Monday 28 April 2008

Ahmadiyah (Muter-Muter Mantiq Islam)

Isu yang akan dibahas kali ini sebetulnya cukup sensitif, yaitu mengenai eksistensi jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Isu mengenai JAI memiliki motif dan format kasus yang sama dalam rentang waktu yang berbeda ketika kita membahas Mushaddeq, maupun beberapa aliran kepercayaan yang lain. JAI termasuk dalam kasus penyimpangan agama -Islam-, karena melanggar beberapa prinsip pokok dalam mempercayai suatu keyakinan.

Islam sebagaimana yang dikenal masyarakat banyak bersandar pada tujuh rukun iman dan lima rukun Islam (yang dilaksanakan melalui syari’at). Tiga di antara tujuh rukun iman adalah iman (meyakini) kepada Allah; kepada Kitab Allah -khususnya Al Qur’an-; kepada Rasul -khususnya Muhammad SAW-. Sedangkan lima rukun Islam adalah syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.

Rukun iman pada dasarnya adalah keyakinan mendasar dari tiap makhluk yang terlahir di dunia. Untuk menopang keyakinan itu, Islam sebagai sebuah agama mengatur dan mewujudkan keyakinan itu melalui rukun Islam. Dengan demikian, muslim (orang Islam) mengakui keyakinannya dengan syahadat (bersaksi) kepada Allah dan Muhammad SAW, lantas shalat, berpuasa, berzakat dan -jika mampu- berhaji sesuai syari’at Islam menuju Mekkah Al-Mukarramah.

Jadi, jika disimpulkan adalah sebagai berikut :
Seorang Islam (Muslim) adalah seseorang yang meyakini dengan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Rasul Muhammad SAW adalah utusan Allah -yang terakhir- bagi alam semesta. Setelah meyakini dan bersaksi, seorang muslim (sesuai syari’at) melaksanakan shalat lima kali dalam sehari, wajib berpuasa di bulan Ramadhan, berzakat jika telah mencapai batas ketentuan Allah (nishab) dan berhaji ke tanah suci Mekkah apabila memiliki kesanggupan materi, fisik serta hidayah.

Lantas, apa hubungannya dengan Ahmadiyah ?

Ahmadiyah mengakui bahwa eksistensinya merupakan bagian dari Islam. Hal ini sama halnya, jika anda mengenal adanya Islam sunni dan Islam syiah di kawasan Timur Tengah, atau jika anda tinggal di Indonesia dikenal adanya Islam Muhammadiyah dan Islam Nahdlatul Ulama (NU).

Tetapi dalam kasus Ahmadiyah ini berbeda, mengapa ? Hal ini disebabkan karena (pertama) Ahmadiyah mengakui Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi (rasul) mereka, padahal Islam telah menegaskan bahwa tiada lagi Nabi yang akan diutus oleh Allah SWT setelah Nabi Muhammad SAW. Kemudian (kedua) menyatakan bahwa ibadah haji tidak dilaksanakan di Mekkah -Saudi Arabia-, melainkan di Rabwah dan Qadiyan -India-. Dan (ketiga) yang masih berstatus buram adalah kitab suci Tadzkirah yang menggantikan posisi Al-Qur’an.

Perbedaan yang diajukan oleh Ahmadiyah ini merupakan perbedaan yang sangat mendasar dengan muslim lainnya. Perbedaan itu juga dapat disebut fatal. Islam meyakini, bahwa ketika seorang Muslim wafat, dua malaikat akan menanyakan lima hal di dalam kuburnya. Dua di antaranya adalah siapa Nabimu dan siapa pemimpinmu ? Seorang muslim -yang nggenah- akan menjawab bahwa Nabinya adalah Rasulullah Muhammad SAW dan pemimpinnya adalah kitab suci Al-Qur’an. Jadi kasarnya, Islam punya standard. Kalau anda mengakui dan meyakini Islam, maka anda harus meyakini, bersaksi dan mengikuti apa yang ditunjukkan Al-Qur’an dan diamalkan Rasulullah Muhammad SAW.

Jadi, kalau seorang Ahmadee (penganut Ahmadiyah) mengakui sebagai bagian dari Islam, maka hal tersebut adalah sesuatu yang absurd dan tidak bisa diterima. Nabi umat Islam adalah nabi terakhir Rasulullah Muhammad SAW, bukan nabi Mirza Ghulam Ahmad. Kitab suci umat Islam adalah Al-Qur’an yang menutup dan menyempurnakan seluruh kitab Allah yang terdahulu (Zabur, Taurat dan Bible), bukan kitab Tadzkirah. Kalau standard Islam tersebut sudah dilanggar oleh Ahmadiyah, maka secara logis Ahmadiyah bukan merupakan bagian Islam.

Jika Ahmadiyah masih mengaku sebagai bagian umat Islam, tentu saja patuhilah standard Islam. Namun jika tidak, sebaiknya Ahmadiyah diakui sebagai sebuah agama yang baru. Yang menjadi masalah, Tuhan dari Islam, Kristiani, Yahudi dan Ahmadiyah adalah sama-sama Allah SWT. Sementara secara ruhiyah agama samawi (Langit) hanya ada tiga, yaitu Yahudi, Kristiani dan Islam. Keberadaan tiga agama itu juga ditunjang oleh kitab suci masing-masing yang diturunkan langsung oleh Allah yaitu Taurat, Bible dan Al Qur’an.

Bagaimana dengan Ahmadiyah ?

Ahmadiyah memiliki kitab Tadzkirah yang -dari berbagi narasumber- hanyalah tafsir terhadap Al Qur’an oleh Mirza Ghulam Ahmad. Tentu saja, ini sangat mengejutkan. Sebuah kitab dipandang suci karena berasal dari Tuhan yang Maha Suci. Secara hakikat, tidak mungkin kitab suci ‘diterbitkan’ oleh Nabi, sekalipun Nabi itu sendiri adalah makhluk Tuhan yang paling dekat dengan Tuhan. Jika kitab suci Tadzkirah merupakan dasar dalam agama -baru- Ahmadiyah, maka sebaiknya juga jangan mengakui Allah sebagai Tuhan mereka.

Karena secara ruhiyah, jika mengakui Allah sebagai Tuhan dari agama Ahmadiyah, hal tersebut tidak dibenarkan. Allah menurunkan tiga agama secara bertahap dimana Islam merupakan agama penutup dan paling sempurna. Agama samawi (Agama Allah) secara bertahap adalah Yahudi, Kristiani dan Islam. Islam memiliki kedudukan yang khusus karena menyempurnakan seluruh ajaran agama Allah yang sebelumnya. Penyempurnaan tersebut disampaikan melalui Al-Qur’an.

Dengan demikian, jika Ahmadiyah mengakui Allah sebagai Tuhannya maka Ahmadiyah harus memilih untuk menganut Yahudi, Kristiani atau Islam sesuai dengan standardnya masing-masing. Jika tidak mengikuti salah satu di antara ketiganya, sebaiknya jangan mengakui Allah sebagai Tuhan. Saya justru mengusulkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Tuhannya agama Ahmadiyah, sebab kitab suci Tadzkirah ‘diterbitkan’ oleh Mirza Ghulam Ahmad itu sendiri.

Semoga dijadikan pertimbangan komunitas Ahmadiyah, sebab dari sisi manapun Ahmadiyah bukanlah Islam, bahkan juga bukan Yahudi maupun Kristiani. Karena kitab suci Islam, Yahudi dan Kristiani berasal dari Allah bukan dari Mirza Ghulam.

Salam …

Saturday 26 April 2008

Puasa

Jum’at, 14 Maret 2008

Baru beberapa saat lalu saya menonton berita di salah satu saluran televisi nasional. Dalam salah satu sesi pemberitaan, dikabarkan tentang munculnya fenomena busung lapar (kelaparan) yang menimpa balita-balita di beberapa perkotaan maupun pedesaan. Tentu saja hal ini merupakan realita yang memilukan. Bagaimana tidak, di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini, rakyat harus menanggung kelaparan.

Sayup-sayup, pemerintah secara kontinu mengajak masyarakat untuk berhemat, berpuasa dan mengencangkan ikat pinggang. Pernyataan semacam itu, secara tidak langsung telah melukai hati masyarakat. Masyarakat selama ini telah berhemat, telah berpuasa untuk menahan laju harga-harga. Jika pemerintah terus meminta masyarakat berpuasa, insyaallah masyarakat Indonesia akan mengalami Ramadhan sepanjang tahun atau bahkan seumur hidup.

Jika hal tersebut benar-benar terjadi, kita perlu memikirkan pernyataan Gus Dur yang kurang lebih dituturkan sebagai berikut :

… kalau anda mengalami kelimpahan rezeki dari Tuhan dan kemudian menahan diri anda dari rezeki tersebut, maka anda –pantas- disebut berpuasa. Tapi kalau anda menahan diri, karena tidak ada suatu rezeki pun yang bisa anda nikmati, itu berarti anda menjalani kelaparan …

Pernyataan Gus Dur tersebut, sekilas terdengar seperti sebuah lelucon. Tapi apa benar demikian ? Kita memang mengalami kelaparan. Semenjak era perjuangan sampai era petrodolar saat ini, masyarakat tetap menjalani “kelaparan” atau lebih logis disebut puasa tiada henti. Anehnya, walau sudah berpuasa puluhan tahun, negeri ini tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Seolah-olah semua menjadi tampak wajar, kelaparan adalah peristiwa biasa dan PHK adalah konsekuensi bagi pekerja yang menuntut kenaikan upah.

Kalaupun kelaparan itu wajar disebut sebagai puasa, mungkin kita sudah menempatkan satu pijakan yang salah. Puasa itu kan hanya untuk Allah ta’ala dan dinilai langsung oleh Allah. Lha, apakah wajar kalau kita berniat puasa karena nggak ada yang dimakan ? Kedengarannya saja sudah lucu :

… Ya Allah, hari ini saya berniat puasa karena tidak ada yang dapat saya makan hari ini begitu juga untuk hari esok dan esok dan esok dan esok dan esok … lagi …

Memang, saat ini kita tidak dapat dan tidak afdhol jika saling menyalahkan satu sama lain. Saat ini dunia sedang dilanda resesi, sebagai akibat jebolnya sistem perekonomian United States yang diawali oleh macetnya kredit perumahan (Subprime Mortgages) dan kenaikan harga minyak dunia akibat perang di dataran Timur Tengah yang berkepanjangan. Saat ini, sebetulnya saat yang tepat untuk melakukan integrasi ke dalam antar anak bangsa.

Rakyat harus mengerti, jika subsidi harus mulai dikurangi. Tapi pemerintah juga tidak selayaknya berleha-leha di atas penderitaan rakyat. Mereka yang berbaju safari dan mereka yang berstatus PNS bukanlah segelintir Pengangguran Negeri Sipil. Mereka diberi kepercayaan untuk mengurus rakyat dan semestinya mereka mengurus rakyat sepenuh hati, bukan sepenuh PUNGLI. Dan kemudian PNS tersebut menyelamatkan dirinya sendiri …

Saat ini, jika pernyataan berhemat dan berpuasa adalah jawaban yang tepat. Maka pemerintah tetap perlu bekerja keras mengimbangi penghematan tersebut dengan menerapkan sistem prioritas jangka pendek, menengah dan panjang. Solusi jangka pendek dalam situasi resesi saat ini adalah membangun ketahanan pangan dan penegakan hukum yang baik. Masalah perut bukan masalah sepele, perut mampet berbuntut logika yang macet. Dalam logika yang macet, emosi makin seret. Kalau emosi sudah seret, maka dibutuhkan rasa keadilan … keadilan sosial dan keadilan ekonomi.

