tukang sablon, tukang dodok duco sampai dengan tukang jambret. Kenyataannya, tukang-tukang itu adalah master of himself / herself. Mereka adalah tuan dari dirinya sendiri, merekalah para pemilik usaha, OWNER !!! CEO !!!

Kengerian itu berubah jadi kekaguman bagi yang berpandangan positiv. Dan bisa jadi berubah bagi yang berpandangan sempit, menghina, picik dan super-duper konservativ. Jujur saja, pada masa ekonomi kreativ ini, boleh jadi buruh akan digantikan mesin, akuntan/auditor/lawyer akan menjadi baterai (baca: KULI) hal itu karena semuanya akan terotomatisasi. Kalimat halusnya,”Manusia terlalu mulia untuk bekerja keras dan bersusah-susah, izinkan sistem digital dan mesin yang menggantikannya.”.

Apakah saya tidak takut ? Tentu saja saya normal, saya pasti takut … karena latar belakang pendidikan saya cuman accounting. Accounting di masa depan pasti mati, accounting is dying now. Lagipula dengan kematian accounting itu sendiri, semuanya akan menjadi simple. Dunia usaha kreativ di masa depan mungkin masih paham pada patronase dasar ilmu keuangan (mainstream). Tapi seiring bertumbuhnya sektor informal maka yang terpenting di masa depan adalah KAS. Lagipula pengusaha informal tidak butuh accountant apalagi lawyer.

Kasarnya, ekonomi ke depan akan kian kompetitiv. Ketika buruh dan kuli sudah tidak dibutuhkan, maka cepat atau lambat akan muncul pengusaha-pengusaha muda dengan scope bisnis yang kecil namun tetap fokus. Hubungan di antara penjual dan pembeli akan kembali pada hubungan yang lebih bersifat non-formal. Yang dibangun bukanlah materi, tetapi kepercayaan, komitmen dan tanggung jawab. Karena scopenya kecil, maka lingkup materi dan barang yang berputar juga tidak terlalu ‘besar’ layaknya multinational corporation. Karena itu, jika terjadi pencederaan komitmen, kemungkinan besar maka hubungan bisnis akan segera berakhir selamanya. Tidak ada acara tuntut-menuntut, karena para pebisnis ini tahu bahwa profesi lawyer tidak jauh berbeda dengan lintah atau vampir.

Jadi kemana kita harus melangkah ? Kita harus melangkah pada peluang-peluang baru yang belum terjamah, menggapainya melalui visi yang jernih untuk segera direalisasikan. Karena ‘suatu hari’ tidak akan pernah tiba. Dengan merealisasikan peluang-peluang bisnis yang baru, anda akan segera keluar dari fenomena kuli multitasking. Anda yang saat ini bekerja sebagai kuli kantor tentu tahu, anda adalah baterai yang dipergunakan untuk menghandle berbagai macam kasus dan person untuk diselesaikan … atas perintah BOS anda. Saya pernah merasakan fenomena multitasking itu !!! Saya bergerak bagai robot dengan otak komputer. Capek …

Saya lebih menyukai urutan prioritas dalam bekerja dan membangun hubungan non-formal yang akrab dengan relasi bisnis saya. Dan itu hanya bisa dilakukan jika anda menjadi BOS atau setidaknya anda yang bekerja sebagai kuli kantor harus punya mental BOS. Lihatlah Bos-bos zaman sekarang, mereka sungguh sangat santai, kerjanya hanya membangun ‘relasi’ dari hari ke hari, mereka melakukan traveling tapi tidak pernah kelelahan, karena semuanya menyenangkan. Mereka … para BOS itu memegang kendali atas waktu. KULI … jangan harap …

Jadi mulai sekarang cobalah bersikap kreativ … mungkin beberapa karya kreativ anda akan ‘nyerempet’ ke arah kriminil, tapi nggak papa. Kan baru permulaan, semakin anda mengasah kreativitas anda, anda akan terbiasa dengan inovasi dan ide-ide segar dalam kehidupan sehari-hari, dan bukan tidak mungkin, itu adalah sebuah peluang usaha yang bagus. Berpikir kreativ akan mengajak anda bermental BOS. Tidak berpikiran sempit, seperti kepala sekolah BANI HASYIM yang sempat masuk pemberitaan koran nasional. Maunya, selalu saja berlindung di balik sistem !!! PAYAH !!!

“Wahai kepala sekolah BANI HASYIM … SADARLAH !!! Sejujurnya, saya malas memasukkan buku anda ke dalam literatur penelitian saya. Bukan karena anda berpikiran sempit, tetapi karena anda sendiri tidak sanggup membuat tulisan yang membumi dan mudah dipahami. Seorang jenius, akan membuat semuanya jadi lebih mudah. Bukan hanya untuk dipahami, namun juga untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.”

Ayo bermental BOS. Ayo bermental kreativ. Karena ini bukan soal memenangkan persaingan … ini soal makan dan tidak makan, ini soal hidup dan mati. Satu lagi, jangan suka menganggap rendah tukang bakso atau tukang-tukang lain, ya ?

Hehehe … jangan ketakutan dan merengut gitu !


Salam …

Saturday 17 May 2008

REG … (lagi-lagi)

Jika anda cukup rajin menonton acara TV sepulang kerja, amatilah tayangan-tayangan yang disajikan kubus berwarna tersebut !!!

Ini bukan soal sinetron. Seperti yang kita tahu, sinetron di Indonesia selalu mengusung tema musiman. Di bulan biasa, temanya tidak jauh dari cinta. Di bulan Ramadhan, temanya tidak jauh dari religi. Itu belum cara penyajiannya yang ‘kasar’, tidak berpijak pada realitas dan jauh dari pesan moral maupun public education. Jadi, soal sinetron saya cukupkan sampai di sini !!!

Fenomena baru pertelevisian di Indonesia adalah … REG !!!

REG ini ‘menjual’ macam-macam, mulai konten HP, kehidupan pribadi, horoskop, motivasi, jaringan perkawanan … hingga -yang membuat saya cukup gusar- adalah UNDIAN !!!

Kenapa saya harus gusar ? Karena undian-undian ini cepat atau lambat akan mampu mencuci otak masyarakat Indonesia. Dan pencucian otak semacam ini, bahkan telah memperoleh izin dari Departemen Sosial RI. Saya pantas gusar, karena pesan-pesan yang disampaikan secara repetitive dapat berubah menjadi fakta, dari yang bersifat memotivasi pada akhirnya menjadi sugesti tanpa logika.

Cobalah lihat perkembangan iklan, billboard dan berbagai perangkat advertorial yang ‘berserakan’ di bumi pertiwi ini. Semuanya memancing minat dan rasa penasaran, yang pada akhirnya cepat atau lambat, sadar atau tanpa sadar akan membuat kita mencoba produk-produk yang ditawarkan tersebut. Jujur saya akui, saya pun pernah menjadi korban iklan.

Saya, tidak pernah tidak, selalu menjadi ‘korban’ iklan sabun LUX. Maklum, setiap periode tertentu, LUX selalu mengadakan undian untuk jalan-jalan bareng ke luar negeri bersama bintang iklannya. Salah satu bintang iklan LUX, adalah pacar khayalan saya … Mariana Renata.

Okey !!!

Jadi, ada apa dengan REG undian-undian tersebut ? Sebetulnya tidak akan menjadi masalah besar jika advertorial REG undian-undian ini berlangsung di luar jam prime-time. Namun kenyataannya, advertorial REG ini berlangsung pada jam tayangan anak-anak !!! Saya sebagai calon orang tua, pantas khawatir dengan para ‘penipu’ ini. Dengan kata-kata yang manis, mereka memikat ‘korban’nya. Cobalah baca kalimat-kalimat yang biasa dipakai penipu-penipu ini :

“Ayo ketik sebanyak-banyaknya, kalo dapat hadiahnya pasti hepi banget kan ? Dengan uang segitu, kamu bisa mau melakukan apa saja. Apa ? Mau digunakan untuk membantu orang tua ? Waaah … anak yang berbakti. Ayo cepet ketik sebanyak-banyaknya, karena aku pengennya KAMU yang menang !!!”

Hati saya sungguh sakit mendengar kalimat-kalimat menipu semacam itu. Betapa tidak ? Penawaran produk undian ini juga mencakup anak-anak sebagai korbannya. Padahal, anak-anak yang baru melek teknologi (pegang HP) adalah anak-anak dengan pemikiran sederhana dan nggak ngerti apa-apa. Mungkin saya terlalu paranoid. Tapi iklan-iklan menipu semacam ini, bukan tidak mungkin, akan mengajak korbannya mengikuti ajang perjudian … walau sekali !!!

Para penipu ini dengan mengantongi izin pemerintah dan konsesi tarif dengan pihak operator mampu meraih keuntungan yang berlipat-lipat, jika berhasil merayu korbannya. Kasarnya dengan tarif rata-rata Rp. 2000, mereka sanggup memperoleh modal kerja sebesar Rp. 1650 s.d. Rp 1850 per sms partisipasi (bukan per korban). Masalahnya kita tidak pernah tahu, berapa partisipasi yang diraih para penipu ini ? Tapi bisa jadi milyaran rupiah. Hal ini bukan sebuah hal yang mustahil, karena karakter orang Indonesia adalah terlalu ‘ramah’ dan percaya dengan ‘intuisi’ keberuntungan. Seperti saya … sebagai contohnya !!! T_T (Payah banget … nulis kelemahan diri sendiri !!!)

Dengan pasar (wilayah kerja) nasional dan penghimpunan dana yang massive dari masyarakat, semestinya mereka mampu menyajikan transparansi dan akuntabilitas kepada publik. Tapi, nyatanya transparansi dan akuntabilitas itu tidak pernah diungkapkan kepada masyarakat. Jadi, titel PENIPU pantas disandang oleh penyelenggara REG-REG undian itu.

Kalau mereka memang penipu … sebetulnya saya tidak akan pernah ambil pusing.

Yang justru membuat saya pusing adalah dampak sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan. Undian-undian, dari zaman SDSB sampai zaman REG-REG an ini ditopang oleh pangsa pasar baru, pangsa pasar yang ditopang oleh imajinasi dan impian. Berawal dari sinetron yang menggambarkan kaum borjuis, pembantu yang jadi OKB, anak jalanan yang jadi sekretaris direktur dan sejumlah mimpi. Undian-undian REG ini menjadi kokoh fondasinya.

Itu belum ditambah keadaan bangsa ini yang korup, bermental pengemis, pemalas dan tanpa punya malu mengaku-ngaku sebagai orang miskin untuk menerima BLT dan program konversi gas pemerintah. Sungguh, bangsa ini tahunya makan melulu tanpa pernah bekerja keras. Istilah orang Jawa bilang, “Koen iku … sega mateng surak hore”. Pantas saja, sedari dulu bangsa ini selalu jadi kuli di negeri sendiri, karena otaknya tidak pernah berpikir. Sudah diberitahu pun, masih saja ngeyel dengan kebodohannya. PARAH !!!

Kalau masyarakat terus dicekoki dengan mimpi-mimpi kosong dan undian-undian bodhong, lebih baik negara ini ditutup sekarang juga. Kalau kenyataan itu terus dibiarkan, negara ini tidak pantas disebut sebagai negara republik, negara ini lebih pantas disebut sebagai negara rumah bandar. Dulu, judi togel yang nyelip-nyelip itu diberantas, lha kok ini yang terang-terangan ditonton setiap hari malah dibiarkan. Selain itu, seharusnya para artis pendukung REG-REG an gombal itu harusnya malu, karena mendukung upaya money laundring dan ikut membodohi masyarakat. Ngakunya artis, tapi tingkahnya gak nyeni blas !!!

Salam …

Monday 12 May 2008

UNAS ku, UNAS mu ... UNAS kita

UNAS

Setiap kali mendengar kata UNAS, saya kadang terbatuk-batuk dan mulai demam. Saya juga tidak tahu, mengapa saya mengalami syndrome semacam itu ? Yang jelas setiap saya mendengar kata UNAS, terbayang sejumlah kata komplementer seperti GAGAL dan CURANG. Bukan karena tidak ada aspek positif dari UNAS, melainkan karena UNAS itu sendiri bukan pertempuran para murid semata. UNAS adalah pertempuran seluruh elemen pendidikan, mulai dari kabinet, Dirjen. Diknas, Kepala Sekolah dan juga guru.

Dalam pertempuran ini, musuhnya adalah satu kata saja. GAGAL. Para murid bertempur untuk tidak GAGAL lulus. Para guru bertempur untuk tidak GAGAL ajar. Para Dirjen. Pendidikan Dati I dan Dati II bertempur untuk tidak GAGAL bina. Dan, pada tingkat tertinggi, Presiden dan Wakil Presiden bertempur untuk tidak GAGAL mengemban amanat negara dalam mengembangkan potensi SDM. Sudah jelas, bahwa kegiatan mendidik dan kegiatan ajar mengajar, belum mencapai kata belajar. Kegiatan pendidikan di negeri ini, tiap tahun dihadapkan pada evaluasi GAGAL – SUKSES. Akibatnya, akan selalu ada murid yang GAGAL, guru yang GAGAL, menteri yang GAGAL dan bukan tidak mungkin preisden yang GAGAL.

Tapi tetap saja, beban yang paling berat ada di pundak murid. Murid yang GAGAL. Betapa mengerikannya gelar itu, apalagi jika tersemat pada murid dengan jenjang pendidikan SD dan SMP. Mereka, adik-adik saya yang disebut gagal itu, apakah tidak mengalami tekanan mental dan perasaan rendah diri sepanjang hidupnya ? Kegagalan UNAS seakan-akan adalah ujung dunia dan ujung waktu. Gagal UNAS, dalam persepsi mereka yang masih sederhana, adalah GAGAL hidup, calon pengangguran, sampah masyarakat dan yang paling jelas adalah bayangan caci-maki orang tua.

Tidaklah mengherankan, jika setiap tahun selalu ada murid yang pingsan, yang menangis maupun yang stress. Tingkat beban emosi mereka, tiap tahun juga makin bertambah dengan prosedur kelulusan yang makin “meningkat”. Karena itu, para Kyai, Motivator dan Tentor adalah profesi yang kian laris di masa mendatang. Hal ini, dikarenakan makin banyaknya siswa di masa mendatang yang tidak siap untuk sukses. Tapi juga bukan berarti siap untuk gagal. Kasarnya, murid-murid di negeri ini punya perasaan inferior dan super pesimistic.

Sebetulnya, tanpa harus menelisik lebih jauh, harus kita akui bahwa -sistem- pendidikan kita bukan sistem pendidikan jatuh bangun ataupun bongkar pasang. Sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang jatuh melulu dan membongkar selalu. Tidak percaya, lihat saja kenyataan berikut.

Anggaran pendidikan kita yang sudah fix 20 persen, tidak pernah nyampe-nyampe ke angka 20 persen. Terlihat sudah, bahwa mentalitas bangsa ini adalah mentalitas hipokrit, munafik dan mencla-mencle. Terutama yang ada di Senayan. UUD sudah diamandemen, artinya sudah disepakati bersama oleh seluruh -wakil- rakyat. Tapi, kesepakatan yang progresiv konstruktiv tersebut -lagi lagi- dilanggar. Betapa malangnya bangsa ini. Mudah sekali bagi saya, mungkin anda dan mereka yang duduk di pemerintahan mengingkari janji. Ingkar janji dalam dunia bisnis, adalah awal kegagalan dan merupakan hal yang sangat dibenci. Bahkan dalam beragama pun, ingkar janji adalah hal yang dibenci gusti pangeran.

Selanjutnya, mengenai kelulusan itu sendiri. Sampai saat ini saya tidak pernah mengerti, bagaimana mungkin nilai 5.5 dapat disebut sebagai kelulusan ? Apa tidak kebangetan ? Bahkan di rapor pun nilai 5 adalah nilai GAGAL. Lha kalau di rapor saja nilai 5 disebut nilai GAGAL, kok bisa UNAS dengan santainya menyebut nilai 5 sebagai standar kelulusan. Jujur saja, bagi saya yang sudah pernah melewati 3 kali EBTANAS rasanya kok tidak ada bangga-bangganya lulus dengan nilai 5. Lulus dengan nilai 6 saja, rasanya sudah bikin hati eneg. Paling nggak, setidaknya lulus itu nilai 7. Kalau selama ini nilai 5 pantas disandang oleh si bodoh, berarti sejujurnya bangsa Indonesia ini secara kumulatif adalah bangsa yang super-duper GOBLOK !!!

Jika masih ada yang berdalih, “Ujiannya sulit-sulit dan banyak Mas !!!” tentu saya bertanya-tanya, bukankah materi ujian adalah materi yang sudah diajarkan ? Dan materi ajar tersebut sudah pasti adalah materi ajar yang layak dipelajari oleh tiap murid pada setiap jenjang pendidikan. Jika materi ajar di tiap jenjang sudah tidak layak ajar, berarti guru dan praktisi pendidikan sudah GAGAL dari dulu-dulu !!! Materi SMP diajarkan di SD, materi Universitas pindah ke SMU&SMK, ya jelas saja kalau siswa-siswa ajar padha klenger !!! Sudah paham, sudah mengerti bahwa bahan ajar belum saatnya diberikan … kok tetap diberikan dan diujikan ! Berarti gurunya tidak ambil peduli dan tidak sanggup memperjuangkan siswanya. Itu baru kegagalan teknis seorang guru.

Kegagalan yang paling besar dari seorang guru, adalah tidak mampu membuat siswanya menjadi individu normal yang punya kepercayaan diri yang cukup dalam menghadapi kerasnya dunia nyata. Siswa yang menangis dan pingsan menjalani ujian baru akhir-akhir ini saya lihat. Tapi yang benar-benar membuat saya terkejut, adalah adanya tayangan sebuah scene berita di TV yang menunjukkan seorang siswa yang TIDUR pada saat UNAS !!! Ya Tuhan, sebetulnya pendidikan di Indonesia ini adalah pendidikan macam apa ? Pendidikan di sekolah yang bersifat kejiwaan, benar-benar membutuhkan sosok guru yang merupakan sosok manusia utuh, yang bukan hanya berwawasan luas, namun memiliki empathy yang sangat baik, sehingga mampu mengayomi siswa-siswinya, sebagaimana layaknya seorang ayah.

Akibatnya setiap menjelang UNAS, para murid di drill habis-habisan layaknya produk mesin dan elektronik yang melalui proses quality control (QC) sebuah pabrik. NGERI !!! Kemudian, supaya tidak stress mereka diajak ber-istighotsah, bahkan ngaji sebelum ujian. KONYOL !!! Berdasarkan naluri akal sehat saja, kalau anda mau ujian semestinya anda harus rajin-rajin berlatih dan menjaga kesehatan, bukan ngaji habis-habisan. Rasional saja, Tuhan tidak akan menurunkan mu’jizat dan karomah secara dadakan. Sebaliknya, apakah para guru dan murid ini tidak sadar, bahwa istighotsah dan ngaji di saat-saat sulit dan terjepit, sama saja dengan melecehkan Tuhan ? Hina sekali. Di saat jaya, kita lupa pada Tuhan. Tapi di saat sulit, kita semua mengiba-ngiba pertolonganNya.

Setelah melihat berbagai uraian di atas, dan masih banyak uraian lain yang relevan namun tak tertulis, kita patut bertanya-tanya. Apakah negara ini akan mampu menjadi negara yang maju ? Saya yang pecundang ini, sanggup menjawabnya … TIDAK. Apalagi jika melihat adik-adik saya yang pingsan dan nangis waktu ujian. Sebetulnya adik-adik saya di sekolah itu ngapain ? Fashion show ? Pacaran ? Haduuuuuhhh …

Salam …

Monday 28 April 2008

Ahmadiyah (Muter-Muter Mantiq Islam)

Isu yang akan dibahas kali ini sebetulnya cukup sensitif, yaitu mengenai eksistensi jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Isu mengenai JAI memiliki motif dan format kasus yang sama dalam rentang waktu yang berbeda ketika kita membahas Mushaddeq, maupun beberapa aliran kepercayaan yang lain. JAI termasuk dalam kasus penyimpangan agama -Islam-, karena melanggar beberapa prinsip pokok dalam mempercayai suatu keyakinan.

Islam sebagaimana yang dikenal masyarakat banyak bersandar pada tujuh rukun iman dan lima rukun Islam (yang dilaksanakan melalui syari’at). Tiga di antara tujuh rukun iman adalah iman (meyakini) kepada Allah; kepada Kitab Allah -khususnya Al Qur’an-; kepada Rasul -khususnya Muhammad SAW-. Sedangkan lima rukun Islam adalah syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.

Rukun iman pada dasarnya adalah keyakinan mendasar dari tiap makhluk yang terlahir di dunia. Untuk menopang keyakinan itu, Islam sebagai sebuah agama mengatur dan mewujudkan keyakinan itu melalui rukun Islam. Dengan demikian, muslim (orang Islam) mengakui keyakinannya dengan syahadat (bersaksi) kepada Allah dan Muhammad SAW, lantas shalat, berpuasa, berzakat dan -jika mampu- berhaji sesuai syari’at Islam menuju Mekkah Al-Mukarramah.

Jadi, jika disimpulkan adalah sebagai berikut :
Seorang Islam (Muslim) adalah seseorang yang meyakini dengan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Rasul Muhammad SAW adalah utusan Allah -yang terakhir- bagi alam semesta. Setelah meyakini dan bersaksi, seorang muslim (sesuai syari’at) melaksanakan shalat lima kali dalam sehari, wajib berpuasa di bulan Ramadhan, berzakat jika telah mencapai batas ketentuan Allah (nishab) dan berhaji ke tanah suci Mekkah apabila memiliki kesanggupan materi, fisik serta hidayah.

Lantas, apa hubungannya dengan Ahmadiyah ?

Ahmadiyah mengakui bahwa eksistensinya merupakan bagian dari Islam. Hal ini sama halnya, jika anda mengenal adanya Islam sunni dan Islam syiah di kawasan Timur Tengah, atau jika anda tinggal di Indonesia dikenal adanya Islam Muhammadiyah dan Islam Nahdlatul Ulama (NU).

Tetapi dalam kasus Ahmadiyah ini berbeda, mengapa ? Hal ini disebabkan karena (pertama) Ahmadiyah mengakui Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi (rasul) mereka, padahal Islam telah menegaskan bahwa tiada lagi Nabi yang akan diutus oleh Allah SWT setelah Nabi Muhammad SAW. Kemudian (kedua) menyatakan bahwa ibadah haji tidak dilaksanakan di Mekkah -Saudi Arabia-, melainkan di Rabwah dan Qadiyan -India-. Dan (ketiga) yang masih berstatus buram adalah kitab suci Tadzkirah yang menggantikan posisi Al-Qur’an.

Perbedaan yang diajukan oleh Ahmadiyah ini merupakan perbedaan yang sangat mendasar dengan muslim lainnya. Perbedaan itu juga dapat disebut fatal. Islam meyakini, bahwa ketika seorang Muslim wafat, dua malaikat akan menanyakan lima hal di dalam kuburnya. Dua di antaranya adalah siapa Nabimu dan siapa pemimpinmu ? Seorang muslim -yang nggenah- akan menjawab bahwa Nabinya adalah Rasulullah Muhammad SAW dan pemimpinnya adalah kitab suci Al-Qur’an. Jadi kasarnya, Islam punya standard. Kalau anda mengakui dan meyakini Islam, maka anda harus meyakini, bersaksi dan mengikuti apa yang ditunjukkan Al-Qur’an dan diamalkan Rasulullah Muhammad SAW.

Jadi, kalau seorang Ahmadee (penganut Ahmadiyah) mengakui sebagai bagian dari Islam, maka hal tersebut adalah sesuatu yang absurd dan tidak bisa diterima. Nabi umat Islam adalah nabi terakhir Rasulullah Muhammad SAW, bukan nabi Mirza Ghulam Ahmad. Kitab suci umat Islam adalah Al-Qur’an yang menutup dan menyempurnakan seluruh kitab Allah yang terdahulu (Zabur, Taurat dan Bible), bukan kitab Tadzkirah. Kalau standard Islam tersebut sudah dilanggar oleh Ahmadiyah, maka secara logis Ahmadiyah bukan merupakan bagian Islam.

Jika Ahmadiyah masih mengaku sebagai bagian umat Islam, tentu saja patuhilah standard Islam. Namun jika tidak, sebaiknya Ahmadiyah diakui sebagai sebuah agama yang baru. Yang menjadi masalah, Tuhan dari Islam, Kristiani, Yahudi dan Ahmadiyah adalah sama-sama Allah SWT. Sementara secara ruhiyah agama samawi (Langit) hanya ada tiga, yaitu Yahudi, Kristiani dan Islam. Keberadaan tiga agama itu juga ditunjang oleh kitab suci masing-masing yang diturunkan langsung oleh Allah yaitu Taurat, Bible dan Al Qur’an.

Bagaimana dengan Ahmadiyah ?

Ahmadiyah memiliki kitab Tadzkirah yang -dari berbagi narasumber- hanyalah tafsir terhadap Al Qur’an oleh Mirza Ghulam Ahmad. Tentu saja, ini sangat mengejutkan. Sebuah kitab dipandang suci karena berasal dari Tuhan yang Maha Suci. Secara hakikat, tidak mungkin kitab suci ‘diterbitkan’ oleh Nabi, sekalipun Nabi itu sendiri adalah makhluk Tuhan yang paling dekat dengan Tuhan. Jika kitab suci Tadzkirah merupakan dasar dalam agama -baru- Ahmadiyah, maka sebaiknya juga jangan mengakui Allah sebagai Tuhan mereka.

Karena secara ruhiyah, jika mengakui Allah sebagai Tuhan dari agama Ahmadiyah, hal tersebut tidak dibenarkan. Allah menurunkan tiga agama secara bertahap dimana Islam merupakan agama penutup dan paling sempurna. Agama samawi (Agama Allah) secara bertahap adalah Yahudi, Kristiani dan Islam. Islam memiliki kedudukan yang khusus karena menyempurnakan seluruh ajaran agama Allah yang sebelumnya. Penyempurnaan tersebut disampaikan melalui Al-Qur’an.

Dengan demikian, jika Ahmadiyah mengakui Allah sebagai Tuhannya maka Ahmadiyah harus memilih untuk menganut Yahudi, Kristiani atau Islam sesuai dengan standardnya masing-masing. Jika tidak mengikuti salah satu di antara ketiganya, sebaiknya jangan mengakui Allah sebagai Tuhan. Saya justru mengusulkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Tuhannya agama Ahmadiyah, sebab kitab suci Tadzkirah ‘diterbitkan’ oleh Mirza Ghulam Ahmad itu sendiri.

Semoga dijadikan pertimbangan komunitas Ahmadiyah, sebab dari sisi manapun Ahmadiyah bukanlah Islam, bahkan juga bukan Yahudi maupun Kristiani. Karena kitab suci Islam, Yahudi dan Kristiani berasal dari Allah bukan dari Mirza Ghulam.

Salam …

Saturday 26 April 2008

Puasa

Jum’at, 14 Maret 2008

Baru beberapa saat lalu saya menonton berita di salah satu saluran televisi nasional. Dalam salah satu sesi pemberitaan, dikabarkan tentang munculnya fenomena busung lapar (kelaparan) yang menimpa balita-balita di beberapa perkotaan maupun pedesaan. Tentu saja hal ini merupakan realita yang memilukan. Bagaimana tidak, di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini, rakyat harus menanggung kelaparan.

Sayup-sayup, pemerintah secara kontinu mengajak masyarakat untuk berhemat, berpuasa dan mengencangkan ikat pinggang. Pernyataan semacam itu, secara tidak langsung telah melukai hati masyarakat. Masyarakat selama ini telah berhemat, telah berpuasa untuk menahan laju harga-harga. Jika pemerintah terus meminta masyarakat berpuasa, insyaallah masyarakat Indonesia akan mengalami Ramadhan sepanjang tahun atau bahkan seumur hidup.

Jika hal tersebut benar-benar terjadi, kita perlu memikirkan pernyataan Gus Dur yang kurang lebih dituturkan sebagai berikut :

… kalau anda mengalami kelimpahan rezeki dari Tuhan dan kemudian menahan diri anda dari rezeki tersebut, maka anda –pantas- disebut berpuasa. Tapi kalau anda menahan diri, karena tidak ada suatu rezeki pun yang bisa anda nikmati, itu berarti anda menjalani kelaparan …

Pernyataan Gus Dur tersebut, sekilas terdengar seperti sebuah lelucon. Tapi apa benar demikian ? Kita memang mengalami kelaparan. Semenjak era perjuangan sampai era petrodolar saat ini, masyarakat tetap menjalani “kelaparan” atau lebih logis disebut puasa tiada henti. Anehnya, walau sudah berpuasa puluhan tahun, negeri ini tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Seolah-olah semua menjadi tampak wajar, kelaparan adalah peristiwa biasa dan PHK adalah konsekuensi bagi pekerja yang menuntut kenaikan upah.

Kalaupun kelaparan itu wajar disebut sebagai puasa, mungkin kita sudah menempatkan satu pijakan yang salah. Puasa itu kan hanya untuk Allah ta’ala dan dinilai langsung oleh Allah. Lha, apakah wajar kalau kita berniat puasa karena nggak ada yang dimakan ? Kedengarannya saja sudah lucu :

… Ya Allah, hari ini saya berniat puasa karena tidak ada yang dapat saya makan hari ini begitu juga untuk hari esok dan esok dan esok dan esok dan esok … lagi …

Memang, saat ini kita tidak dapat dan tidak afdhol jika saling menyalahkan satu sama lain. Saat ini dunia sedang dilanda resesi, sebagai akibat jebolnya sistem perekonomian United States yang diawali oleh macetnya kredit perumahan (Subprime Mortgages) dan kenaikan harga minyak dunia akibat perang di dataran Timur Tengah yang berkepanjangan. Saat ini, sebetulnya saat yang tepat untuk melakukan integrasi ke dalam antar anak bangsa.

Rakyat harus mengerti, jika subsidi harus mulai dikurangi. Tapi pemerintah juga tidak selayaknya berleha-leha di atas penderitaan rakyat. Mereka yang berbaju safari dan mereka yang berstatus PNS bukanlah segelintir Pengangguran Negeri Sipil. Mereka diberi kepercayaan untuk mengurus rakyat dan semestinya mereka mengurus rakyat sepenuh hati, bukan sepenuh PUNGLI. Dan kemudian PNS tersebut menyelamatkan dirinya sendiri …

Saat ini, jika pernyataan berhemat dan berpuasa adalah jawaban yang tepat. Maka pemerintah tetap perlu bekerja keras mengimbangi penghematan tersebut dengan menerapkan sistem prioritas jangka pendek, menengah dan panjang. Solusi jangka pendek dalam situasi resesi saat ini adalah membangun ketahanan pangan dan penegakan hukum yang baik. Masalah perut bukan masalah sepele, perut mampet berbuntut logika yang macet. Dalam logika yang macet, emosi makin seret. Kalau emosi sudah seret, maka dibutuhkan rasa keadilan … keadilan sosial dan keadilan ekonomi.

Rakyat sudah cukup bersabar … rakyat sudah cukup berpuasa ... sudah saatnya rakyat Indonesia buka puasa. Dan sekarang, dibutuhkan pemimpin yang sanggup memberikan buka puasa yang layak … bukan yang mewah … Masa, sekedar menyiapkan buka puasa yang layak saja pemerintah tidak mampu. Sementara hampir tiap hari eksekutif dan legislatif kita mampu minum mewah (baca : Starbucks Coffee) … rakyat hanya menginginkan sepiring nasi, tahu-tempe, sambal, krupuk dan es teh manis …

Saya sendiri … tidak neko-neko, cuman kepengin bisa makan dengan tenang dan tetap bisa melanjutkan mencatat di blog ini.

Salam …

MInyak Tanah sepanjang 500 meter

Jum’at, 18 April 2008

Tidak seperti biasanya, saya baru saja menuliskan sebuah kisah yang terjadi beberapa hari lampau. Sulit untuk menuangkan alasannya, karena sebenarnya alasan yang panjang justru berakhir menjadi kebohongan belaka. Jujur saja, saya tidak memiliki mood untuk menulis beberapa minggu terakhir ini. Tanpa mood, kisah yang sebenarnya cukup menarik pun tidak bisa dideskripsikan dengan baik. Walhasil, akhirnya hanya kisah-kisah yang membuat kita ‘shock’ saja yang mampu menarik jari-jari ini menekan tuts keyboard.

Jadi, apa sih yang akan saya tulis hari ini ?

Hari ini saya akan menulis antrian minyak tanah di lingkungan saya. Sejujurnya, sudah dua kali saya ikut melakoni kisah antrian ini. Dan di setiap kisah itu, tidak ada namanya antrian yang menyenangkan. Terlalu panjang untuk dideskripsikan, karena saya bukan seorang pendongeng. Tapi, sebagaimana kita ketahui secara umum, antrian itu terdiri dari tiga kata saja, yaitu PANAS, SEROBOTAN, dan BOSAN. Yah, itulah ciri antrian di negara kita yang tercinta, Republik Indonesia.

Panas, tentu saja karena (pertama) negara ini tepat berada di garis ekuator, (kedua) negara ini merupakan salah satu negara konsumtif (gengsian) dalam urusan moda transportasi, dan (ketiga) rakyat di negara ini paling bisa bikin life shortcut, walaupun harus berakibat merugikan pihak lain. Lengkap sudah arti kata panas di negara ini, baik dari sisi literal sampai dengan makna kiasan. Suhu panas, uang panas, tensi emosi yang mendidih sampai akhirnya kopi panas, hehehehe ….

Serobotan. Ini adalah contoh riil dari life shorctcut di Indonesia. Sedari dulu, mentalitas bangsa Indonesia adalah mentalitas ‘jalan pintas’ dan gak mau susah. Rakyat di negeri ini, maunya menang sendiri. Kalau ingin sukses, persaingannya tidak sehat dan berkesan membunuh pihak lain. Mungkin anda pernah mempelajari ilmu huruf jawa, dalam sistem huruf jawa, ada sistem pangkon dan pasangan, yang berfungsi untuk ‘membunuh’ huruf di depannya. Hal ini dilakukan agar huruf di belakangnya bisa hidup. Walhasil, dalam urusan antrian minyak tanah, jika ingin dapat jatah minyak tanah, ya harus nyerobot, bukan nyeruput, hehehe …

Kesannya kasar ya ? Kenapa yang dijadikan contoh kok JAWA. Karena sebetulnya, tidak ada Republik Indonesia, yang ada adalah Republik Jawa. Believe it or not, fakta itu tidak bisa dibantah. Apa yang kita tonton sehari-hari ada di Jawa. Apa yang kita baca sehari-hari berasal dari Jawa. Pusat pendidikan, kebudayaan dan keuangan semuanya ada di Jawa. Jika hampir semua hal yang kita terima ada di Jawa (atau setidaknya berasal dari Jawa) maka secara tidak sadar kita hidup dengan cara Jawa. Lingkungan membentuk kepribadian. Kepribadian yang status quo juga membentuk lingkungan.

Bosan. Tentu saja bosan, lha wong antriannya bisa 500 meter. Lima kali panjang lapangan sepakbola !!! Yang jelas dalam panjangnya antrian itu, manusia bisa jadi lupa diri. Kondisi demikian itu, paling enak dijadikan santapan empuk para penjahat. Bagaimana tidak, semua orang fokus dengan panjangnya antrian dan emosinya sendiri. Berbagai macam sumpah serapah kebun binatang keluar. Tapi ada juga yang menjadikan peristiwa tersebut sebagai ajang kampanye. Bener-bener konyol …

Jika antrian minyak ini sudah berakhir … kebanyakan juga bingung …

Simple. Sebetulnya minyak-minyak ini mau diapakan ? Disimpan jelas tidak mungkin, karena semua jerigen sudah penuh. Mau dijual rasanya kok ya sayang. Minyak sedang mahal-mahalnya, bukan hanya minyak tanah tapi juga minyak goreng. Itu belum ditambah kelangkaan LPG dan minyak tanah itu sendiri. Akhirnya, semua ingin menimbun minyak tanah. Walau konversi LPG sudah dilakukan, tapi kalau LPG habis tentu beralih ke minyak tanah. Tetapi bagaimana, kalau ternyata minyak tanah juga hilang dari pasaran ? Tentunya semua pasti makan biskuit kaleng, hehehe …

Akhirnya, saya merasa beruntung mempunyai seorang kawan yang lagi kesusahan memperoleh minyak tanah. Kawan saya itu sampai saat ini belum menerima kompor dan tabung gas program konversi LPG. Sungguh sangat aneh, padahal lingkungan tempat teman saya tinggal adalah golongan menengah ke bawah, bahkan boleh dibilang ‘kantong kemiskinan’. Kawan saya itu, tentu saja masih menggunakan kompor minyak tanah. Alasannya jelas, LPG konversi belum datang dan kalaupun sudah datang belum tentu juga kompor LPG tersebut digunakan.

Sekitar lima liter minyak tanah yang saya peroleh kemarin, saya antarkan ke tempat tinggalnya. Saya hanya meminta dia menebus harga minyak operasi pasar tersebut sesuai harga subsidi (sekitar sepuluh ribu rupiah). Sungguh sebuah rejeki yang tidak dinyana-nyana bagi keluarganya. Di saat stok minyak mereka menipis, datang harapan baru dari lima liter minyak yang saya bawa. Buat teman saya itu, lima liter minyak sama saja dengan makan 1 sampai dengan 2 minggu. Tanpa minyak tanah, teman saya itu mungkin harus benar-benar membeli biskuit kaleng …

Dari peristiwa itu, saya berpikir dengan kusut. Sebetulnya, apa yang terjadi di negeri ini ? Saya mencintai negeri ini sama seperti saya mencintai Tuhan saya. Di sinilah saya dilahirkan dan dibesarkan. Tapi di negeri ini juga, saya dikhianati oleh segelintir orang yang sibuk mengenyangkan dirinya sendiri. Apakah saya mampu mencintai negeri ini dengan segala kekurangannya ? Saya selalu ingin menjawab bisa, walau berat …

Saya selalu mencoba menjawab bisa, ketika melewati sawah-sawah yang menghijau indah. Walau petaninya menahan kelaparan. Saya selalu mencoba menjawab bisa, ketika melewati pinggiran hutan yang sejuk rindang. Walau di dalamnya habis ditebang. Saya selalu mencoba menjawab bisa, ketika memandang lautan yang berdebur mesra. Walau nelayannya tak memperoleh ikan.

Kadang saya ingin mengubah jawaban saya tentang kecintaan mutlak terhadap negeri ini. Kadang, saya ingin berkata, “Saya akan mencintai negeri ini sejauh yang saya bisa. Saya akan menyayangi negeri ini sejauh yang saya mampu. Saya akan mencintai negeri ini ketika kepalsuan dan kemunafikan telah pergi menghilang !!!”

Mencintai tidak harus memiliki. Demikian kata pepatah lama, dan mungkin itu juga yang akan menimpa saya dan ratusan juta jiwa masyarakat Indonesia. Saya mencintai Indonesia, tapi saya juga harus siap kehilangan dia. Indonesia bukan milik saya yang memiliki cinta. Tapi milik mereka yang munafik dan mengumbar janji.

Salam …

Aku cinta WC

Rabu, 23 April 2008

Uuuuugh …

Sakit perut ternyata bukan sakit kacangan. Yang namanya sakit tetap saja sakit. Kenyataan itu saya rasakan hari ini, setelah menyaksikan pertandingan semifinal leg pertama liga champions eropa antara Chelsea dan Liverpool. Perut terasa mual sedangkan dari arah tenggorokan saya merasa ingin muntah. Perlahan tapi pasti tubuh saya mulai lemas. Dan rasa lemas itu makin bertambah ketika saya telah empat kali ke WC sebelum menuliskan artikel ini. Oh WC, aku jatuh cinta kepada dirimu …

Sakit perut, terutama yang mengarah ke muntaber (muntah berak) bukan hal sepele di negeri ini. Kesannya komikal sekali, jika kita mendengar ada seseorang di republik ini pada hari ini dinyatakan meninggal karena muntaber. Tapi melihat kenyataan tentang cara hidup masyarakat kita, kematian akibat muntaber bukanlah sesuatu yang lucu namun justru merupakan suatu peristiwa yang serius.

Jika anda yang sakit perut atau muntaber, sedang mencari tahu penyebab rasa sakit tersebut, niscaya anda memahami masalah ini. Muntaber diawali oleh kebiasaan kita yang jorok dan menyepelekan kesehatan. Tidak sedikit dari kita yang mengasumsikan bahwa apa yang kita makan dan minum adalah sehat. Tidak sedikit dari kita yang membiasakan diri dengan rokok, membuang sampah di sungai, meludah sembarangan sampai malas cuci tangan. Semuanya berakibat sama, PENYAKIT.

Oke, jika telah terjangkit penyakit buntutnya hanya ada dua, yaitu dokter dan obat.

Berbicara soal dokter, sebetulnya berapa jumlah dokter di republik ini ? Dari seluruh dokter yang ada tersebut, berapa yang bersedia ditugaskan ke daerah-daerah terpencil ? Dan dari seluruh dokter tersebut, berapa dokter yang bersedia menurunkan tarifnya ?

Saya yakin, dokter di negeri ini cukup banyak tetapi jumlahnya cenderung menurun baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Alasannya, untuk menciptakan satu dokter yang mumpuni, biayanya cukup mahal. Sehingga, calon dokter di negeri ini berasal dari kaum elite-borjuis yang mempunyai kecukupan modal untuk biaya pendidikan. Sayangnya, tidak semua calon dokter ini berbakat dan memiliki niat yang kuat untuk menjalani profesi dokter. Akibatnya, dokter-dokter di masa depan bukanlah dokter dengan kualitas yang mumpuni.

Dari semua dokter yang ada tersebut, sangat sedikit yang berminat untuk menjejakkan kaki di luar pulau jawa. Alasannya, bukan hanya karena kultur yang berbeda namun tidak memiliki modal yang kuat untuk melakukan pendekatan dan komunikasi. Alasan kedua, mereka berkuliah dengan modal sendiri, jadi untuk apa memenuhi permintaan pemerintah sebagai dokter di luar pulau. Alasan ketiga, semua dokter ingin segera balik modal (pendidikan), jadi, tidak rasional membuka praktik dokter di tempat terpencil yang daya belinya rendah.

Yang kedua, mengenai masalah obat. Obat, kian hari kian mahal bukan hanya karena biaya produksinya semata namun juga karena tingginya biaya riset. Tingginya biaya riset, disebabkan oleh bermunculannya penyakit baru yang bermunculan di tengah peradaban manusia. Jika dulu, peradaban manusia telah berkenalan dengan campak, cacar dan hepatitis, kini adalah masa dari penyakit flu burung, HIV dan sejumlah penyakit baru yang lain. Konon, beberapa penyakit yang ada di masyarakat kita seperti influenza, sampai saat ini belum ditemukan obatnya. ‘Obat’ influenza yang kita temui di pasaran, sesungguhnya bukanlah obat flu, melainkan peredam rasa sakit dan pembius sementara bagi virus influenza.

Di tengah mahalnya obat-obatan tersebut, obat-obat yang tidak jelas juntrungnya bermunculan di pasar. Ada yang asli tapi palsu (aspal). Ada juga yang betul-betul palsu. Obat ‘aspal’ adalah obat yang telah jatuh masa kadaluwarsa, namun tetap dijual dengan mengganti tanggal kadaluwarsanya. Obat-obat ini berasal dari kecerobohan kita terhadap obat-obat yang tidak kita gunakan lagi dengan cara membuangnya langsung di tempat sampah. Ternyata, obat-obat tersebut masih dianggap layak pakai oleh ‘sebagian orang’. Sedangkan yang tergolong obat-obatan palsu, memang dibuat dengan cara yang ngawur dan tidak memiliki dasar keilmuan farmasi. Akibatnya, bukan sembuh tapi malah koit …

Karena itulah, sehat itu mahal. Termasuk di dalamnya sehat dari ancaman sakit perut dan juga cacingan. Hehehe …

Bagaimana tidak ? Kita bisa saja mendiagnosis bahwa ketika perut terasa sakit, pilihannya ada tiga yaitu masuk angin, diare (muntaber) dan maag. Tapi apa benar begitu, bagaimana kalau ternyata kita mengalami radang usus, radang lambung atau usus buntu ? Kita malas pergi ke dokter karena tarifnya mahal. Eeeh … sudah minum obat, obatnya pun palsu dan ‘aspal’. Akibatnya, yang sakit bukannya sehat tapi malah tersengal-sengal …

Ini baru soal sakit perut (yang saya asumsikan sendiri), bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengalami penyakit ‘aneh-aneh’ lainnya yang biaya pengobatannya bisa mencapai jutaan rupiah ? Berbagai program kesehatan yang digalakkan oleh Menteri Kesehatan, kenyataannya dipergunakan oleh beberapa oknum birokrat dan finansial. Untuk itu perlu dicari jalan keluar yang baru terhadap masalah ini.

Dulu, kita punya posyandu dan PKK. Sekarang, gaungnya tiada lagi … saya jadi kangen zaman Orde Lama. Posyandu dan PKK perlu digalakkan lagi oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Wanita. Tentu, salah satu misinya adalah memberikan edukasi tentang gaya hidup sehat dan tindakan preventiv terhadap penyakit-penyakit sederhana (seperti diare). KB juga dapat digalakkan kembali …

Tapi saat ini, itu semua rasanya hanya mimpi. Apa bisa hal itu diwujudkan ? Saat ini masyarakat lebih suka rebutan minyak tanah, minyak goreng dan rebutan sembako. Wajar saja … karena semuanya sekarang serba mahal. Membelanjakan seribu rupiah saja, kita perlu bersikap bijaksana apalagi yang harganya mencapai ratusan ribu atau malah jutaan rupiah. Kita lebih suka belanja handphone baru yang tidak memiliki pulsa demi mengejar gengsi daripada mencadangkan sejumlah uang untuk biaya kesehatan kita, istri kita dan juga anak kita.

Aaakh … gara-gara gengsi, sakit perut pun bisa jadi merana …

Salam …

Situs Porno (Oh Yeah !!!)

Jum’at 5 April 2008

Ketika saya menulis artikel ini, jam baru menunjukkan pukul 21.45 WIB. Saya baru menulis artikel ini, karena memang pada jam-jam sekian saya lebih suka menggunakannya untuk browsing activity atau malah hanya nonton TV saja di rumah. Faktanya, saya memang baru saja melakukan browsing di internet (tepatnya di warnet). Saya sedang membutuhkan beberapa file yang mengandung unsur pornography dari internet.

Tujuan lainnya, saya ingin menguji kedigdayaan pemerintah dalam menegakkan UU informasi dan transaksi elektronik yang baru saja disahkan. Sebagaimana diketahui, dalam UU tersebut materi-materi pornografi mendapat sorotan yang luas. Pornografi, adalah dilemma dalam hidup kemasyarakatan di Indonesia. Satu sisi dia amat dibenci, satu sisi dia akan terus dikejar dan diburu. Untuk itu, sedari awal saya juga memasukkan beberapa situs esek-esek yang sudah cukup terkenal di republik ini, untuk saya akses.

Jujur saja, saya adalah orang yang masih punya pikiran waras dan nggak berisi pikiran kotor melulu. Untuk itu, saya selalu menempatkan google dan yahoo! sebagai ‘target’ pertama yang harus diakses. Penting bagi saya untuk mengecek e-mail, baru kemudian mengurus situs-situs ‘gak penting’ lewat google demi proses pengunduhan ¬‘xxx file’ tersebut. Karena target utama saya bukan situs ‘xxx’ yang terkenal, maka saya tidak sempat mengaksesnya, sehingga tujuan saya menguji keseriusan pemerintah pun gagal.

Singkat cerita, saya berhasil memperoleh data-data ‘busuk’ tersebut. Data-data tersebut saya peroleh dari web-web yang tidak terkenal. Pada akhirnya, hal ini juga membuktikan, bahwa pemerintah tidak sepenuhnya sukses menutup (memblokir) seluruh halaman web. Itu toh juga tidak mungkin. Memangnya pemerintah mengetahui berapa miliar halaman web yang mengandung materi-materi pornografi ? Dan apakah mungkin pemerintah menutup semuanya ? Rasanya nggak mungkin.

Jadi, sebetulnya UU ini akan efektif jika didasarkan pada kesadaran pengguna internet dan -pada proses komersil- pihak penyedia layanan warnet beserta provider. Kasarnya, masalah selangkang bukan masalah remeh temeh. Masalah selangkang, sudah menyentuh pada skema supply and demand, complex bureaucracy dan aspek privacy. Karena itulah, UU selangkang ini bukannya tidak perlu didukung, tetapi harus memiliki kerangka kerja yang detail dan kongkrit.

Secara sederhana, bolehlah dilakukan public restriction tapi jangan sampai merugikan individu baik itu dari sisi materi, waktu dan kehormatan. Dan itulah yang baru saja terjadi pada diri saya …

Judgement
Sekitar satu setengah jam yang lalu, saya datang ke sebuah warnet di kawasan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (Dukuh Kupang). Dalam rencana ngenet tersebut, saya akan mengunduh banyak file ‘xxx’. Karena itu saya mencoba mengintegrasikan USB disk dengan operating system. Ternyata, USB hub mengalami kerusakan. Sehingga sang admin menawarkan kepada saya untuk mengcopy file dari USB disk. Memang, kenyataannya saya membutuhkan file notepad yang berisi rencana pengunduhan. Caranya, dengan mengcopy file tersebut dari USB disk ke dalam unit PC yang saya gunakan melalui PC sang admin.

Berawal dari hal tersebut, saya sebetulnya sudah merasakan kecurigaan pada tata kelola warnet ini. Saya merasa bahwa saya sedang diawasi oleh sang admin. Tapi, karena sudah kebelet perasaan tersebut saya hilangkan jauh-jauh. Lagipula ngapain suudzan dengan hal yang nggak jelas dan nggak bisa dibuktikan objektivitasnya. Bersamaan dengan itu, saya sudah mulai klak-klik sana sini. Download sana, download sini.

Selama browsing dan download tersebut, USB disk jelas tidak bisa dikoneksikan dengan PC. Akibatnya saya harus stand by, mengawasi proses download dan penyimpanan sementara file-file di dalam salah satu drive. Selama proses itu, file-file tersebut dapat saya saksikan terorganisir dengan rapih. Dan pada titik akhir saya akan mengcut dan mempaste seluruh file dan folder ke dalam storage media yang lain yang memungkinkan.

Proses browsing pun selesai. Saya masih mencoba mencari cara menghubungkan USB disk ke dalam PC. Ternyata USB hub pada bagian belakang PC case bisa digunakan. Sayangnya, dalam upaya pengkoneksian tersebut, saya ‘lengah’ dan ‘lalai’ terhadap file-file yang saya download. Parahnya lagi, secara tidak sadar saya menutup windows explorer application sebelum mengkoneksikan USB disk dengan PC. Ketika saya sadar telah menutupnya, saya mencoba mengaktifkan kembali aplikasi tersebut. Dan abrakadabra … seluruh file dan folder saya telah HILANG, LENYAP dan mungkin juga DIMUSNAHKAN.

Saya mencoba untuk mencari dengan fasilitas search, namun fasilitas tersebut ternyata non-activated. Saya mencoba dengan menengok ke folder options tab, tapi fasilitas tersebut juga dinon-aktivkan. Akhirnya saya terheran-heran sendiri, bagaimana mungkin file-file yang belum saya akses (diclick) bisa hilang. Bahkan ancaman virus pun, tidak mungkin mampu memodifikasi sebuah file, jika file tersebut belum diutak-atik.

Berdasarkan kesimpulan saya, maka tersangka utama dalam kasus ini jelas adalah admin. Ada cukup banyak alasan mengapa admin menjadi tersangka. Pertama, admin secara tidak sengaja kemungkinan melihat web yang saya akses pada saat mondar-mandir menyediakan minuman bagi pelanggan lain. Dua, admin dapat mengetahui akses saya melalui PC yang dia gunakan. Tiga, setelah mengetahui koneksitas saya, admin kemudian membuktikan bahwa saya memang mengunduh ¬file-file ‘terlarang’ (dan pada akhirnya BELIAU -merasa- BERHAK menghapus file-file saya tersebut).

Dengan kejadian tersebut, saya merasa benar-benar dirugikan dari segi materi dan waktu. Hampir 1,5 jam lamanya saya melakukan pencarian … eeeh nggak taunya ada orang lain yang mengintervensi saya secara sepihak. NGGAK SOPAN !!!. Okey … kalau dia bilang, “Saya nggak akan rugi kehilangan satu klien seperti kamu !”. Tapi dia lupa kekuatan pena dan lidah sanggup menghancurkan seseorang melalui gethok tular. Dia juga lupa tentang bagaimana menegakkan aturan dengan melihat substansi dan cara-cara yang etis. Saya sendiri malah ingin menyebut admin semacam ini adalah admin yang bodoh. Anda akan tahu, mengapa saya menyebut dia sebagai admin yang bodoh di akhir artikel ini.

Penegakan aturan dan kerangka etis profesional
Satu hal yang saya garis bawahi dalam kejadian yang baru saja saya alami, adalah ketidakmampuan seseorang dalam melihat substansi dan kerangka etis dalam penegakan aturan. Saya setuju dengan penegakan UU informasi dan transaksi elektronik -yang juga menyentuh masalah pornografi-, saya juga setuju jika admin ikut serta dalam penegakan tersebut. Tapi dalam penegakan tersebut, seorang admin harus berdiri dalam kerangka profesionalitas.

Tentang substansi kejadian di atas, saya benar-benar merasa dirugikan. Capek-capek saya mengeluarkan uang dan waktu … eeh pada akhirnya saya ‘dirampok’. Admin tidak berhak menghapus data-data saya, karena toh secara substansi data-data tersebut tidak memberikan ancaman apapun. Data-data tersebut juga berada dalam pengawasan saya. Data-data yang saya ambil bukan virus komputer yang menyerang sistem. Data-data saya adalah data-data pornografi yang jelas hanya merusak diri saya dan bukan merusak ataupun mengintervensi pihak lain. Dari titik ini saya ingin bilang,

“Itu uang saya, saya berhak melakukan apapun dengan uang saya. Saya meminta anda cukup menjadi penyedia jasa dan tidak berhak merusak pesanan saya. Jika toh anda menilai bahwa pesanan tersebut merusak diri saya, bukan berarti anda berhak ‘menyelamatkan’ saya. Jika anda masih tetap melakukan itu, sama saja anda seperti perampok. Saya memesan makanan, kemudian anda menarik kembali makanan itu karena alasan BERACUN dan kemudian, anda menutup restoran.”

Secara etika profesi, jika admin warnet ingin berpartisipasi aktif dalam penegakan UU, semestinya dia melakukan upaya preventiv dan kurativ. Bukannya melakukan upaya represi, agresi dan intervensi dan berujung pada eliminasi.

Upaya preventiv dapat dilakukan dengan segenap upaya pemblokiran terhadap seluruh web-web yang berbau selangkang sebelum warnet dibuka untuk customer. Tujuannya, customer tidak punya kesempatan mengakses situs-situs porno tersebut. Kalaupun customer berhasil menjebol blokir, admin tidak memiliki hak untuk membatasi akses apalagi mendelete data yang diupload maupun didownload. Keberhasilan seorang customer memperoleh data porno yang diinginkan, adalah pelajaran dan harga yang patut dibayar oleh admin yang gagal. Jangan seenaknya merampok data customer karena marah dan dipermalukan karena kalah pinter. Kalau admin tidak mampu memblokir, ya diakui sajalah !!!

Upaya kurativ dilakukan ketika customer telah meninggalkan ‘TKP’. Di sini, admin baru boleh melakukan pen-delete-an, pemblokiran kembali, dan memasukkan web profile ke dalam restriction access database. Dengan demikian, kejadian yang sama tidak terulang kembali, dan customer tetap merasa nyaman serta dihargai. Admin justru perlu berterima kasih kepada customer, karena secara tidak langsung customer setia tersebut di masa mendatang akan menunjukkan situs-situs porno lain yang dapat diblokir admin. Bukankah ini sebuah ‘simbiosis mutualisme’ ? Daripada ‘memarahi’ customer, bukankah lebih baik admin bersikap mengalah demi kepentingan yang lebih besar. Saya yakin admin yang berotak akan menyetujui gagasan saya.

Akhirnya …
Malam ini saya tak akan tidur nyenyak karena saya baru saja dirampok. Tapi sebelum cerita ‘perampokan’ itu berakhir saya dikerjai lagi dengan ongkos parkir yang tidak layak sebesar Rp. 1.000,00. Lengkap sudah ketidaknyamanan sebuah warnet. Warnet dengan akses yang lambat, sudah jelas memiliki tendensi menipu terhadap konsumen. Tapi, melakukan pen-delete-an file dan melakukan pen-charge-an biaya yang tidak masuk akal, itu sudah merupakan upaya penghinaan, perampokan dan pelanggaran etika profesi.

Kesimpulannya, berhati-hatilah dengan warnet semacam ini. Saya sudah menemukannya di kawasan Dukuh Kupang area Universitas Wijaya Kusuma. Sebagai tindak preventiv, sebaiknya anda jangan pernah ngenet di sana, kalau anda takut bahwa hak anda akan dilanggar. Yang kedua, mulailah beralih ke sistem berlangganan sebagai konsumen pribadi. Provider seperti Telkom maupun beberapa perusahaan telekomunikasi lain sudah menawarkan jasa provider internet. Jika anda tidak sanggup membayar sendiri, anda sanggup membayar secara patungan dan membentuk local area network bersama relasi maupun teman-teman anda.

Salam …

Maling sandal masih ada lho !!!

Senin, April 7 2008

Kejadian ini bisa dideskripsikan sebagai sebuah kejadian yang unik sekaligus ‘klise’ tapi tetap saja kampungan.

Sore tadi saya berangkat ke Masjid Agung Sunan Ampel di kawasan Ampeldenta, Surabaya. Jika anda bingung mengenai kawasan tersebut, anda akan menemuinya di sebelah timur kawasan Jembatan Merah Surabaya setelah melewati kawasan Kya-Kya Kembang Jepun (China Town District). Kawasan ini terletak di sebelah utara Surabaya, yang sebagaimana layaknya kawasan pesisir di Indonesia dihuni oleh etnis India-Arab dan ‘pribumi’ yang kebanyakan bekerja sebagai nelayan. Dan sebagaimana kawasan pesisir lainnya di Indonesia, kawasan-kawasan ini identik dengan kemiskinan.

Tujuan saya datang ke Masjid Ampel sore tadi hanyalah sebuah perjalanan santai-santai yang ‘diselenggarakan’ tetangga saya. Saya sebut perjalanan santai, karena kenyataannya saya hanya ingin mencoba melakukan prosesi ibadah shalat maghrib dan pengajian yang rutin diadakan setiap senin. Maklum, kata para ulama, tempat-tempat seperti kawasan wali (di Jawa disebut para Wali Sanga) adalah sama-sama memiliki kekuatan spiritual yang sama dengan syekh-syekh dari dataran Nabi (Arab dan tetangganya). Tempat-tempat yang ma’bul tersebut merupakan tempat-tempat di mana persentase do’a seseorang diijabah (diridhai - dikabulkan) oleh Allah SWT.

Harapan saya setelah menjalani prosesi tersebut, adalah membawa sesuatu yang baru bagi jiwa saya. Menjadikan perspektif yang bersifat duniawi, memperoleh keseimbangan yang baru dengan perspektif yang bersifat akhirat. Tentunya, untuk mencapai keseimbangan yang nyata tersebut, saya harus mengaplikasikan wejangan-wejangan sang ustadz dalam konsep-konsep logika praktis sehari-hari. Bukan bermaksud menyinggung, tetapi faktanya ceramah-ceramah di Indonesia bukanlah merupakan konsep ceramah yang komprehensif yang menyeimbangkan antara etika dan logika, antara dunia dan akhirat.

Ceramah yang tidak komprehensif tersebut membuat yang miskin dan terpuruk bangga dengan kemiskinannya, dan diwajibkan menuntut kepada yang kuat dan kaya. Sedangkan yang kuat dan kaya selalu dituntut untuk ‘sadar’ dan mau berbagi. Pemisahan dunia dan akhirat itu sendiri -terutama di kantong-kantong tradisionalis- membuat dzikir hanya dikenal sebagai dzikir lisan dan hati, bukan dzikir kerja yang bernilai kejujuran dan amanah. Seumpama digambarkan, masyarakat kita senang sekali dengan teorema-teorema mu’jizat maupun karomah yang hingga kini belum mampu dijelaskan tataran ilmiahnya. Bahkan sampai saat ini, masih banyak para ustadz yang memberikan ‘amalan-amalan’ bagi para santrinya. ‘Amalan-amalan’ tersebut berupa dzikir¬-dzikir tertentu yang harus dibaca berkali-kali pada waktu tertentu -untuk mendekatkan rezeki dan jodoh-.

Dan alkisah pada sore tadi, celetukan guyonan sang ustadz pun keluar, “Wong Jawa iku ora bakal isa nyanggupi kakuatan lan kasugihan. Nek panjenengan mboten percaos, kathah saking panjenenengan diwenehi kasugihan … nanging -wis tah lah- alasane akeh kanggo nglepataken bab budhal kaji. Sing kaji niku malah tiyang-tiyang ingkang mboten sugih, nanging malah tiyang-tiyang mlarat.” (Orang Jawa itu tidak akan bisa menerima kekuatan dan kekayaan. Kalau saudara sekalian tidak percaya, banyak dari saudara yang sudah diberikan kekayaan, tapi tetap saja banyak alasannya untuk melupakan masalah haji. Kenyataannya, justru yang menunaikan haji itu bukan saudara-saudara yang kaya, tetapi adalah saudara-saudara yang miskin.)

Bahwa haji itu mahal, itu adalah hal yang pasti. Lantas bagaimana mungkin orang-orang miskin seperti saya bisa menunaikan haji ? Apakah kelak saya akan menunaikan haji dengan mengemis dan berharap-harap mendapat tiket haji dari sebuah undian minuman ringan ? Padahal haji itu, ditujukan bagi mereka yang mampu secara finansial dan punya tekad iman yang ‘penuh’. Jadi, tidak mungkin orang miskin bisa haji -dan bahkan tidak diwajibkan berhaji jika memang tidak mampu- sekalipun khusyu’ mengejar akhirat dengan berdzikir dan berdo’a berkali-kali. Logika yang paling mungkin adalah, orang yang belum mampu berhaji harus berdo’a dan berikhtiar dengan cara-cara yang etis dan Islami. Bukan berdo’a dan mengharap durian runtuh.

Kenyataan bahwa logika “orang Jawa sanggup melarat tapi ‘diterima’ Allah” tersebut gagal, adalah ketika saya hendak pulang dari Masjid Ampel. Anda tahu apa yang terjadi ? SANDAL SAYA HILANG. Dengan demikian, gugur sudah logika “melarat tapi diterima Allah”. Tragedi sandal hilang itu juga menyebabkan saya mempunyai thesis baru untuk menentang ustadz, bahwa, “Orang Jawa selain tidak sanggup menerima kekayaan, juga tidak sanggup menerima kemiskinan. Jika kekayaan dan kemiskinan sebagai pemberian Allah tidak disanggupi amanahnya, berarti Orang Jawa itu adalah orang yang kufur dan kafir.”. Hal itu akan menjadi lebih ironis lagi, mengingat tempat kejadian perkara (TKP) adalah kawasan religius. Jika orang-orang yang datang ke kawasan tersebut adalah sekumpulan orang yang memohon petunjuk Allah atas segala ujian berupa kemalangan rezeki, jodoh dan kematian, mengapa mereka tega menyakiti sesamanya ? Padahal agar sebuah do’a dikabulkan, yang berdo’a harus suci dari segala lelaku dosa. Bebas dari lelaku mencuri -sandal-, mencopet, menjambret, dll.

Akhirnya, bercampur dengan segala rasa jengkel dan syukur, saya berharap agar di masa mendatang kawasan religius harus membawa perbaikan mental bagi para peziarah maupun bagi masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Seiring dengan rasa jengkel dan syukur tersebut, saya juga tertawa mengingat cerita seorang rekan kerja beberapa tahun yang lalu di kawasan Ampeldenta. Rekan kerja tersebut, juga kemalingan. Tetapi, itu adalah kemalingan yang konyol. Bayangkan saja jika anda kehilangan karet pelindung handle kemudi sepeda motor, tetapi yang dicuri hanya sebelah !!! “Kalau memang mau mencuri kenapa tidak dicuri sepasang ? Kenapa dicuri cuman sebelah doank. Bikin jelek sepeda motor saya saja !!!”, begitu keluhnya kala itu. Jika mengingat ironi itu, saya juga teringat dengan kalimat teman saya di Purwokerto beberapa tahun lalu. Begini katanya :

“Di sekitar sumber air, selalu ada MCK (Mandi Cuci Kakus). Jadi, di sekitar yang baik-baik akan selalu ada yang kotor-kotor. Itu sudah hukum alam. Harapan kita, tentu saja hal-hal yang baik akan membersihkan yang kotor-kotor. Kamu setuju tentang hal itu kan ?”

Salam …

Aduhai Dewi Persik

Jum’at, 28 Maret 2008

Waktu menulis artikel ini, sebetulnya saya benar-benar malu. Mengapa ? Karena secara tidak langsung, saya telah mengkonsumsi informasi sampah. Tapi, oke-lah karena sebetulnya baik buruknya informasi, ditentukan perspektif kita. Jadi, inilah -dosa- artikel kali ini, saya ngomongin orang lain. Di mana sumber informasi ini cuman sas-sus belaka, alias saya peroleh dari infotainment.

Topiknya, tentang “Kemurkaan Dewi Persik”. Ya, kabarnya Dewi Persik ngamuk-ngamuk sebagai akibat keluarnya “tudingan” pencekalan kepada dirinya. Ancaman cekal tersebut, dikeluarkan oleh walikota Tangerang sebagai akibat aksi Dewi Persik yang “liar”. Pun demikian, pencekalan tersebut kabarnya juga merupakan komoditas politik dari sang walikota. Maklum, walikota Tangerang tersebut merupakan calon incumbent pada event pilkada di masa mendatang.

Dari titik ini, Dewi Persik melakukan upaya gugat terhadap sang walikota. Alasan yang dikemukakan oleh Dewi Persik sungguh “jelas”. Dia menggugat sang walikota, karena merasa dirinya dilecehkan, dicemarkan nama baiknya, dan harga dirinya diinjak-injak di depan publik. Sang walikota, menanggapi hal tersebut dengan tenang-tenang saja, dan justru menuding balik kepada Dewi Persik. Alasannya juga cukup “jelas”. Menurut walikota, Dewi Persik semestinya bersyukur ada seseorang di luar sana yang mau mengingatkan dirinya. Upaya tuding-menuding, gugat-menggugat ini kian memanas seiring “bumbu-bumbu” yang ditambahkan oleh infotainment.

Jadi apa yang mau dibahas di sini ? Dua hal penting unsur komunikasi massa, yaitu kejujuran dan etika berpendapat. Kejujuran dan etika berpendapat, adalah dua hal yang patut dihayati sebelum berkomunikasi. Kejujuran dan etika berpendapat jugalah yang menyebabkan suasana konflik akan selalu tetap jernih, yang berujung pada mudahnya solusi penyelesaian masalah.

Tentang Dewi Persik
Siapa yang tidak kenal Dewi Persik di jagat Indonesia ? Penyanyi dangdut yang satu ini, memang terkenal dengan berbagai “kecelakaan” payudara. Setidaknya, ada dua yang saya ketahui, yaitu pada acara live di SCTV beberapa tahun lalu dan ketika ada tangan “nyelonong” di salah satu infotainment. Dari dua major “event” tersebut, mungkin orang awam pun langsung menilai bahwa Dewi Persik memang “nakal”. Itu belum ditambah “pandangan” masyarakat bahwa Dewi Persik adalah sosok pembangkang. Lha gimana nggak ? Wong, suami sendiri digugat cerai. Kabarnya, gara-gara sang suami gerah dengan “aksi” Dewi Persik.

Bagaimana dengan saya sendiri ? Saya sendiri juga terangsang liat Dewi Persik, apalagi kalo pas lagi mupeng. Tapi apa sih bedanya terangsang ala Dewi Persik dengan terangsang ala penyanyi western macam Beyonce ato Britney ? Jawabnya adalah kacangan dan elegan. Jika kita lihat langsung di beberapa infotainment, saya menilai goyangan Dewi Persik memang kacangan. Dengan alasan profesionalitas apapun, saya menilai bahwa goyangan yang disuguhkan Dewi Persik adalah goyangan senggama. Ada gerakan doggy style lah, gerakan masukin dildo ke liang senggama lah. Ancuuuuuuuur … hehehe … tapi tetap nikmat ya ?

Benar-benar jauh dengan goyangan Beyonce ato Britney. Beyonce dan Britney punya sensualitas tersendiri, mereka memang memancing syahwat, tapi halus dan elegan. Nggak percaya ? Tonton dan lihatlah jajaran video clip yang mereka buat. Sangat jarang dalam video clip, mereka menunjukkan gerakan senggama kepada khalayak ramai. Saya sendiri, sangat menyukai goyangan Shakira dalam video clip ‘Wherever Whenever’. Benar-benar goyangan pusar yang menggugah “selera” saya sebagai lelaki.

Tapi, itu semua adalah sebatas yang bisa kita lihat dan kemudian kita rasakan atas aksi-aksi mereka. Apa yang saya lihat, cuman potongan-potongan fakta yang disusun oleh media cetak dan elektronik. Saya maupun anda, adalah belum, dan mungkin tidak akan pernah melihat “gambar besar” baik itu dari Dewi Persik, Beyonce, Britney dan Shakira. Yang kita lihat adalah pengungkapan-pengungkapan media yang hiperbolis, yang ironisnya, pengungkapan yang telah “dimanipulasi” tersebut kita ambil sebagai sebuah kesimpulan.

Sebagai perspektif baru, coba pikirkan bahwa mungkin di tempat lain Dewi Persik tidak tampil se-seronok itu. Dan itu mungkin lho !!! Toh, kenyataannya Dewi Persik nggak mungkin tampil -seronok- di satu tempat saja sebagaimana ditayangkan oleh infotainment. Pada beberapa tayangan ajang talent search, saya juga sempat menonton bahwa Dewi Persik ternyata “sanggup” untuk tidak “berfantasi senggama” di hadapan publik. Kenyataan bahwa Dewi Persik juga sanggup bergoyang dengan “wajar” adalah sebuah fakta yang kita lupakan. Dan baik sengaja ataupun tidak, hal tersebut tidak ditayangkan (dipaparkan) oleh awak infotainment.

Berlanjut kepada masalah pembelaan diri Dewi Persik. Dalam beberapa kesempatan, pernyataan berikut sering kita dengar :

Di luar sana masih banyak yang sama seronoknya dengan saya. Dan bukan tidak mungkin, mereka tampil lebih seronok daripada saya. Kenapa cuman saya yang dicekal ?

Dari pernyataan tersebut, saya malah menilai bahwa kita suka menjadikan orang lain sebagai kambing hitam. Kita suka sekali melemparkan masalah kepada orang lain, baik mereka itu terkait atau malah tidak terkait sama sekali dengan masalah kita. Mungkin itu kebiasaan kita ya ? Atau jika anda tersinggung, mungkin itu adalah kebiasaan saya ?

Terlepas dari itu semua, sebagai seorang muslim saya paham bahwa aksi-aksi mengumbar syahwat baik yang bugil ataupun semi bugil adalah dosa. Aksi-aksi mempertontonkan aurat, baik yang secara langsung (nunjukin pusar, paha dan belahan payudara) maupun yang tidak langsung (pakaian melekat dan ketat) adalah dosa. Dan saya sendiri juga merasa, bahwa goyangan dan kemasan yang ditunjukkan Shakira, Beyonce, Britney maupun Dewi Persik adalah sebuah dosa, alasannya jelas, semuanya memancing syahwat. Lelaki paling cool sekalipun, boleh saya katakan tidak normal kalau tidak terangsang menonton aksi mereka. Mungkin hanya lelaki yang dikebiri yang tidak terangsang.

Jadi, jika Dewi Persik menggunakan pernyataan seperti tersebut di atas, saya sebagai muslim yang logis jadi berpikir, “Gak salah tah omonge arek iki ?”. Ada dua hal yang saya kemukakan. Pertama, jika Dewi Persik menggunakan pernyataan tersebut di atas, secara tidak langsung dia mengakui bahwa dirinya memang tampil seronok. Kedua, seronok yang sedikit ataupun yang berlebihan itu, adalah hal yang bagi saya maupun bagi sebagian umat muslim adalah sama-sama berdosa. Kasarnya, dosa kecil ataupun dosa besar adalah sama-sama dosa !!!

Dalam dada saya yang paling rusak sekalipun, saya tahu bahwa nonton bokep, baca manga ecchi (hentai) itu sama-sama dosa. Dan rasanya itu juga berlaku bagi tiap anak manusia, alasannya sangat jelas, manusia secara mendasar diciptakan dengan kecenderungan kepada kebaikan dan kebenaran. Jadi, ketika kita berbohong dengan kebaikan dan kebenaran yang telah ditakdirkan Tuhan untuk tumbuh dalam diri manusia, kita sebetulnya telah berbohong kepada diri sendiri. Hal ini adalah apa yang saya rasakan. Hal yang berbeda mungkin terjadi pada anda maupun pada para pelaku debat kusir di infotainment tersebut.

Jika Dewi Persik mencoba membela diri, bahwa dia sanggup tampil sesuai dengan pesanan demi profesionalitas, maka saya berharap dapat menjadi milyarder sekelas Bill Gates. Jika saya sekaya Bill Gates, saya akan membayar Dewi Persik sebesar 100 milyar rupiah untuk menyanyi dan bergoyang bugil secara live melalui seluruh saluran TV nasional untuk menghibur masyarakat di Indonesia. Saya harap Dewi Persik tidak menolak … kan katanya bisa sesuai pesanan ? Lagipula, saya adalah laki-laki terkaya di dunia, saya bisa membeli harga diri seorang Dewi Persik untuk menyanyi bugil kan. Kan katanya profesional ? Saya adalah pembeli, dia penjual yang harus bisa memahami keinginan saya. Kalau Dewi Persik tidak sanggup, saya turunkan penawarannya. Saya akan bayar dia 50 milyar rupiah dengan pesanan yang sama (menyanyi bugil) untuk saya pribadi di kamar hotel berbintang. Dan tanpa sepengetahuan dia, saya bisa merekam aksinya untuk saya edarkan secara gratis kepada masyarakat luas …

Kesimpulannya, saya harap Dewi Persik perlu berpikir secara jernih, jujur dan bertanya kepada diri sendiri. Saya kurang setuju dengan kerangka pemikiran profesionalitas yang diajukan Dewi Persik. Sudah terbukti, aksi tangan “nyelonong” adalah akibat dari goyangan dia sendiri. Sudah terbukti, bahwa ada orang di luar sana yang ngaku secara terang-terangan bahwa dia terpesona dengan goyangan dan payudara miliknya. Apakah kerangka profesionalitas harus melupakan harga diri wanita (menjaga aurat dan tindakan) ? Semudah itukah uang berkuasa atas harga diri … Jika Dewi Persik menjawab YA, saya berharap dapat menyaksikan dia menyanyi bugil di hadapan saya kelak …

Tentang Walikota
Yah … yah … dunia politik adalah dunia yang penuh siasat, strategi dan tipu daya. Saat ini jadi kawan, besok jadi lawan. Terlepas dari kenyataan itu, sebetulnya sebagian besar kita mungkin menyetujui pernyataan Walikota Tangerang tersebut. Sebagian besar masyarakat kita, tentu menginginkan terciptanya masyarakat yang bersih dan menjunjung norma-norma kesopanan. Kita semua tidak memungkiri, bahwa asal muasalnya kejahatan pemerkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual memang berawal dari jasa dan benda-benda yang berbau pornografi dan pornoaksi.

Yang jadi masalah Pak Walikota di sini, adalah tudingan kepada sosok individu tertentu, baik disengaja ataupun tidak. Dan hal ini, ditulis sebagai fakta oleh media informasi yang disadari atau tidak, membuat suasana makin keruh. Fakta yang meluncur dari mulut walikota, disadari atau tidak, telah dinarasikan, dideskripsikan dan dipersepsi sebagai upaya fitnah dan aksi tebang pilih oleh pihak media informasi dan pihak tergugat (dalam hal ini adalah Dewi Persik). Inilah bukti, bahwa lidah lebih tajam dari pedang. Ketika pedang “menggaris” sebuah masalah, maka akan selalu ada pertentangan di dalamnya. Bahkan bukan tidak mungkin, hal ini memang disengaja untuk menghabisi pihak-pihak tertentu dalam pertentangan (konflik) tersebut.

Dalam Islam, terdapat sebuah etika dalam menegur pihak lain apabila yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan atau melanggar norma-norma tertentu. Etika tersebut adalah, upaya menegur pihak lain tanpa diketahui oleh publik. Etika ini telah dianut, bukan hanya oleh masyarakat luas tapi secara mendalam juga disetujui kalangan profesional dan businessman. Dengan menggunakan logika psikologi (kejiwaan), media dialog empat mata akan membuat pihak tergugat lebih merasa dihargai. Karena baik dirinya bersalah atau tidak, dirinya tetap memperoleh rasa aman dan nyaman dalam masyarakat.

Dalam kasus Dewi Persik kali ini, terang-terang digambarkan kepada kita akan kekhilafan atau bahkan ketidakmampuan seseorang dalam menjaga tindak-tanduknya. Kita tidak pernah tahu siapa yang salah dan siapa yang benar dalam kasus ini. Tapi setidaknya, “konflik” semacam itu tidak perlu sampai diekspose oleh media massa. Jujur saja, jika saya melihat dua orang yang berkonflik dalam kasus ini, saya merasa muak. Bukan karena inti dari kasus itu sendiri, tapi karena etika mereka yang rendah dalam berdialog.

Sebetulnya kasus yang serupa pernah terjadi kala Inul Daratista menggegerkan Indonesia dengan kemunculan goyang ngebor-nya. Kala itu, aksi Inul betul-betul membius publik. Bukan karena goyangan ngebor itu sendiri, namun karena Inul sukses membawa dirinya sendiri. Kala itu, Inul “sukses” berperan sebagai gadis desa yang lugu dan tak memiliki tendensi apapun. “Kekuasaan” Rhoma Irama sebagai pengawas jagad dangdut pun tidak diakui oleh khalayak ramai. Masyarakat justru menaruh simpati kepada Inul Daratista.

Simpati yang mengalir kepada Inul itu sendiri, juga dilatarbelakangi oleh kisah epik Inul yang sukses dijual di infotainment dan sinetron. Cerita dan kemasan sinetron itu juga dipoles dengan baik. Rasa-rasanya sas-sus itupun sampai sekarang makin terlihat nyata, bahwa Inul memang tidak seburuk dugaan orang. Inul tidak pernah nampang di berbagai acara gosip yang mengumbar sisi negatif sesosok individu. Kalaupun ada, Inul juga dikabarkan tampak rukun dengan keluarga, sekalipun sampai saat ini keluarga mereka belum dikaruniai putra.

Pada saat itu, tudingan sang “pengawas” benar-benar terpental menuju dirinya sendiri. Karena apa ? Si tergugat tampaknya diam-diam saja, bahkan dengan elegan berusaha datang menemui untuk membicarakan duduk persoalan konflik di antara mereka. Inul tidak pernah menyewa pengacara, apalagi ngoceh yang nggak-nggak. Pada akhirnya, pengacara Inul adalah kaum jurnalis bahkan politisi sekelas Gus Dur. Sampai saat ini kita tidak pernah tahu apakah aksi Inul tersebut adalah sebuah ketulusan atau kecerdikan dalam menilai situasi ? Yang jelas, saat itu slogan “Silence is a gold” benar-benar membuktikan keperkasaannya. Inul menang dengan angka mutlak …

Kesan dari kisah sukses Inul, adalah sejarah pembelajaran tentang taktik dan strategi dalam komunikasi massa. Berkomunikasi bukan hanya soal kelihaian dalam berpendapat dan mengemas tendensi pendapat itu sendiri. Kenyataannya berkomunikasi juga perlu etika dan statement timing. Sosok walikota (politisi) Tangerang tersebut dapat menjadi pelajaran. Sang walikota telah gagal menyampaikan pesannya. Pesan yang semestinya secara keseluruhan akan memenangkan hati publik jadi buyar gara-gara dua hal. Pertama, melakukan penyerangan kepada individu sebagai sample “percobaan”. Kedua, statement timing yang kurang tepat menyebabkan statement tersebut mengarah kepada komoditas politik dan jurnalistik -yang semestinya tidak perlu terjadi-.

Kegagalan dalam menyampaikan dan menggunakan saluran informasi dalam kasus Dewi Persik semacam ini adalah failure yang secara sukses membuat kita terhanyut di dalamnya, dan ketika kita sadar, kita akan mengacuhkan informasi sampah semacam ini. Tapi bagaimana jika kejadian saling tuding ini terjadi di tingkat antar negara dan dalam situasi perang dingin ? Bukan tidak mungkin, kegagalan komunikasi berujung pada pertumpahan darah. Karena itu, event semacam ini dapat dijadikan pelajaran tentang bagaimana semestinya kita belajar berkomunikasi.

Akhirnya …
Kita menyadari bahwa dalam sebuah informasi ada fakta-fakta dan juga ada gosip-gosip belaka. Untuk itu kita harus pandai memilih, menyaring dan mengolah informasi yang diterima otak kita. Saat ini, adalah masa di mana informasi menjadi raja dan keyboard menjadi panglima. Media massa adalah pedang bermata dua, dia bisa membawa manfaat dan juga bisa menjadi pelatuk senjata. Mengutip pendapat pada perang dunia II, bahwa untuk mengalahkan musuh tidak diperlukan senjata. Yang diperlukan adalah rasa takut. Rasa takut, gembira dan cemas, sukses dibuat oleh media massa. Tidak percaya ? Lihat saja, kepanikan bursa saham dan kemasyarakatan bisa diskenariokan dengan informasi yang ditulis dan dikemas dengan rapih oleh media massa. Kita perlu belajar bagaimana menyikapi informasi dan bukan hanya menelannya bulat-bulat. Semoga kita bisa belajar dari kasus Dewi Persik. Salam …