Monday 12 May 2008

UNAS ku, UNAS mu ... UNAS kita

UNAS

Setiap kali mendengar kata UNAS, saya kadang terbatuk-batuk dan mulai demam. Saya juga tidak tahu, mengapa saya mengalami syndrome semacam itu ? Yang jelas setiap saya mendengar kata UNAS, terbayang sejumlah kata komplementer seperti GAGAL dan CURANG. Bukan karena tidak ada aspek positif dari UNAS, melainkan karena UNAS itu sendiri bukan pertempuran para murid semata. UNAS adalah pertempuran seluruh elemen pendidikan, mulai dari kabinet, Dirjen. Diknas, Kepala Sekolah dan juga guru.

Dalam pertempuran ini, musuhnya adalah satu kata saja. GAGAL. Para murid bertempur untuk tidak GAGAL lulus. Para guru bertempur untuk tidak GAGAL ajar. Para Dirjen. Pendidikan Dati I dan Dati II bertempur untuk tidak GAGAL bina. Dan, pada tingkat tertinggi, Presiden dan Wakil Presiden bertempur untuk tidak GAGAL mengemban amanat negara dalam mengembangkan potensi SDM. Sudah jelas, bahwa kegiatan mendidik dan kegiatan ajar mengajar, belum mencapai kata belajar. Kegiatan pendidikan di negeri ini, tiap tahun dihadapkan pada evaluasi GAGAL – SUKSES. Akibatnya, akan selalu ada murid yang GAGAL, guru yang GAGAL, menteri yang GAGAL dan bukan tidak mungkin preisden yang GAGAL.

Tapi tetap saja, beban yang paling berat ada di pundak murid. Murid yang GAGAL. Betapa mengerikannya gelar itu, apalagi jika tersemat pada murid dengan jenjang pendidikan SD dan SMP. Mereka, adik-adik saya yang disebut gagal itu, apakah tidak mengalami tekanan mental dan perasaan rendah diri sepanjang hidupnya ? Kegagalan UNAS seakan-akan adalah ujung dunia dan ujung waktu. Gagal UNAS, dalam persepsi mereka yang masih sederhana, adalah GAGAL hidup, calon pengangguran, sampah masyarakat dan yang paling jelas adalah bayangan caci-maki orang tua.

Tidaklah mengherankan, jika setiap tahun selalu ada murid yang pingsan, yang menangis maupun yang stress. Tingkat beban emosi mereka, tiap tahun juga makin bertambah dengan prosedur kelulusan yang makin “meningkat”. Karena itu, para Kyai, Motivator dan Tentor adalah profesi yang kian laris di masa mendatang. Hal ini, dikarenakan makin banyaknya siswa di masa mendatang yang tidak siap untuk sukses. Tapi juga bukan berarti siap untuk gagal. Kasarnya, murid-murid di negeri ini punya perasaan inferior dan super pesimistic.

Sebetulnya, tanpa harus menelisik lebih jauh, harus kita akui bahwa -sistem- pendidikan kita bukan sistem pendidikan jatuh bangun ataupun bongkar pasang. Sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang jatuh melulu dan membongkar selalu. Tidak percaya, lihat saja kenyataan berikut.

Anggaran pendidikan kita yang sudah fix 20 persen, tidak pernah nyampe-nyampe ke angka 20 persen. Terlihat sudah, bahwa mentalitas bangsa ini adalah mentalitas hipokrit, munafik dan mencla-mencle. Terutama yang ada di Senayan. UUD sudah diamandemen, artinya sudah disepakati bersama oleh seluruh -wakil- rakyat. Tapi, kesepakatan yang progresiv konstruktiv tersebut -lagi lagi- dilanggar. Betapa malangnya bangsa ini. Mudah sekali bagi saya, mungkin anda dan mereka yang duduk di pemerintahan mengingkari janji. Ingkar janji dalam dunia bisnis, adalah awal kegagalan dan merupakan hal yang sangat dibenci. Bahkan dalam beragama pun, ingkar janji adalah hal yang dibenci gusti pangeran.