Rakyat sudah cukup bersabar … rakyat sudah cukup berpuasa ... sudah saatnya rakyat Indonesia buka puasa. Dan sekarang, dibutuhkan pemimpin yang sanggup memberikan buka puasa yang layak … bukan yang mewah … Masa, sekedar menyiapkan buka puasa yang layak saja pemerintah tidak mampu. Sementara hampir tiap hari eksekutif dan legislatif kita mampu minum mewah (baca : Starbucks Coffee) … rakyat hanya menginginkan sepiring nasi, tahu-tempe, sambal, krupuk dan es teh manis …

Saya sendiri … tidak neko-neko, cuman kepengin bisa makan dengan tenang dan tetap bisa melanjutkan mencatat di blog ini.

Salam …

MInyak Tanah sepanjang 500 meter

Jum’at, 18 April 2008

Tidak seperti biasanya, saya baru saja menuliskan sebuah kisah yang terjadi beberapa hari lampau. Sulit untuk menuangkan alasannya, karena sebenarnya alasan yang panjang justru berakhir menjadi kebohongan belaka. Jujur saja, saya tidak memiliki mood untuk menulis beberapa minggu terakhir ini. Tanpa mood, kisah yang sebenarnya cukup menarik pun tidak bisa dideskripsikan dengan baik. Walhasil, akhirnya hanya kisah-kisah yang membuat kita ‘shock’ saja yang mampu menarik jari-jari ini menekan tuts keyboard.

Jadi, apa sih yang akan saya tulis hari ini ?

Hari ini saya akan menulis antrian minyak tanah di lingkungan saya. Sejujurnya, sudah dua kali saya ikut melakoni kisah antrian ini. Dan di setiap kisah itu, tidak ada namanya antrian yang menyenangkan. Terlalu panjang untuk dideskripsikan, karena saya bukan seorang pendongeng. Tapi, sebagaimana kita ketahui secara umum, antrian itu terdiri dari tiga kata saja, yaitu PANAS, SEROBOTAN, dan BOSAN. Yah, itulah ciri antrian di negara kita yang tercinta, Republik Indonesia.

Panas, tentu saja karena (pertama) negara ini tepat berada di garis ekuator, (kedua) negara ini merupakan salah satu negara konsumtif (gengsian) dalam urusan moda transportasi, dan (ketiga) rakyat di negara ini paling bisa bikin life shortcut, walaupun harus berakibat merugikan pihak lain. Lengkap sudah arti kata panas di negara ini, baik dari sisi literal sampai dengan makna kiasan. Suhu panas, uang panas, tensi emosi yang mendidih sampai akhirnya kopi panas, hehehehe ….

Serobotan. Ini adalah contoh riil dari life shorctcut di Indonesia. Sedari dulu, mentalitas bangsa Indonesia adalah mentalitas ‘jalan pintas’ dan gak mau susah. Rakyat di negeri ini, maunya menang sendiri. Kalau ingin sukses, persaingannya tidak sehat dan berkesan membunuh pihak lain. Mungkin anda pernah mempelajari ilmu huruf jawa, dalam sistem huruf jawa, ada sistem pangkon dan pasangan, yang berfungsi untuk ‘membunuh’ huruf di depannya. Hal ini dilakukan agar huruf di belakangnya bisa hidup. Walhasil, dalam urusan antrian minyak tanah, jika ingin dapat jatah minyak tanah, ya harus nyerobot, bukan nyeruput, hehehe …

Kesannya kasar ya ? Kenapa yang dijadikan contoh kok JAWA. Karena sebetulnya, tidak ada Republik Indonesia, yang ada adalah Republik Jawa. Believe it or not, fakta itu tidak bisa dibantah. Apa yang kita tonton sehari-hari ada di Jawa. Apa yang kita baca sehari-hari berasal dari Jawa. Pusat pendidikan, kebudayaan dan keuangan semuanya ada di Jawa. Jika hampir semua hal yang kita terima ada di Jawa (atau setidaknya berasal dari Jawa) maka secara tidak sadar kita hidup dengan cara Jawa. Lingkungan membentuk kepribadian. Kepribadian yang status quo juga membentuk lingkungan.

Bosan. Tentu saja bosan, lha wong antriannya bisa 500 meter. Lima kali panjang lapangan sepakbola !!! Yang jelas dalam panjangnya antrian itu, manusia bisa jadi lupa diri. Kondisi demikian itu, paling enak dijadikan santapan empuk para penjahat. Bagaimana tidak, semua orang fokus dengan panjangnya antrian dan emosinya sendiri. Berbagai macam sumpah serapah kebun binatang keluar. Tapi ada juga yang menjadikan peristiwa tersebut sebagai ajang kampanye. Bener-bener konyol …

Jika antrian minyak ini sudah berakhir … kebanyakan juga bingung …

Simple. Sebetulnya minyak-minyak ini mau diapakan ? Disimpan jelas tidak mungkin, karena semua jerigen sudah penuh. Mau dijual rasanya kok ya sayang. Minyak sedang mahal-mahalnya, bukan hanya minyak tanah tapi juga minyak goreng. Itu belum ditambah kelangkaan LPG dan minyak tanah itu sendiri. Akhirnya, semua ingin menimbun minyak tanah. Walau konversi LPG sudah dilakukan, tapi kalau LPG habis tentu beralih ke minyak tanah. Tetapi bagaimana, kalau ternyata minyak tanah juga hilang dari pasaran ? Tentunya semua pasti makan biskuit kaleng, hehehe …

Akhirnya, saya merasa beruntung mempunyai seorang kawan yang lagi kesusahan memperoleh minyak tanah. Kawan saya itu sampai saat ini belum menerima kompor dan tabung gas program konversi LPG. Sungguh sangat aneh, padahal lingkungan tempat teman saya tinggal adalah golongan menengah ke bawah, bahkan boleh dibilang ‘kantong kemiskinan’. Kawan saya itu, tentu saja masih menggunakan kompor minyak tanah. Alasannya jelas, LPG konversi belum datang dan kalaupun sudah datang belum tentu juga kompor LPG tersebut digunakan.

Sekitar lima liter minyak tanah yang saya peroleh kemarin, saya antarkan ke tempat tinggalnya. Saya hanya meminta dia menebus harga minyak operasi pasar tersebut sesuai harga subsidi (sekitar sepuluh ribu rupiah). Sungguh sebuah rejeki yang tidak dinyana-nyana bagi keluarganya. Di saat stok minyak mereka menipis, datang harapan baru dari lima liter minyak yang saya bawa. Buat teman saya itu, lima liter minyak sama saja dengan makan 1 sampai dengan 2 minggu. Tanpa minyak tanah, teman saya itu mungkin harus benar-benar membeli biskuit kaleng …

Dari peristiwa itu, saya berpikir dengan kusut. Sebetulnya, apa yang terjadi di negeri ini ? Saya mencintai negeri ini sama seperti saya mencintai Tuhan saya. Di sinilah saya dilahirkan dan dibesarkan. Tapi di negeri ini juga, saya dikhianati oleh segelintir orang yang sibuk mengenyangkan dirinya sendiri. Apakah saya mampu mencintai negeri ini dengan segala kekurangannya ? Saya selalu ingin menjawab bisa, walau berat …

Saya selalu mencoba menjawab bisa, ketika melewati sawah-sawah yang menghijau indah. Walau petaninya menahan kelaparan. Saya selalu mencoba menjawab bisa, ketika melewati pinggiran hutan yang sejuk rindang. Walau di dalamnya habis ditebang. Saya selalu mencoba menjawab bisa, ketika memandang lautan yang berdebur mesra. Walau nelayannya tak memperoleh ikan.

Kadang saya ingin mengubah jawaban saya tentang kecintaan mutlak terhadap negeri ini. Kadang, saya ingin berkata, “Saya akan mencintai negeri ini sejauh yang saya bisa. Saya akan menyayangi negeri ini sejauh yang saya mampu. Saya akan mencintai negeri ini ketika kepalsuan dan kemunafikan telah pergi menghilang !!!”

Mencintai tidak harus memiliki. Demikian kata pepatah lama, dan mungkin itu juga yang akan menimpa saya dan ratusan juta jiwa masyarakat Indonesia. Saya mencintai Indonesia, tapi saya juga harus siap kehilangan dia. Indonesia bukan milik saya yang memiliki cinta. Tapi milik mereka yang munafik dan mengumbar janji.

Salam …

Aku cinta WC

Rabu, 23 April 2008

Uuuuugh …

Sakit perut ternyata bukan sakit kacangan. Yang namanya sakit tetap saja sakit. Kenyataan itu saya rasakan hari ini, setelah menyaksikan pertandingan semifinal leg pertama liga champions eropa antara Chelsea dan Liverpool. Perut terasa mual sedangkan dari arah tenggorokan saya merasa ingin muntah. Perlahan tapi pasti tubuh saya mulai lemas. Dan rasa lemas itu makin bertambah ketika saya telah empat kali ke WC sebelum menuliskan artikel ini. Oh WC, aku jatuh cinta kepada dirimu …

Sakit perut, terutama yang mengarah ke muntaber (muntah berak) bukan hal sepele di negeri ini. Kesannya komikal sekali, jika kita mendengar ada seseorang di republik ini pada hari ini dinyatakan meninggal karena muntaber. Tapi melihat kenyataan tentang cara hidup masyarakat kita, kematian akibat muntaber bukanlah sesuatu yang lucu namun justru merupakan suatu peristiwa yang serius.

Jika anda yang sakit perut atau muntaber, sedang mencari tahu penyebab rasa sakit tersebut, niscaya anda memahami masalah ini. Muntaber diawali oleh kebiasaan kita yang jorok dan menyepelekan kesehatan. Tidak sedikit dari kita yang mengasumsikan bahwa apa yang kita makan dan minum adalah sehat. Tidak sedikit dari kita yang membiasakan diri dengan rokok, membuang sampah di sungai, meludah sembarangan sampai malas cuci tangan. Semuanya berakibat sama, PENYAKIT.

Oke, jika telah terjangkit penyakit buntutnya hanya ada dua, yaitu dokter dan obat.

Berbicara soal dokter, sebetulnya berapa jumlah dokter di republik ini ? Dari seluruh dokter yang ada tersebut, berapa yang bersedia ditugaskan ke daerah-daerah terpencil ? Dan dari seluruh dokter tersebut, berapa dokter yang bersedia menurunkan tarifnya ?

Saya yakin, dokter di negeri ini cukup banyak tetapi jumlahnya cenderung menurun baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Alasannya, untuk menciptakan satu dokter yang mumpuni, biayanya cukup mahal. Sehingga, calon dokter di negeri ini berasal dari kaum elite-borjuis yang mempunyai kecukupan modal untuk biaya pendidikan. Sayangnya, tidak semua calon dokter ini berbakat dan memiliki niat yang kuat untuk menjalani profesi dokter. Akibatnya, dokter-dokter di masa depan bukanlah dokter dengan kualitas yang mumpuni.

Dari semua dokter yang ada tersebut, sangat sedikit yang berminat untuk menjejakkan kaki di luar pulau jawa. Alasannya, bukan hanya karena kultur yang berbeda namun tidak memiliki modal yang kuat untuk melakukan pendekatan dan komunikasi. Alasan kedua, mereka berkuliah dengan modal sendiri, jadi untuk apa memenuhi permintaan pemerintah sebagai dokter di luar pulau. Alasan ketiga, semua dokter ingin segera balik modal (pendidikan), jadi, tidak rasional membuka praktik dokter di tempat terpencil yang daya belinya rendah.

Yang kedua, mengenai masalah obat. Obat, kian hari kian mahal bukan hanya karena biaya produksinya semata namun juga karena tingginya biaya riset. Tingginya biaya riset, disebabkan oleh bermunculannya penyakit baru yang bermunculan di tengah peradaban manusia. Jika dulu, peradaban manusia telah berkenalan dengan campak, cacar dan hepatitis, kini adalah masa dari penyakit flu burung, HIV dan sejumlah penyakit baru yang lain. Konon, beberapa penyakit yang ada di masyarakat kita seperti influenza, sampai saat ini belum ditemukan obatnya. ‘Obat’ influenza yang kita temui di pasaran, sesungguhnya bukanlah obat flu, melainkan peredam rasa sakit dan pembius sementara bagi virus influenza.

Di tengah mahalnya obat-obatan tersebut, obat-obat yang tidak jelas juntrungnya bermunculan di pasar. Ada yang asli tapi palsu (aspal). Ada juga yang betul-betul palsu. Obat ‘aspal’ adalah obat yang telah jatuh masa kadaluwarsa, namun tetap dijual dengan mengganti tanggal kadaluwarsanya. Obat-obat ini berasal dari kecerobohan kita terhadap obat-obat yang tidak kita gunakan lagi dengan cara membuangnya langsung di tempat sampah. Ternyata, obat-obat tersebut masih dianggap layak pakai oleh ‘sebagian orang’. Sedangkan yang tergolong obat-obatan palsu, memang dibuat dengan cara yang ngawur dan tidak memiliki dasar keilmuan farmasi. Akibatnya, bukan sembuh tapi malah koit …

Karena itulah, sehat itu mahal. Termasuk di dalamnya sehat dari ancaman sakit perut dan juga cacingan. Hehehe …

Bagaimana tidak ? Kita bisa saja mendiagnosis bahwa ketika perut terasa sakit, pilihannya ada tiga yaitu masuk angin, diare (muntaber) dan maag. Tapi apa benar begitu, bagaimana kalau ternyata kita mengalami radang usus, radang lambung atau usus buntu ? Kita malas pergi ke dokter karena tarifnya mahal. Eeeh … sudah minum obat, obatnya pun palsu dan ‘aspal’. Akibatnya, yang sakit bukannya sehat tapi malah tersengal-sengal …

Ini baru soal sakit perut (yang saya asumsikan sendiri), bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengalami penyakit ‘aneh-aneh’ lainnya yang biaya pengobatannya bisa mencapai jutaan rupiah ? Berbagai program kesehatan yang digalakkan oleh Menteri Kesehatan, kenyataannya dipergunakan oleh beberapa oknum birokrat dan finansial. Untuk itu perlu dicari jalan keluar yang baru terhadap masalah ini.

Dulu, kita punya posyandu dan PKK. Sekarang, gaungnya tiada lagi … saya jadi kangen zaman Orde Lama. Posyandu dan PKK perlu digalakkan lagi oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Wanita. Tentu, salah satu misinya adalah memberikan edukasi tentang gaya hidup sehat dan tindakan preventiv terhadap penyakit-penyakit sederhana (seperti diare). KB juga dapat digalakkan kembali …

Tapi saat ini, itu semua rasanya hanya mimpi. Apa bisa hal itu diwujudkan ? Saat ini masyarakat lebih suka rebutan minyak tanah, minyak goreng dan rebutan sembako. Wajar saja … karena semuanya sekarang serba mahal. Membelanjakan seribu rupiah saja, kita perlu bersikap bijaksana apalagi yang harganya mencapai ratusan ribu atau malah jutaan rupiah. Kita lebih suka belanja handphone baru yang tidak memiliki pulsa demi mengejar gengsi daripada mencadangkan sejumlah uang untuk biaya kesehatan kita, istri kita dan juga anak kita.

Aaakh … gara-gara gengsi, sakit perut pun bisa jadi merana …

Salam …

Situs Porno (Oh Yeah !!!)

Jum’at 5 April 2008

Ketika saya menulis artikel ini, jam baru menunjukkan pukul 21.45 WIB. Saya baru menulis artikel ini, karena memang pada jam-jam sekian saya lebih suka menggunakannya untuk browsing activity atau malah hanya nonton TV saja di rumah. Faktanya, saya memang baru saja melakukan browsing di internet (tepatnya di warnet). Saya sedang membutuhkan beberapa file yang mengandung unsur pornography dari internet.

Tujuan lainnya, saya ingin menguji kedigdayaan pemerintah dalam menegakkan UU informasi dan transaksi elektronik yang baru saja disahkan. Sebagaimana diketahui, dalam UU tersebut materi-materi pornografi mendapat sorotan yang luas. Pornografi, adalah dilemma dalam hidup kemasyarakatan di Indonesia. Satu sisi dia amat dibenci, satu sisi dia akan terus dikejar dan diburu. Untuk itu, sedari awal saya juga memasukkan beberapa situs esek-esek yang sudah cukup terkenal di republik ini, untuk saya akses.

Jujur saja, saya adalah orang yang masih punya pikiran waras dan nggak berisi pikiran kotor melulu. Untuk itu, saya selalu menempatkan google dan yahoo! sebagai ‘target’ pertama yang harus diakses. Penting bagi saya untuk mengecek e-mail, baru kemudian mengurus situs-situs ‘gak penting’ lewat google demi proses pengunduhan ¬‘xxx file’ tersebut. Karena target utama saya bukan situs ‘xxx’ yang terkenal, maka saya tidak sempat mengaksesnya, sehingga tujuan saya menguji keseriusan pemerintah pun gagal.

Singkat cerita, saya berhasil memperoleh data-data ‘busuk’ tersebut. Data-data tersebut saya peroleh dari web-web yang tidak terkenal. Pada akhirnya, hal ini juga membuktikan, bahwa pemerintah tidak sepenuhnya sukses menutup (memblokir) seluruh halaman web. Itu toh juga tidak mungkin. Memangnya pemerintah mengetahui berapa miliar halaman web yang mengandung materi-materi pornografi ? Dan apakah mungkin pemerintah menutup semuanya ? Rasanya nggak mungkin.

Jadi, sebetulnya UU ini akan efektif jika didasarkan pada kesadaran pengguna internet dan -pada proses komersil- pihak penyedia layanan warnet beserta provider. Kasarnya, masalah selangkang bukan masalah remeh temeh. Masalah selangkang, sudah menyentuh pada skema supply and demand, complex bureaucracy dan aspek privacy. Karena itulah, UU selangkang ini bukannya tidak perlu didukung, tetapi harus memiliki kerangka kerja yang detail dan kongkrit.

Secara sederhana, bolehlah dilakukan public restriction tapi jangan sampai merugikan individu baik itu dari sisi materi, waktu dan kehormatan. Dan itulah yang baru saja terjadi pada diri saya …

Judgement
Sekitar satu setengah jam yang lalu, saya datang ke sebuah warnet di kawasan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (Dukuh Kupang). Dalam rencana ngenet tersebut, saya akan mengunduh banyak file ‘xxx’. Karena itu saya mencoba mengintegrasikan USB disk dengan operating system. Ternyata, USB hub mengalami kerusakan. Sehingga sang admin menawarkan kepada saya untuk mengcopy file dari USB disk. Memang, kenyataannya saya membutuhkan file notepad yang berisi rencana pengunduhan. Caranya, dengan mengcopy file tersebut dari USB disk ke dalam unit PC yang saya gunakan melalui PC sang admin.

Berawal dari hal tersebut, saya sebetulnya sudah merasakan kecurigaan pada tata kelola warnet ini. Saya merasa bahwa saya sedang diawasi oleh sang admin. Tapi, karena sudah kebelet perasaan tersebut saya hilangkan jauh-jauh. Lagipula ngapain suudzan dengan hal yang nggak jelas dan nggak bisa dibuktikan objektivitasnya. Bersamaan dengan itu, saya sudah mulai klak-klik sana sini. Download sana, download sini.

Selama browsing dan download tersebut, USB disk jelas tidak bisa dikoneksikan dengan PC. Akibatnya saya harus stand by, mengawasi proses download dan penyimpanan sementara file-file di dalam salah satu drive. Selama proses itu, file-file tersebut dapat saya saksikan terorganisir dengan rapih. Dan pada titik akhir saya akan mengcut dan mempaste seluruh file dan folder ke dalam storage media yang lain yang memungkinkan.

Proses browsing pun selesai. Saya masih mencoba mencari cara menghubungkan USB disk ke dalam PC. Ternyata USB hub pada bagian belakang PC case bisa digunakan. Sayangnya, dalam upaya pengkoneksian tersebut, saya ‘lengah’ dan ‘lalai’ terhadap file-file yang saya download. Parahnya lagi, secara tidak sadar saya menutup windows explorer application sebelum mengkoneksikan USB disk dengan PC. Ketika saya sadar telah menutupnya, saya mencoba mengaktifkan kembali aplikasi tersebut. Dan abrakadabra … seluruh file dan folder saya telah HILANG, LENYAP dan mungkin juga DIMUSNAHKAN.

Saya mencoba untuk mencari dengan fasilitas search, namun fasilitas tersebut ternyata non-activated. Saya mencoba dengan menengok ke folder options tab, tapi fasilitas tersebut juga dinon-aktivkan. Akhirnya saya terheran-heran sendiri, bagaimana mungkin file-file yang belum saya akses (diclick) bisa hilang. Bahkan ancaman virus pun, tidak mungkin mampu memodifikasi sebuah file, jika file tersebut belum diutak-atik.

Berdasarkan kesimpulan saya, maka tersangka utama dalam kasus ini jelas adalah admin. Ada cukup banyak alasan mengapa admin menjadi tersangka. Pertama, admin secara tidak sengaja kemungkinan melihat web yang saya akses pada saat mondar-mandir menyediakan minuman bagi pelanggan lain. Dua, admin dapat mengetahui akses saya melalui PC yang dia gunakan. Tiga, setelah mengetahui koneksitas saya, admin kemudian membuktikan bahwa saya memang mengunduh ¬file-file ‘terlarang’ (dan pada akhirnya BELIAU -merasa- BERHAK menghapus file-file saya tersebut).

Dengan kejadian tersebut, saya merasa benar-benar dirugikan dari segi materi dan waktu. Hampir 1,5 jam lamanya saya melakukan pencarian … eeeh nggak taunya ada orang lain yang mengintervensi saya secara sepihak. NGGAK SOPAN !!!. Okey … kalau dia bilang, “Saya nggak akan rugi kehilangan satu klien seperti kamu !”. Tapi dia lupa kekuatan pena dan lidah sanggup menghancurkan seseorang melalui gethok tular. Dia juga lupa tentang bagaimana menegakkan aturan dengan melihat substansi dan cara-cara yang etis. Saya sendiri malah ingin menyebut admin semacam ini adalah admin yang bodoh. Anda akan tahu, mengapa saya menyebut dia sebagai admin yang bodoh di akhir artikel ini.

Penegakan aturan dan kerangka etis profesional
Satu hal yang saya garis bawahi dalam kejadian yang baru saja saya alami, adalah ketidakmampuan seseorang dalam melihat substansi dan kerangka etis dalam penegakan aturan. Saya setuju dengan penegakan UU informasi dan transaksi elektronik -yang juga menyentuh masalah pornografi-, saya juga setuju jika admin ikut serta dalam penegakan tersebut. Tapi dalam penegakan tersebut, seorang admin harus berdiri dalam kerangka profesionalitas.

Tentang substansi kejadian di atas, saya benar-benar merasa dirugikan. Capek-capek saya mengeluarkan uang dan waktu … eeh pada akhirnya saya ‘dirampok’. Admin tidak berhak menghapus data-data saya, karena toh secara substansi data-data tersebut tidak memberikan ancaman apapun. Data-data tersebut juga berada dalam pengawasan saya. Data-data yang saya ambil bukan virus komputer yang menyerang sistem. Data-data saya adalah data-data pornografi yang jelas hanya merusak diri saya dan bukan merusak ataupun mengintervensi pihak lain. Dari titik ini saya ingin bilang,

“Itu uang saya, saya berhak melakukan apapun dengan uang saya. Saya meminta anda cukup menjadi penyedia jasa dan tidak berhak merusak pesanan saya. Jika toh anda menilai bahwa pesanan tersebut merusak diri saya, bukan berarti anda berhak ‘menyelamatkan’ saya. Jika anda masih tetap melakukan itu, sama saja anda seperti perampok. Saya memesan makanan, kemudian anda menarik kembali makanan itu karena alasan BERACUN dan kemudian, anda menutup restoran.”

Secara etika profesi, jika admin warnet ingin berpartisipasi aktif dalam penegakan UU, semestinya dia melakukan upaya preventiv dan kurativ. Bukannya melakukan upaya represi, agresi dan intervensi dan berujung pada eliminasi.

Upaya preventiv dapat dilakukan dengan segenap upaya pemblokiran terhadap seluruh web-web yang berbau selangkang sebelum warnet dibuka untuk customer. Tujuannya, customer tidak punya kesempatan mengakses situs-situs porno tersebut. Kalaupun customer berhasil menjebol blokir, admin tidak memiliki hak untuk membatasi akses apalagi mendelete data yang diupload maupun didownload. Keberhasilan seorang customer memperoleh data porno yang diinginkan, adalah pelajaran dan harga yang patut dibayar oleh admin yang gagal. Jangan seenaknya merampok data customer karena marah dan dipermalukan karena kalah pinter. Kalau admin tidak mampu memblokir, ya diakui sajalah !!!

Upaya kurativ dilakukan ketika customer telah meninggalkan ‘TKP’. Di sini, admin baru boleh melakukan pen-delete-an, pemblokiran kembali, dan memasukkan web profile ke dalam restriction access database. Dengan demikian, kejadian yang sama tidak terulang kembali, dan customer tetap merasa nyaman serta dihargai. Admin justru perlu berterima kasih kepada customer, karena secara tidak langsung customer setia tersebut di masa mendatang akan menunjukkan situs-situs porno lain yang dapat diblokir admin. Bukankah ini sebuah ‘simbiosis mutualisme’ ? Daripada ‘memarahi’ customer, bukankah lebih baik admin bersikap mengalah demi kepentingan yang lebih besar. Saya yakin admin yang berotak akan menyetujui gagasan saya.

Akhirnya …
Malam ini saya tak akan tidur nyenyak karena saya baru saja dirampok. Tapi sebelum cerita ‘perampokan’ itu berakhir saya dikerjai lagi dengan ongkos parkir yang tidak layak sebesar Rp. 1.000,00. Lengkap sudah ketidaknyamanan sebuah warnet. Warnet dengan akses yang lambat, sudah jelas memiliki tendensi menipu terhadap konsumen. Tapi, melakukan pen-delete-an file dan melakukan pen-charge-an biaya yang tidak masuk akal, itu sudah merupakan upaya penghinaan, perampokan dan pelanggaran etika profesi.

Kesimpulannya, berhati-hatilah dengan warnet semacam ini. Saya sudah menemukannya di kawasan Dukuh Kupang area Universitas Wijaya Kusuma. Sebagai tindak preventiv, sebaiknya anda jangan pernah ngenet di sana, kalau anda takut bahwa hak anda akan dilanggar. Yang kedua, mulailah beralih ke sistem berlangganan sebagai konsumen pribadi. Provider seperti Telkom maupun beberapa perusahaan telekomunikasi lain sudah menawarkan jasa provider internet. Jika anda tidak sanggup membayar sendiri, anda sanggup membayar secara patungan dan membentuk local area network bersama relasi maupun teman-teman anda.

Salam …

Maling sandal masih ada lho !!!

Senin, April 7 2008

Kejadian ini bisa dideskripsikan sebagai sebuah kejadian yang unik sekaligus ‘klise’ tapi tetap saja kampungan.

Sore tadi saya berangkat ke Masjid Agung Sunan Ampel di kawasan Ampeldenta, Surabaya. Jika anda bingung mengenai kawasan tersebut, anda akan menemuinya di sebelah timur kawasan Jembatan Merah Surabaya setelah melewati kawasan Kya-Kya Kembang Jepun (China Town District). Kawasan ini terletak di sebelah utara Surabaya, yang sebagaimana layaknya kawasan pesisir di Indonesia dihuni oleh etnis India-Arab dan ‘pribumi’ yang kebanyakan bekerja sebagai nelayan. Dan sebagaimana kawasan pesisir lainnya di Indonesia, kawasan-kawasan ini identik dengan kemiskinan.

Tujuan saya datang ke Masjid Ampel sore tadi hanyalah sebuah perjalanan santai-santai yang ‘diselenggarakan’ tetangga saya. Saya sebut perjalanan santai, karena kenyataannya saya hanya ingin mencoba melakukan prosesi ibadah shalat maghrib dan pengajian yang rutin diadakan setiap senin. Maklum, kata para ulama, tempat-tempat seperti kawasan wali (di Jawa disebut para Wali Sanga) adalah sama-sama memiliki kekuatan spiritual yang sama dengan syekh-syekh dari dataran Nabi (Arab dan tetangganya). Tempat-tempat yang ma’bul tersebut merupakan tempat-tempat di mana persentase do’a seseorang diijabah (diridhai - dikabulkan) oleh Allah SWT.

Harapan saya setelah menjalani prosesi tersebut, adalah membawa sesuatu yang baru bagi jiwa saya. Menjadikan perspektif yang bersifat duniawi, memperoleh keseimbangan yang baru dengan perspektif yang bersifat akhirat. Tentunya, untuk mencapai keseimbangan yang nyata tersebut, saya harus mengaplikasikan wejangan-wejangan sang ustadz dalam konsep-konsep logika praktis sehari-hari. Bukan bermaksud menyinggung, tetapi faktanya ceramah-ceramah di Indonesia bukanlah merupakan konsep ceramah yang komprehensif yang menyeimbangkan antara etika dan logika, antara dunia dan akhirat.

Ceramah yang tidak komprehensif tersebut membuat yang miskin dan terpuruk bangga dengan kemiskinannya, dan diwajibkan menuntut kepada yang kuat dan kaya. Sedangkan yang kuat dan kaya selalu dituntut untuk ‘sadar’ dan mau berbagi. Pemisahan dunia dan akhirat itu sendiri -terutama di kantong-kantong tradisionalis- membuat dzikir hanya dikenal sebagai dzikir lisan dan hati, bukan dzikir kerja yang bernilai kejujuran dan amanah. Seumpama digambarkan, masyarakat kita senang sekali dengan teorema-teorema mu’jizat maupun karomah yang hingga kini belum mampu dijelaskan tataran ilmiahnya. Bahkan sampai saat ini, masih banyak para ustadz yang memberikan ‘amalan-amalan’ bagi para santrinya. ‘Amalan-amalan’ tersebut berupa dzikir¬-dzikir tertentu yang harus dibaca berkali-kali pada waktu tertentu -untuk mendekatkan rezeki dan jodoh-.

Dan alkisah pada sore tadi, celetukan guyonan sang ustadz pun keluar, “Wong Jawa iku ora bakal isa nyanggupi kakuatan lan kasugihan. Nek panjenengan mboten percaos, kathah saking panjenenengan diwenehi kasugihan … nanging -wis tah lah- alasane akeh kanggo nglepataken bab budhal kaji. Sing kaji niku malah tiyang-tiyang ingkang mboten sugih, nanging malah tiyang-tiyang mlarat.” (Orang Jawa itu tidak akan bisa menerima kekuatan dan kekayaan. Kalau saudara sekalian tidak percaya, banyak dari saudara yang sudah diberikan kekayaan, tapi tetap saja banyak alasannya untuk melupakan masalah haji. Kenyataannya, justru yang menunaikan haji itu bukan saudara-saudara yang kaya, tetapi adalah saudara-saudara yang miskin.)

Bahwa haji itu mahal, itu adalah hal yang pasti. Lantas bagaimana mungkin orang-orang miskin seperti saya bisa menunaikan haji ? Apakah kelak saya akan menunaikan haji dengan mengemis dan berharap-harap mendapat tiket haji dari sebuah undian minuman ringan ? Padahal haji itu, ditujukan bagi mereka yang mampu secara finansial dan punya tekad iman yang ‘penuh’. Jadi, tidak mungkin orang miskin bisa haji -dan bahkan tidak diwajibkan berhaji jika memang tidak mampu- sekalipun khusyu’ mengejar akhirat dengan berdzikir dan berdo’a berkali-kali. Logika yang paling mungkin adalah, orang yang belum mampu berhaji harus berdo’a dan berikhtiar dengan cara-cara yang etis dan Islami. Bukan berdo’a dan mengharap durian runtuh.

Kenyataan bahwa logika “orang Jawa sanggup melarat tapi ‘diterima’ Allah” tersebut gagal, adalah ketika saya hendak pulang dari Masjid Ampel. Anda tahu apa yang terjadi ? SANDAL SAYA HILANG. Dengan demikian, gugur sudah logika “melarat tapi diterima Allah”. Tragedi sandal hilang itu juga menyebabkan saya mempunyai thesis baru untuk menentang ustadz, bahwa, “Orang Jawa selain tidak sanggup menerima kekayaan, juga tidak sanggup menerima kemiskinan. Jika kekayaan dan kemiskinan sebagai pemberian Allah tidak disanggupi amanahnya, berarti Orang Jawa itu adalah orang yang kufur dan kafir.”. Hal itu akan menjadi lebih ironis lagi, mengingat tempat kejadian perkara (TKP) adalah kawasan religius. Jika orang-orang yang datang ke kawasan tersebut adalah sekumpulan orang yang memohon petunjuk Allah atas segala ujian berupa kemalangan rezeki, jodoh dan kematian, mengapa mereka tega menyakiti sesamanya ? Padahal agar sebuah do’a dikabulkan, yang berdo’a harus suci dari segala lelaku dosa. Bebas dari lelaku mencuri -sandal-, mencopet, menjambret, dll.

Akhirnya, bercampur dengan segala rasa jengkel dan syukur, saya berharap agar di masa mendatang kawasan religius harus membawa perbaikan mental bagi para peziarah maupun bagi masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Seiring dengan rasa jengkel dan syukur tersebut, saya juga tertawa mengingat cerita seorang rekan kerja beberapa tahun yang lalu di kawasan Ampeldenta. Rekan kerja tersebut, juga kemalingan. Tetapi, itu adalah kemalingan yang konyol. Bayangkan saja jika anda kehilangan karet pelindung handle kemudi sepeda motor, tetapi yang dicuri hanya sebelah !!! “Kalau memang mau mencuri kenapa tidak dicuri sepasang ? Kenapa dicuri cuman sebelah doank. Bikin jelek sepeda motor saya saja !!!”, begitu keluhnya kala itu. Jika mengingat ironi itu, saya juga teringat dengan kalimat teman saya di Purwokerto beberapa tahun lalu. Begini katanya :

“Di sekitar sumber air, selalu ada MCK (Mandi Cuci Kakus). Jadi, di sekitar yang baik-baik akan selalu ada yang kotor-kotor. Itu sudah hukum alam. Harapan kita, tentu saja hal-hal yang baik akan membersihkan yang kotor-kotor. Kamu setuju tentang hal itu kan ?”

Salam …

Aduhai Dewi Persik

Jum’at, 28 Maret 2008

Waktu menulis artikel ini, sebetulnya saya benar-benar malu. Mengapa ? Karena secara tidak langsung, saya telah mengkonsumsi informasi sampah. Tapi, oke-lah karena sebetulnya baik buruknya informasi, ditentukan perspektif kita. Jadi, inilah -dosa- artikel kali ini, saya ngomongin orang lain. Di mana sumber informasi ini cuman sas-sus belaka, alias saya peroleh dari infotainment.

Topiknya, tentang “Kemurkaan Dewi Persik”. Ya, kabarnya Dewi Persik ngamuk-ngamuk sebagai akibat keluarnya “tudingan” pencekalan kepada dirinya. Ancaman cekal tersebut, dikeluarkan oleh walikota Tangerang sebagai akibat aksi Dewi Persik yang “liar”. Pun demikian, pencekalan tersebut kabarnya juga merupakan komoditas politik dari sang walikota. Maklum, walikota Tangerang tersebut merupakan calon incumbent pada event pilkada di masa mendatang.

Dari titik ini, Dewi Persik melakukan upaya gugat terhadap sang walikota. Alasan yang dikemukakan oleh Dewi Persik sungguh “jelas”. Dia menggugat sang walikota, karena merasa dirinya dilecehkan, dicemarkan nama baiknya, dan harga dirinya diinjak-injak di depan publik. Sang walikota, menanggapi hal tersebut dengan tenang-tenang saja, dan justru menuding balik kepada Dewi Persik. Alasannya juga cukup “jelas”. Menurut walikota, Dewi Persik semestinya bersyukur ada seseorang di luar sana yang mau mengingatkan dirinya. Upaya tuding-menuding, gugat-menggugat ini kian memanas seiring “bumbu-bumbu” yang ditambahkan oleh infotainment.

Jadi apa yang mau dibahas di sini ? Dua hal penting unsur komunikasi massa, yaitu kejujuran dan etika berpendapat. Kejujuran dan etika berpendapat, adalah dua hal yang patut dihayati sebelum berkomunikasi. Kejujuran dan etika berpendapat jugalah yang menyebabkan suasana konflik akan selalu tetap jernih, yang berujung pada mudahnya solusi penyelesaian masalah.

Tentang Dewi Persik
Siapa yang tidak kenal Dewi Persik di jagat Indonesia ? Penyanyi dangdut yang satu ini, memang terkenal dengan berbagai “kecelakaan” payudara. Setidaknya, ada dua yang saya ketahui, yaitu pada acara live di SCTV beberapa tahun lalu dan ketika ada tangan “nyelonong” di salah satu infotainment. Dari dua major “event” tersebut, mungkin orang awam pun langsung menilai bahwa Dewi Persik memang “nakal”. Itu belum ditambah “pandangan” masyarakat bahwa Dewi Persik adalah sosok pembangkang. Lha gimana nggak ? Wong, suami sendiri digugat cerai. Kabarnya, gara-gara sang suami gerah dengan “aksi” Dewi Persik.

Bagaimana dengan saya sendiri ? Saya sendiri juga terangsang liat Dewi Persik, apalagi kalo pas lagi mupeng. Tapi apa sih bedanya terangsang ala Dewi Persik dengan terangsang ala penyanyi western macam Beyonce ato Britney ? Jawabnya adalah kacangan dan elegan. Jika kita lihat langsung di beberapa infotainment, saya menilai goyangan Dewi Persik memang kacangan. Dengan alasan profesionalitas apapun, saya menilai bahwa goyangan yang disuguhkan Dewi Persik adalah goyangan senggama. Ada gerakan doggy style lah, gerakan masukin dildo ke liang senggama lah. Ancuuuuuuuur … hehehe … tapi tetap nikmat ya ?

Benar-benar jauh dengan goyangan Beyonce ato Britney. Beyonce dan Britney punya sensualitas tersendiri, mereka memang memancing syahwat, tapi halus dan elegan. Nggak percaya ? Tonton dan lihatlah jajaran video clip yang mereka buat. Sangat jarang dalam video clip, mereka menunjukkan gerakan senggama kepada khalayak ramai. Saya sendiri, sangat menyukai goyangan Shakira dalam video clip ‘Wherever Whenever’. Benar-benar goyangan pusar yang menggugah “selera” saya sebagai lelaki.

Tapi, itu semua adalah sebatas yang bisa kita lihat dan kemudian kita rasakan atas aksi-aksi mereka. Apa yang saya lihat, cuman potongan-potongan fakta yang disusun oleh media cetak dan elektronik. Saya maupun anda, adalah belum, dan mungkin tidak akan pernah melihat “gambar besar” baik itu dari Dewi Persik, Beyonce, Britney dan Shakira. Yang kita lihat adalah pengungkapan-pengungkapan media yang hiperbolis, yang ironisnya, pengungkapan yang telah “dimanipulasi” tersebut kita ambil sebagai sebuah kesimpulan.

Sebagai perspektif baru, coba pikirkan bahwa mungkin di tempat lain Dewi Persik tidak tampil se-seronok itu. Dan itu mungkin lho !!! Toh, kenyataannya Dewi Persik nggak mungkin tampil -seronok- di satu tempat saja sebagaimana ditayangkan oleh infotainment. Pada beberapa tayangan ajang talent search, saya juga sempat menonton bahwa Dewi Persik ternyata “sanggup” untuk tidak “berfantasi senggama” di hadapan publik. Kenyataan bahwa Dewi Persik juga sanggup bergoyang dengan “wajar” adalah sebuah fakta yang kita lupakan. Dan baik sengaja ataupun tidak, hal tersebut tidak ditayangkan (dipaparkan) oleh awak infotainment.

Berlanjut kepada masalah pembelaan diri Dewi Persik. Dalam beberapa kesempatan, pernyataan berikut sering kita dengar :

Di luar sana masih banyak yang sama seronoknya dengan saya. Dan bukan tidak mungkin, mereka tampil lebih seronok daripada saya. Kenapa cuman saya yang dicekal ?

Dari pernyataan tersebut, saya malah menilai bahwa kita suka menjadikan orang lain sebagai kambing hitam. Kita suka sekali melemparkan masalah kepada orang lain, baik mereka itu terkait atau malah tidak terkait sama sekali dengan masalah kita. Mungkin itu kebiasaan kita ya ? Atau jika anda tersinggung, mungkin itu adalah kebiasaan saya ?

Terlepas dari itu semua, sebagai seorang muslim saya paham bahwa aksi-aksi mengumbar syahwat baik yang bugil ataupun semi bugil adalah dosa. Aksi-aksi mempertontonkan aurat, baik yang secara langsung (nunjukin pusar, paha dan belahan payudara) maupun yang tidak langsung (pakaian melekat dan ketat) adalah dosa. Dan saya sendiri juga merasa, bahwa goyangan dan kemasan yang ditunjukkan Shakira, Beyonce, Britney maupun Dewi Persik adalah sebuah dosa, alasannya jelas, semuanya memancing syahwat. Lelaki paling cool sekalipun, boleh saya katakan tidak normal kalau tidak terangsang menonton aksi mereka. Mungkin hanya lelaki yang dikebiri yang tidak terangsang.

Jadi, jika Dewi Persik menggunakan pernyataan seperti tersebut di atas, saya sebagai muslim yang logis jadi berpikir, “Gak salah tah omonge arek iki ?”. Ada dua hal yang saya kemukakan. Pertama, jika Dewi Persik menggunakan pernyataan tersebut di atas, secara tidak langsung dia mengakui bahwa dirinya memang tampil seronok. Kedua, seronok yang sedikit ataupun yang berlebihan itu, adalah hal yang bagi saya maupun bagi sebagian umat muslim adalah sama-sama berdosa. Kasarnya, dosa kecil ataupun dosa besar adalah sama-sama dosa !!!

Dalam dada saya yang paling rusak sekalipun, saya tahu bahwa nonton bokep, baca manga ecchi (hentai) itu sama-sama dosa. Dan rasanya itu juga berlaku bagi tiap anak manusia, alasannya sangat jelas, manusia secara mendasar diciptakan dengan kecenderungan kepada kebaikan dan kebenaran. Jadi, ketika kita berbohong dengan kebaikan dan kebenaran yang telah ditakdirkan Tuhan untuk tumbuh dalam diri manusia, kita sebetulnya telah berbohong kepada diri sendiri. Hal ini adalah apa yang saya rasakan. Hal yang berbeda mungkin terjadi pada anda maupun pada para pelaku debat kusir di infotainment tersebut.

Jika Dewi Persik mencoba membela diri, bahwa dia sanggup tampil sesuai dengan pesanan demi profesionalitas, maka saya berharap dapat menjadi milyarder sekelas Bill Gates. Jika saya sekaya Bill Gates, saya akan membayar Dewi Persik sebesar 100 milyar rupiah untuk menyanyi dan bergoyang bugil secara live melalui seluruh saluran TV nasional untuk menghibur masyarakat di Indonesia. Saya harap Dewi Persik tidak menolak … kan katanya bisa sesuai pesanan ? Lagipula, saya adalah laki-laki terkaya di dunia, saya bisa membeli harga diri seorang Dewi Persik untuk menyanyi bugil kan. Kan katanya profesional ? Saya adalah pembeli, dia penjual yang harus bisa memahami keinginan saya. Kalau Dewi Persik tidak sanggup, saya turunkan penawarannya. Saya akan bayar dia 50 milyar rupiah dengan pesanan yang sama (menyanyi bugil) untuk saya pribadi di kamar hotel berbintang. Dan tanpa sepengetahuan dia, saya bisa merekam aksinya untuk saya edarkan secara gratis kepada masyarakat luas …

Kesimpulannya, saya harap Dewi Persik perlu berpikir secara jernih, jujur dan bertanya kepada diri sendiri. Saya kurang setuju dengan kerangka pemikiran profesionalitas yang diajukan Dewi Persik. Sudah terbukti, aksi tangan “nyelonong” adalah akibat dari goyangan dia sendiri. Sudah terbukti, bahwa ada orang di luar sana yang ngaku secara terang-terangan bahwa dia terpesona dengan goyangan dan payudara miliknya. Apakah kerangka profesionalitas harus melupakan harga diri wanita (menjaga aurat dan tindakan) ? Semudah itukah uang berkuasa atas harga diri … Jika Dewi Persik menjawab YA, saya berharap dapat menyaksikan dia menyanyi bugil di hadapan saya kelak …

Tentang Walikota
Yah … yah … dunia politik adalah dunia yang penuh siasat, strategi dan tipu daya. Saat ini jadi kawan, besok jadi lawan. Terlepas dari kenyataan itu, sebetulnya sebagian besar kita mungkin menyetujui pernyataan Walikota Tangerang tersebut. Sebagian besar masyarakat kita, tentu menginginkan terciptanya masyarakat yang bersih dan menjunjung norma-norma kesopanan. Kita semua tidak memungkiri, bahwa asal muasalnya kejahatan pemerkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual memang berawal dari jasa dan benda-benda yang berbau pornografi dan pornoaksi.

Yang jadi masalah Pak Walikota di sini, adalah tudingan kepada sosok individu tertentu, baik disengaja ataupun tidak. Dan hal ini, ditulis sebagai fakta oleh media informasi yang disadari atau tidak, membuat suasana makin keruh. Fakta yang meluncur dari mulut walikota, disadari atau tidak, telah dinarasikan, dideskripsikan dan dipersepsi sebagai upaya fitnah dan aksi tebang pilih oleh pihak media informasi dan pihak tergugat (dalam hal ini adalah Dewi Persik). Inilah bukti, bahwa lidah lebih tajam dari pedang. Ketika pedang “menggaris” sebuah masalah, maka akan selalu ada pertentangan di dalamnya. Bahkan bukan tidak mungkin, hal ini memang disengaja untuk menghabisi pihak-pihak tertentu dalam pertentangan (konflik) tersebut.

Dalam Islam, terdapat sebuah etika dalam menegur pihak lain apabila yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan atau melanggar norma-norma tertentu. Etika tersebut adalah, upaya menegur pihak lain tanpa diketahui oleh publik. Etika ini telah dianut, bukan hanya oleh masyarakat luas tapi secara mendalam juga disetujui kalangan profesional dan businessman. Dengan menggunakan logika psikologi (kejiwaan), media dialog empat mata akan membuat pihak tergugat lebih merasa dihargai. Karena baik dirinya bersalah atau tidak, dirinya tetap memperoleh rasa aman dan nyaman dalam masyarakat.

Dalam kasus Dewi Persik kali ini, terang-terang digambarkan kepada kita akan kekhilafan atau bahkan ketidakmampuan seseorang dalam menjaga tindak-tanduknya. Kita tidak pernah tahu siapa yang salah dan siapa yang benar dalam kasus ini. Tapi setidaknya, “konflik” semacam itu tidak perlu sampai diekspose oleh media massa. Jujur saja, jika saya melihat dua orang yang berkonflik dalam kasus ini, saya merasa muak. Bukan karena inti dari kasus itu sendiri, tapi karena etika mereka yang rendah dalam berdialog.

Sebetulnya kasus yang serupa pernah terjadi kala Inul Daratista menggegerkan Indonesia dengan kemunculan goyang ngebor-nya. Kala itu, aksi Inul betul-betul membius publik. Bukan karena goyangan ngebor itu sendiri, namun karena Inul sukses membawa dirinya sendiri. Kala itu, Inul “sukses” berperan sebagai gadis desa yang lugu dan tak memiliki tendensi apapun. “Kekuasaan” Rhoma Irama sebagai pengawas jagad dangdut pun tidak diakui oleh khalayak ramai. Masyarakat justru menaruh simpati kepada Inul Daratista.

Simpati yang mengalir kepada Inul itu sendiri, juga dilatarbelakangi oleh kisah epik Inul yang sukses dijual di infotainment dan sinetron. Cerita dan kemasan sinetron itu juga dipoles dengan baik. Rasa-rasanya sas-sus itupun sampai sekarang makin terlihat nyata, bahwa Inul memang tidak seburuk dugaan orang. Inul tidak pernah nampang di berbagai acara gosip yang mengumbar sisi negatif sesosok individu. Kalaupun ada, Inul juga dikabarkan tampak rukun dengan keluarga, sekalipun sampai saat ini keluarga mereka belum dikaruniai putra.

Pada saat itu, tudingan sang “pengawas” benar-benar terpental menuju dirinya sendiri. Karena apa ? Si tergugat tampaknya diam-diam saja, bahkan dengan elegan berusaha datang menemui untuk membicarakan duduk persoalan konflik di antara mereka. Inul tidak pernah menyewa pengacara, apalagi ngoceh yang nggak-nggak. Pada akhirnya, pengacara Inul adalah kaum jurnalis bahkan politisi sekelas Gus Dur. Sampai saat ini kita tidak pernah tahu apakah aksi Inul tersebut adalah sebuah ketulusan atau kecerdikan dalam menilai situasi ? Yang jelas, saat itu slogan “Silence is a gold” benar-benar membuktikan keperkasaannya. Inul menang dengan angka mutlak …

Kesan dari kisah sukses Inul, adalah sejarah pembelajaran tentang taktik dan strategi dalam komunikasi massa. Berkomunikasi bukan hanya soal kelihaian dalam berpendapat dan mengemas tendensi pendapat itu sendiri. Kenyataannya berkomunikasi juga perlu etika dan statement timing. Sosok walikota (politisi) Tangerang tersebut dapat menjadi pelajaran. Sang walikota telah gagal menyampaikan pesannya. Pesan yang semestinya secara keseluruhan akan memenangkan hati publik jadi buyar gara-gara dua hal. Pertama, melakukan penyerangan kepada individu sebagai sample “percobaan”. Kedua, statement timing yang kurang tepat menyebabkan statement tersebut mengarah kepada komoditas politik dan jurnalistik -yang semestinya tidak perlu terjadi-.

Kegagalan dalam menyampaikan dan menggunakan saluran informasi dalam kasus Dewi Persik semacam ini adalah failure yang secara sukses membuat kita terhanyut di dalamnya, dan ketika kita sadar, kita akan mengacuhkan informasi sampah semacam ini. Tapi bagaimana jika kejadian saling tuding ini terjadi di tingkat antar negara dan dalam situasi perang dingin ? Bukan tidak mungkin, kegagalan komunikasi berujung pada pertumpahan darah. Karena itu, event semacam ini dapat dijadikan pelajaran tentang bagaimana semestinya kita belajar berkomunikasi.

Akhirnya …
Kita menyadari bahwa dalam sebuah informasi ada fakta-fakta dan juga ada gosip-gosip belaka. Untuk itu kita harus pandai memilih, menyaring dan mengolah informasi yang diterima otak kita. Saat ini, adalah masa di mana informasi menjadi raja dan keyboard menjadi panglima. Media massa adalah pedang bermata dua, dia bisa membawa manfaat dan juga bisa menjadi pelatuk senjata. Mengutip pendapat pada perang dunia II, bahwa untuk mengalahkan musuh tidak diperlukan senjata. Yang diperlukan adalah rasa takut. Rasa takut, gembira dan cemas, sukses dibuat oleh media massa. Tidak percaya ? Lihat saja, kepanikan bursa saham dan kemasyarakatan bisa diskenariokan dengan informasi yang ditulis dan dikemas dengan rapih oleh media massa. Kita perlu belajar bagaimana menyikapi informasi dan bukan hanya menelannya bulat-bulat. Semoga kita bisa belajar dari kasus Dewi Persik. Salam …

Sopir kita driver F-1

Selasa, 18 Maret 2008

Hari ini bukan hari yang indah, tapi juga bukan hari yang buruk. Menyenangkan, karena setidaknya saya bertemu dua orang wanita cantik yang tidak saya kenal. Yang pertama, saya temui di gedung dekanat FE. Dia sedang menuliskan administrasi kelengkapan surat izin penelitian saya. Dari wajahnya, dia tampak sedikit kesal, karena saya berniat mengirimkan 16 surat izin. Otomatis, dia harus melengkapi 16 surat tersebut, padahal dia menginginkan segera beristirahat -dan mungkin juga shalat-. Saya maklum, ini memang jam istirahat. Setelah, seluruh administrasi selesai, saya mengucapkan sesuatu yang sedikit banyak berhasil membuat dia tersenyum manis, “Terima kasih, karena sudah mau saya kerjain, kalo kamu memang berpikir begitu.”. Dia pun mengucapkan, “Terima kasih juga.”. Kadang, sampai hari ini, senyumnya bikin saya gede rumangsa. Hehehe …

Yang kedua, saya temui di mikrolet AMG. Tidak ada yang spesial, karena kami tidak memiliki kepentingan apapun, dan hubungan apapun. Maka kami berdua cuma bisa saling pandang walau sesaat. Tapi jujur saja, gadis ini cantik sekaligus manis, perangainya juga sangat manja dan ngegemesin. Sayang, dia harus turun di daerah Blimbing, Kota Malang. Kadang, saya hanya berpikir, bahwa andaikata seseorang tidak mudah punya prasangka macam-macam, setiap orang pasti mudah saling kenal dan sapa. Kekhawatiran itu pula yang melanda saya, sehingga saya tidak mampu berkenalan dengannya. Ya sudahlah …

Yang justru jadi topik pembicaraan kali ini ialah tentang fenomena transportasi di negeri kita, Indonesia Raya. Harus kita akui, bahwa sistem transportasi di negeri ini benar-benar carut-marut. Dalam kenyataan itu, nyawa manusia benar-benar dihargai sebesar lembaran tiket. Bagi saya yang gemar naik kereta api ekonomi (KA Penataran), berarti nyawa saya hanya dihargai Rp. 4.500,00 per hantaran. Sebagai tambahan, anda juga jangan berhenti berpikir sampai di situ, karena dalam sistem transportasi massal KA ekonomi, waktu kerja kita juga tidak dihargai. Alasannya KA telat lah, ban-nya bocor lah, banyak polisi tidur lah … hehehe …

Berhubung hari itu saya gagal mengejar KA Penataran pada jam 12 siang, maka saya memutuskan untuk naik bus AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi). Bus AKDP kelas ekonomi -lagi-. Tentang sistem transportasi bus, reputasinya jangan ditanya lagi … reputasi moda bus di republik ini dapat diberikan titel “NGEBUT plus BLONG JAYA”. Ya, anda boleh tertawa. Tapi, juga sahih jika anda -ingin- menangis, karena pernah mengalami kenangan buruk dengan moda transportasi yang satu ini. Tak terhitung korban luka ataupun menyetorkan nyawa mereka kepada Tuhan YME, akibat aksi ugal-ugalan pengemudi bus.

Dan benar saja, bus yang saya tumpangi hari ini benar-benar nekat. Jalur yang berlawanan arah diembat, jarak antar moda merapat dan membelok pun menyikat. Dahsyat. Saya pulang pada jadwal yang tepat. Hehehe … beruntung bus yang saya tumpangi hari ini punya rem yang cukup bisa diandalkan. Tapi di sisi lain, kesan ngebut dan ugal-ugalan tersebut juga mengorbankan hak pengemudi lain. Mereka dipepet, diklakson, dan di-pisuh-i. Khas banget, “Jancok, minggiro !!!”

Mereka, para sopir bus AKDP ini, mungkin sebetulnya layak memperoleh lisensi mengendarai ajang F-1 yang di-manager-i Bernie Ecclestone. Bila perlu, para bos team F-1 macam Flavio Briatore (Renault), Ron Dennis (Mc-Laren) dan Stefano Domenicali (Ferrari) perlu merekrut kelihaian sopir bus AKDP dan AKAP di republik ini. Kita pun tidak perlu terlalu banyak berharap pada pembalap kita macam Ananda Mikola yang bolak-balik gagal masuk F-1. Malah saya yakin, skill Ananda berada jauuuuuuhhhhh di bawah sopir antar kota ini. Jika bukan karena skill factor, Ananda pasti kalah jauh dalam faktor NYALI.

Saya sendiri, tidak paham apakah saya sedang memuji para sopir ini atau sedang menyindir mereka. Yang jelas, para penumpang ingin cepat sampai ke rumah bukan ke kampung akhirat. Hehehe … Tapi bagi saya selain pulang ke rumah, adalah pulang ke rumah tepat waktu. Itu berarti ada aspek kedisiplinan dan keselamatan kerja dalam tiap pengoperasian seluruh sistem transportasi baik bus, maupun moda transportasi lain. Susahnya, penegakan kedisiplinan di republik ini sangat kurang. Itu semua karena kita tidak mau berdialog, semua ingin menang sendiri, semua sok jagoan … jadi jangan berharap banyak pada tilang dan denda. Percuma !!!

Sampai di Bungurasih Surabaya, saya harus naik moda L-300 (Mitsubishi Colt) menuju terminal Joyoboyo. Di situ saya harus berhadapan lagi dengan kenyataan bahwa manusia, tidak pernah dianggap sebagai manusia dalam bisnis transportasi. Kendaraan yang sudah penuh, terus menerus dijejali penumpang. Penjejalan tersebut sampai kepada kenyaataan bahwa saya tidak mampu merogoh kantong untuk membayar moda tersebut. Ketika saya berhasil membayar pun, saya membayarnya dengan bersungut-sungut. Eh, bukannya minta maaf, saya malah di-charge seribu rupiah lebih mahal dari penumpang lain. Brengsek !!!

Sampai di Joyoboyo saya ingin menyampaikan kritik saya, tapi kernet dan sopir Colt tersebut sedang sibuk mencari penumpang lain. Penumpang yang bersedia dijejalkan ke dalam moda tersebut sejauh 4 kilometer dalam waktu kurang lebih 20 menit dari Joyoboyo ke Bungurasih, di-charge dengan biaya Rp. 4.000,00. Dalam hati saya hanya bisa bersumpah serapah, “Semoga kelak kamu sekalian kecelakaan dalam perjalanan pulang kerja, tanpa mengangkut penumpang satupun !!!”

“Oh Tuhan, ampunilah kami yang berbisnis di bidang transportasi. Karena kami menjejal-jejalkan anak manusia ke dalam sebuah gerbong dan kabin yang tidak layak bagi mereka. Ampunilah kami dengan menghela nyawa kami saja di lintasan KA, di jalanan, di lautan dan di udara. Semoga itu cukup bagimu ya Tuhan !!!”

Salam …

Desain dan Makna

Minggu, 16 Maret 2008

Saya baru saja membaca sebuah buku yang disusun oleh Daniel H. Pink, salah seorang mantan staf ahli pidato kepresidenan USA. Tema buku tersebut, menjelaskan fenomena otak kanan yang akan segera menjadi tren ekonomi dunia. Jika disimak secara serius, sedikit banyak isi buku tersebut menyinggung tentang ekonomi kreatif. Berbicara tentang ekonomi kreativ, memang tidak terlepas dari otak kanan yang mengendalikan kemampuan imajinasi dan seni.

Tanpa perlu menjelaskan tiga sebab ekonomi kreativ (kelimpahan, otomatisasi dan asia), Pink menyebutkan enam unsur ekonomi kreativ, di antaranya adalah desain dan makna. Saat ini, desain dan makna sebagai unsur-unsur pergerakan ekonomi kreativ kian menguat. Tapi, kreativitas kadang tidak punya hati …

Sebagai contoh simple, alkisah, anda pernah makan nasi goreng, demikian juga dengan saya. Karena anda, saya dan orang lain juga pernah makan nasi goreng, tentunya kita semua tahu bagaimana rasa nasi goreng. Nasi goreng itu, ya gitu-gitu aja rasanya. Kalau keadaannya demikian, seorang penjual nasi goreng bisa pusing, karena semua orang toh juga bisa bikin nasi goreng.

Karena itulah, sekarang nasi goreng juga memiliki desain, mulai dari recipe-nya sampai dengan packaging-nya. Semuanya ditujukan, agar nasi goreng bukanlah nasi goreng an sich. Nasi goreng memiliki makna berbeda, baik dari tampilan fisiknya maupun manfaatnya. Bisa saja kan ? Saya membuat nasi goreng organik, nasi goreng golongan darah B atau nasi goreng daging kalong. Bukankah itu masuk akal, seperti halnya Madam Ivan Gunawan, “Jangan gila doooonk, masa seumur hidup, kamu cuman makan nasi goreng yang gitu-gitu aja !”

Tapi pada titik tertentu, saya jadi teringat ketika sedang berjalan-jalan ke mall ataupun hotel-hotel berbintang, kadang hati saya sedikit banyak terasa teriris. Apa sebab ? Nasi goreng …

Masuk akal, bahwa kita membutuhkan sesuatu yang beda dan unik, sesuatu yang memberikan warna dalam hidup kita, Tapi apakah harus semahal itu ? Saya mencoba memahami pemikiran Pink dan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Mungkin contoh tentang nasi goreng adalah contoh yang bagi sebagian kalangan dipandang sempit dan picik. Tapi bagi saya, itu adalah contoh kecil yang menurut pendapat saya … tidak dapat diterima oleh akal saya … akal orang miskin dan tidak berpunya …

Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, ketika melihat paparan harga nasi goreng di mall, luar biasa … satu porsi bisa mencapai puluhan ribu rupiah. Mungkin benar, dalam satu porsi nasi goreng, terdapat biaya bahan baku import, sewa petak mall, biaya koki, biaya pelayan dan yang paling penting biaya image, kenyamanan dan kebersihan nasi goreng. Nasi goreng yang tidak pernah saya cicipi itu, -sudah pasti- menawarkan rasa dan aroma yang unik dan nikmat.

Itulah makna nasi goreng mall, yang diracik dalam desain recipe dan marketing yang baik. Yaitu, nasi goreng dengan kualitas gizi dan hygiene yang terjaga, yang disajikan dalam sebuah situs makan yang nyaman dan tenteram.

Tapi makna tertinggi dari nasi goreng adalah energi kehidupan untuk 6 sampai 8 jam ke depan setelah makan. Apakah untuk memenuhi energi 8 jam, saya harus membayar puluhan ribu rupiah ? Saya merasa tak tega, jika saya harus memesan, saya teringat pemulung yang mengais sampah. Jika saya mengangkat sendok, saya teringat tukang sampah yang menarik gerobak sepanjang hari dan -mungkin- hanya makan 2 hari sekali. Ini bukan omong kosong, banyak berita di televisi, Indonesia telah terjangkit kelaparan dan gizi buruk.

Saya paham bahwa kreativitas adalah ilmu yang tidak dapat ditransfer, dia diketemukan seketika dan dia memberikan sesuatu yang berbeda, memberikan banyak pilihan. Tapi jika semua perbedaan (nasi goreng) itu berujung pada harga -mahal- yang sama, maka perbedaan itu sesungguhnya tidak ada. Mungkin ini hanya didramatisasi. Tapi, kita juga jangan sampai terlena.

Negeri ini ditimpa banyak masalah dan cobaan hampir di segala bidang kehidupan. Kita tidak semestinya menjadikan ini ajang debat kusir, tapi kita perlu merasakan … menghayati permasalahan ini. Khususnya permasalahan mereka yang terpinggirkan dan termarginalkan. Saya hanya mencoba mengingatkan anda tentang fungsi kreativitas dan mengembalikan kepekaan sosial anda.

Jadi, sembari merasakan dan menghayati “mereka”, mari makan nasi goreng bersama saya …

Salam …

Tragedi LCD

Senin, 17 Maret 2008

Hari ini saya baru saja mencoba mencari penyelesaian atas “terlukanya” laptop saya, akibat ulah saya sendiri. Saya telah menghancurkan LCD laptop saya, Toshiba Tecra 8100. Saya menghancurkan LCD tersebut dengan menginjaknya. Luar biasa gila dan idiot. Gila, karena saya tahu LCD pasti akan pecah jika diinjak. Idiot, karena saya tahu bahwa laptop tersebut bukan milik saya pribadi, melainkan milik oom saya. Walhasil, saya harus membawanya ke salah satu mall yang cukup dikenal di Surabaya sebagai pusat perbelanjaan dan service komputer.

Sebetulnya, tragedi pecahnya laptop tersebut tidak perlu terjadi (malah saya berharap kejadian ini cuman mimpi) jika saya mampu mengerem emosi.

Alkisah, saya memang sedang sibuk menyelesaikan skripsi, termasuk di dalamnya adalah kesibukan saya untuk pulang pergi Surabaya-Malang. Dengan demikian, saya saat ini benar-benar terobsesi dengan laptop. Quite simple, saya hanya ingin mengetik dan menyimpan datanya dalam komputer. Rasa lelah dan kusut, membuat saya terkadang ingin segera melepas seluruh tubuh dan melemparkannya satu per satu ke matras. Tapi, itu harus ditunda selalu ada yang penting … NGETIK !!!

Di sinilah awal bencana itu. Sepulang dari Malang, saya menyalakan laptop … alamak laptop tersebut tak mau menyala. Tapi ini bukan pertama kalinya, beberapa bulan lalu ketika saya menerima laptop ini dari oom saya, laptop ini menunjukkan hal serupa. Tidak mau boot-up. Beberapa bulan lalu pula, hal ini bisa diatasi dengan mudah, yakni dengan memijit atau menggoyangkannya. Tapi sayang, resep tersebut kali ini tidak manjur …

Berbekal rasa lelah, jengkel, sedih dan khawatir, saya melampiaskan rasa marah dengan melemparkannya ke atas matras. Blip … menyala. Hooray ! Saya pun mencoba mengetik dan menyimpan data. Tak ada masalah. Berhubung saya mulai lelah, laptop di-shutdown, dan saya perlu meletakkan kepala saya di atas bantal. Sedikit banyak, sebelum tidur saya sudah tenang.

Beberapa jam kemudian, laptop harus saya nyalakan, karena saya hendak memulai aktivitas saya kembali. Dan … laptop ini tidak mau boot-up kembali. Berbagai “resep” dicoba namun tak kunjung memberikan hasil. Dirundung rasa jengkel, marah dan lelah, saya men-shutdown laptop, menutupnya dan kemudian … saya menginjaknya … Benar-benar fantastis … ketika kemudian terdengar bunyi KRACK.

Ketika sudah cukup puas melakukan anarkisme, saya hanya terpikir untuk mengeluarkan data yang ada dalam harddisk. Karena tidak memiliki bekal pengalaman yang cukup untuk meng-oprek laptop, saya merencanakan untuk membawanya esok hari (hari ini, red). Jelas, hari itu adalah hari yang tidak terlalu buruk, karena saya memang belum menerima kabar buruknya …

Dan akhirnya beberapa saat lalu, saya baru saja membawa laptop tersebut ke dalam salah satu counter perbaikan laptop. Melalui tahap konsultasi, akhirnya saya sepakat untuk membeli harddisk case untuk harddisk laptop saya seharga Rp. 50.000,00. Alhamdulillah data saya nggak ilang. Saya pun mencoba mengorek-ngorek informasi, berapa sih harga LCD Toshiba Tecra 8100. Si teknisi menjawab, “Sekitar Rp. 600 ribu sampai dengan Rp. 750 ribu, Mas !”. Saya pun dengan sedikit terperangah menjawab, “Oh !”.

Sejenak, saya jadi berpikir, “Gawat juga nih kalau oom saya mau ngambil laptop-nya untuk keperluan kantor atau keperluan mendesak lain.”. Dan betapa lebih terkejutnya saya, ketika masih berada di counter tersebut mencoba menyalakan laptop tanpa harddisk. Ternyata … laptop boot-up … Aduhai, makin lemaslah saya menghadapi retakan LCD yang baru saja saya hancurkan secara fantastis (Atau idiot sih ?).

Teknisi dan saya, kemudian saling berpandangan sejenak. “Yah, begitulah Toshiba Tecra 8100 itu Mas. “Penyakit”-nya, ya memang begitu itu. Kadang boot-up, kadang nggak. Mas sendiri juga … kenapa juga Mas emosi kemarin. Mas sendiri kan tau, kalo sesuatu rusak mestinya diperbaiki, bukan tambah dibanting, apalagi … DIINJAK.”. Saya pun jadi tercekat, apa yang baru saja dikatakan teknisi muda tersebut memang benar.

Lodeh sudah menjadi gudeg. Saya belum mempunyai cukup uang untuk memperbaiki laptop ini secara keseluruhan. Jadi, kalau anda mau menyumbangkan LCD Toshiba Tecra 8100 kepada saya, saya akan sangat berterima kasih. Lho, kok jadi acara charity, hehehehe … just kidding … Saya jadi menarik banyak pelajaran melalui pengalaman gila ini. Berikut list pelajaran itu ;

1. Amarah memang hanya menimbulkan rasa malu dan penyesalan.
2. Saya jadi tahu, bahwa hal-hal elektronis tidak dapat dihadapi secara anarkis. Namun harus dihadapi dengan kesabaran, logis dan sistematis.
3. Saya jadi tahu “penyakit” kambuhan Toshiba Tecra 8100 … gagal boot-up.
4. Saya jadi tahu bahwa RAM maksimum Tecra 8100 hanya mencapai 256MB
5. Saya jadi tahu beberapa list harga komponen Tecra 8100, di antaranya DVD Combo drive baru mencapai Rp. 350 ribu. Harga harddisk 20GB ukuran 2,5 inch mencapai Rp. 325 ribu. Harga LCD Tecra 8100 mencapai Rp. 750 ribu. Dan USB harddisk case ukuran 2,5 inch seharga Rp. 50 ribu.

Jadi, seiring dengan tetesan air mata ketika saya menulis catatan ini di laptop saya yang berhasil boot-up, namun LCD-nya babak belur alias pecah-pecah alias terdapat lubang hitamnya … saya menghimbau anda … JANGAN INJAK LAPTOP ANDA walaupun anda dan atau laptop anda sedang didera masalah. Jika laptop anda rusak, segera bawa ke teknisi di kota anda … bukan dibanting, dibakar apalagi diinjak, meniru saya …

Salam, hiks … hiks …

Perawan tidak semudah itu

Kamis, 13 Maret 2008

Sebetulnya, catatan kali ini hanya berasal dari sebuah pertanyaan saja. Bagaimana sih sebetulnya hakikat keperawanan itu ? Pertanyaan ini terus bergema dalam alam pikiran saya ketika seorang individu yang memainkan 3 status (sahabat, mantan kekasih & musuh) mengirimkan sebuah sms pengakuan. Kurang lebih jika disingkat, sms itu akan bertutur begini :

…aku memang bodoh, aku waktu itu udah percaya banget sama dia. aku sudah nggak virgin lagi. karena itu, aku takut sama ‘calon’ ku sekarang. apakah aku harus ngaku ? atau aku diam saja…

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Tapi apapun jawabannya, hal itu bukan tema bahasan kali ini. Dalam tema bahasan ini, saya hanya mengutarakan pendapat saya tentang, “Bagaimana seseorang dapat dikatakan perawan ?“. Setiap pendapat akan memicu polemik dan kontroversi, tapi hal itulah yang saya tunggu -dari anda. Itupun bila anda bersedia memberikan komentar- untuk memberikan banyak perspektif dalam hidup saya.

Oke. Saya awali pembahasan tentang konsep manusia, karena ini merupakan titik awal perspektif saya tentang tema bahasan kali ini. Perspektif yang saya gunakan kali ini adalah perspektif Islam tentang “unit ke-satu-an”. Manusia sebagaimana alam semesta diciptakan dalam 2 hal, misal gelap-terang, baik-buruk, maskulin-feminin. Namun demikian, 2 hal yang berlawanan itu sekalipun berbeda dan kontradiktif, tetap bersifat saling komplementer.

Bagaimana dengan manusia ? Secara Islami, manusia berwujud dari 2 hal, yaitu aspek immateri (ruh) dan materi (jasad). Mudah saja, jasad tanpa ruh sama dengan mayat. Dan ruh tanpa jasad, mungkin secara sederhana dapat kita sebut sebagai hantu. Jadi, manusia yang utuh adalah manusia yang lengkap, punya jasad, punya jiwa. Akan lebih lengkap lagi, bahwa yang termasuk dalam jiwa adalah akal (pemikiran) dan budi (perasaan/kejiwaan).

Yang menjadi masalah, ternyata aspek ruh manusia begitu rumit dan canggih. Mengapa ? Karena kenyataannya, aspek ruhaniyah manusia diciptakan Tuhan begitu berbeda dengan makhlukNya yang lain. Manusia diciptakan Tuhan, sebagai refleksiNya, dengan kata lain manusia memiliki beberapa daya yang bolehlah dikatakan menyamai Tuhan dalam batasan tertentu. Manusia memiliki kehendak (free will), daya kreasi dan kebijaksanaan.

Daya-daya inilah yang menyebabkan manusia berbeda dan tidak setara dengan kerajaan flora dan fauna. Bahkan juga tidak setara dengan malaikat. Boleh dikatakan manusia ada karena manusia berpikir. Dan juga dapat disebut manusia ada karena manusia adalah makhluk berbudaya (Bukankah hewan dan malaikat tidak berbudaya ?). Dapat diambil kesimpulan bahwa manusia memiliki kedudukan yang spesial di mata Tuhan. Manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi. Keistimewaan manusia terletak pada karakter yang ditanamkan oleh Tuhan ke dalam tiap tiupan ruh. Hewan dan tumbuhan beserta alam adalah objek. Malaikat ? Mungkin hanya sebagai pengawas. Sedangkan manusia adalah subjek yang memiliki kehendak dan daya-daya kreativitas.

Jadi, andaikata seekor babi diberikan ruh manusia, maka mungkin babi tersebut juga manusia. Lagipula, siapa yang tahu ? Andaikata Tuhan dulu menetapkan tubuh babi sebagai “wadah” ruh manusia. Maka, secara wujud (materi) atau secara simbolis semua dari kita bertubuh babi. Bahwa kemudian, manusia digolongkan sebagai makhluk menyusui berkaki dua, hidup di darat dan berbeda dari monyet, itu hanya deskripsi kita yang disepakati bersama. Sama saja dengan warna. Mungkin moyang kita dulu sepakat bahwa warna lampu lalu lintas paling bawah adalah hijau, sehingga sampai sekarang pun kita menyebut warna tersebut warna hijau. Tapi bagaimana, jika dulu moyang kita –dan kita sendiri- bersepakat bahwa warna lampu tersebut adalah ungu. Mungkin sekarang kita tidak akan mengenal warna hijau dalam sistem lampu lalu lintas.

Apapun itu, aspek ruhaniyah dan aspek ragawi memiliki kedudukannya masing-masing, serta memiliki porsinya masing-masing. Keduanya penting, dan tidak terelakkan, karena faktanya adalah demikian. Yang patut dipahami sebetulnya adalah cara pandang kita dan berusaha mendudukkan tiap masalah pada porsinya masing-masing. Jadi, ada apa dengan perawan ? Hehehe … …

Apa hubungannya dengan perawan ? Menjawab pertanyaan ini harus dengan mengembalikan pertanyaan itu sendiri ke dalam dua hal. Yaitu simbol dan hakikat. Jadi, sebetulnya pertanyaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah, “Perawan itu simbol atau hakikat ?”. Jika pertanyaan ini terjawab, sebetulnya kontroversi tentang keperawanan itu sendiri dapat diakhiri. Kontroversi tentang keperawanan memang diawali oleh perspektif simbol dan hakikat.

Secara simbolik, dapat dikatakan perawan atau perjaka, jika sesosok anak manusia belum melakukan hubungan intim dengan lawan jenis -ataupun sesama jenis- melalui mekanisme lembaga pernikahan sebagai wujud komitmen berumah tangga dalam nuansa cinta kasih. Jadi menurut saya, aksi hubungan intim dengan landasan suka sama suka tanpa legalitas pernikahan, secara simbolis telah menggugurkan virginitas seseorang. Hal yang sama juga berlaku, dalam kasus kawin kontrak dan pemerkosaan, karena ketiadaan komitmen. Komitmen pernikahan berlangsung sepanjang usia. Bahkan perceraian tidak akan menghapus komitmen itu. Karena setelah perceraian pun, masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban masing-masing.

Secara hakikat, dapat dikatakan perawan jika seseorang memiliki niat, tekad dan mentalitas untuk menjadi perawan. Apa maksudnya ? Normally, setiap anak manusia ingin menyerahkan keperawanannya kepada orang yang dicintai, dikasihi, disayangi dan bersedia memberikan komitmen hidup kepada pasangannya. Hakikat adalah penting, terutama untuk mengangkat mental mereka yang diperkosa, diperdagangkan dan dilecehkan secara seksual, baik oleh sesama maupun lawan jenisnya. Mereka yang menjadi “korban” harus dicerahkan jalan hidupnya. Semua itu agar mereka (si “korban”) tumbuh dan berkembang tanpa takut dicemooh dan dikecilkan atas perspektif (pandangan) yang -secara awam- mendiskreditkan mereka. Sebagai tambahan, mereka yang menjadi “korban” adalah mereka yang dipaksa, bukannya “korban” penyesalan atau kekhilafan.

Yang menjadi masalah -terutama dalam Islam- adalah konsep kesatuan. Pengertian yang agak berbeda juga dipahami oleh aliran sekuler. Pertama, dalam konsep Islam tidak ada pemisahan jiwa dan raga. Manusia adalah terdiri dari tubuh dan ruh, ketiadaan keduanya atau satu di antara keduanya, memastikan subjek tersebut tidak dapat dianggap manusia. Kedua, dalam konsep sekuler materi adalah fakta, wujud adalah kebenaran dan logika adalah alat analisa. Itu berarti, hampir semua hal di dunia sekuler dinilai berdasarkan kepemilikan materi (termasuk di dalamnya kekayaan, dan dalam konteks keperawanan adalah tubuh).

Jadi ketika teman saya bertanya tentang keperawanan, dinilai dari konsep Islam maupun konsep sekuler dia sudah tidak perawan. Dari sudut pandang sekuler, ketika dua organ kelamin bertemu, itu sudah menggugurkan virginitas. Apalagi dari sudut pandang Islam yang mengakui manusia memiliki jiwa dan raga. Memiliki hakikat berupa ruh (akal budi yang terintegrasi) dan simbol berupa jasad (tubuh). Ketika salah satu dari keduanya dicederai, maka kesatuan hakikat dan simbol itu sendiri sudah gugur. Kasarnya, percuma ngaku perawan (jejaka/gadis) kalau sudah tidur dan atau ditiduri oleh lawan jenis.

Tapi apakah pandangan-pandangan tersebut dapat selalu dibenarkan ? Bagaimana dengan korban-korban perkosaan, human trafficking dan sexual abuse ? Apakah hati dan jiwa mereka tidak hancur, dikatakan unvirgin jika mereka tidak menginginkan “pergumulan” itu. Pada titik inilah kita perlu mendudukkan setiap masalah dalam porsi dan dosis obat yang benar. Kita perlu flexible, dalam beberapa bab tertentu kehidupan kita.

Saya sendiri, pada akhirnya menyetujui, bahwa mereka yang diperkosa, dilecehkan dan diperdagangkan sebagai pemuas nafsu seksual, sementara mereka sendiri tidak menginginkannya masih dapat dikatakan sebagai perawan. Sekalipun dalam Islam terdapat konsep kesatuan ruh dan jasad, kesatuan simbol dan hakikat, bagaimanapun hakikat adalah inti. Analoginya, boleh saja sesosok subjek bertubuh manusia, tapi kalau cara hidupnya persis sama dengan hewan, maka subjek tersebut pantas disebut sebagai hewan. Sekali lagi, manusia ada karena manusia berpikir -dan juga berbudaya-, manusia adalah sosok perawan, karena mereka berpikir bahwa mereka perawan.

Saya rasa, itu adalah jawaban paling bijaksana dalam pandangan saya untuk kasus perawan dan tidak perawan. Selebihnya tergantung dengan kejujuran dan kebeningan hati. Dan lebih tepat lagi jika saya mengutip satu bagian kalimat surat Al-Ankaabut ayat 10 sebagai berikut :

…bukankah Allah lebih tahu apa yang tersimpan dalam dada setiap manusia ? …

Jadi, bagaimana dengan anda ?