Selanjutnya, mengenai kelulusan itu sendiri. Sampai saat ini saya tidak pernah mengerti, bagaimana mungkin nilai 5.5 dapat disebut sebagai kelulusan ? Apa tidak kebangetan ? Bahkan di rapor pun nilai 5 adalah nilai GAGAL. Lha kalau di rapor saja nilai 5 disebut nilai GAGAL, kok bisa UNAS dengan santainya menyebut nilai 5 sebagai standar kelulusan. Jujur saja, bagi saya yang sudah pernah melewati 3 kali EBTANAS rasanya kok tidak ada bangga-bangganya lulus dengan nilai 5. Lulus dengan nilai 6 saja, rasanya sudah bikin hati eneg. Paling nggak, setidaknya lulus itu nilai 7. Kalau selama ini nilai 5 pantas disandang oleh si bodoh, berarti sejujurnya bangsa Indonesia ini secara kumulatif adalah bangsa yang super-duper GOBLOK !!!

Jika masih ada yang berdalih, “Ujiannya sulit-sulit dan banyak Mas !!!” tentu saya bertanya-tanya, bukankah materi ujian adalah materi yang sudah diajarkan ? Dan materi ajar tersebut sudah pasti adalah materi ajar yang layak dipelajari oleh tiap murid pada setiap jenjang pendidikan. Jika materi ajar di tiap jenjang sudah tidak layak ajar, berarti guru dan praktisi pendidikan sudah GAGAL dari dulu-dulu !!! Materi SMP diajarkan di SD, materi Universitas pindah ke SMU&SMK, ya jelas saja kalau siswa-siswa ajar padha klenger !!! Sudah paham, sudah mengerti bahwa bahan ajar belum saatnya diberikan … kok tetap diberikan dan diujikan ! Berarti gurunya tidak ambil peduli dan tidak sanggup memperjuangkan siswanya. Itu baru kegagalan teknis seorang guru.

Kegagalan yang paling besar dari seorang guru, adalah tidak mampu membuat siswanya menjadi individu normal yang punya kepercayaan diri yang cukup dalam menghadapi kerasnya dunia nyata. Siswa yang menangis dan pingsan menjalani ujian baru akhir-akhir ini saya lihat. Tapi yang benar-benar membuat saya terkejut, adalah adanya tayangan sebuah scene berita di TV yang menunjukkan seorang siswa yang TIDUR pada saat UNAS !!! Ya Tuhan, sebetulnya pendidikan di Indonesia ini adalah pendidikan macam apa ? Pendidikan di sekolah yang bersifat kejiwaan, benar-benar membutuhkan sosok guru yang merupakan sosok manusia utuh, yang bukan hanya berwawasan luas, namun memiliki empathy yang sangat baik, sehingga mampu mengayomi siswa-siswinya, sebagaimana layaknya seorang ayah.

Akibatnya setiap menjelang UNAS, para murid di drill habis-habisan layaknya produk mesin dan elektronik yang melalui proses quality control (QC) sebuah pabrik. NGERI !!! Kemudian, supaya tidak stress mereka diajak ber-istighotsah, bahkan ngaji sebelum ujian. KONYOL !!! Berdasarkan naluri akal sehat saja, kalau anda mau ujian semestinya anda harus rajin-rajin berlatih dan menjaga kesehatan, bukan ngaji habis-habisan. Rasional saja, Tuhan tidak akan menurunkan mu’jizat dan karomah secara dadakan. Sebaliknya, apakah para guru dan murid ini tidak sadar, bahwa istighotsah dan ngaji di saat-saat sulit dan terjepit, sama saja dengan melecehkan Tuhan ? Hina sekali. Di saat jaya, kita lupa pada Tuhan. Tapi di saat sulit, kita semua mengiba-ngiba pertolonganNya.

Setelah melihat berbagai uraian di atas, dan masih banyak uraian lain yang relevan namun tak tertulis, kita patut bertanya-tanya. Apakah negara ini akan mampu menjadi negara yang maju ? Saya yang pecundang ini, sanggup menjawabnya … TIDAK. Apalagi jika melihat adik-adik saya yang pingsan dan nangis waktu ujian. Sebetulnya adik-adik saya di sekolah itu ngapain ? Fashion show ? Pacaran ? Haduuuuuhhh …

Salam …

No comments: