Monday 28 April 2008

Ahmadiyah (Muter-Muter Mantiq Islam)

Isu yang akan dibahas kali ini sebetulnya cukup sensitif, yaitu mengenai eksistensi jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Isu mengenai JAI memiliki motif dan format kasus yang sama dalam rentang waktu yang berbeda ketika kita membahas Mushaddeq, maupun beberapa aliran kepercayaan yang lain. JAI termasuk dalam kasus penyimpangan agama -Islam-, karena melanggar beberapa prinsip pokok dalam mempercayai suatu keyakinan.

Islam sebagaimana yang dikenal masyarakat banyak bersandar pada tujuh rukun iman dan lima rukun Islam (yang dilaksanakan melalui syari’at). Tiga di antara tujuh rukun iman adalah iman (meyakini) kepada Allah; kepada Kitab Allah -khususnya Al Qur’an-; kepada Rasul -khususnya Muhammad SAW-. Sedangkan lima rukun Islam adalah syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.

Rukun iman pada dasarnya adalah keyakinan mendasar dari tiap makhluk yang terlahir di dunia. Untuk menopang keyakinan itu, Islam sebagai sebuah agama mengatur dan mewujudkan keyakinan itu melalui rukun Islam. Dengan demikian, muslim (orang Islam) mengakui keyakinannya dengan syahadat (bersaksi) kepada Allah dan Muhammad SAW, lantas shalat, berpuasa, berzakat dan -jika mampu- berhaji sesuai syari’at Islam menuju Mekkah Al-Mukarramah.

Jadi, jika disimpulkan adalah sebagai berikut :
Seorang Islam (Muslim) adalah seseorang yang meyakini dengan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Rasul Muhammad SAW adalah utusan Allah -yang terakhir- bagi alam semesta. Setelah meyakini dan bersaksi, seorang muslim (sesuai syari’at) melaksanakan shalat lima kali dalam sehari, wajib berpuasa di bulan Ramadhan, berzakat jika telah mencapai batas ketentuan Allah (nishab) dan berhaji ke tanah suci Mekkah apabila memiliki kesanggupan materi, fisik serta hidayah.

Lantas, apa hubungannya dengan Ahmadiyah ?

Ahmadiyah mengakui bahwa eksistensinya merupakan bagian dari Islam. Hal ini sama halnya, jika anda mengenal adanya Islam sunni dan Islam syiah di kawasan Timur Tengah, atau jika anda tinggal di Indonesia dikenal adanya Islam Muhammadiyah dan Islam Nahdlatul Ulama (NU).

Tetapi dalam kasus Ahmadiyah ini berbeda, mengapa ? Hal ini disebabkan karena (pertama) Ahmadiyah mengakui Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi (rasul) mereka, padahal Islam telah menegaskan bahwa tiada lagi Nabi yang akan diutus oleh Allah SWT setelah Nabi Muhammad SAW. Kemudian (kedua) menyatakan bahwa ibadah haji tidak dilaksanakan di Mekkah -Saudi Arabia-, melainkan di Rabwah dan Qadiyan -India-. Dan (ketiga) yang masih berstatus buram adalah kitab suci Tadzkirah yang menggantikan posisi Al-Qur’an.

Perbedaan yang diajukan oleh Ahmadiyah ini merupakan perbedaan yang sangat mendasar dengan muslim lainnya. Perbedaan itu juga dapat disebut fatal. Islam meyakini, bahwa ketika seorang Muslim wafat, dua malaikat akan menanyakan lima hal di dalam kuburnya. Dua di antaranya adalah siapa Nabimu dan siapa pemimpinmu ? Seorang muslim -yang nggenah- akan menjawab bahwa Nabinya adalah Rasulullah Muhammad SAW dan pemimpinnya adalah kitab suci Al-Qur’an. Jadi kasarnya, Islam punya standard. Kalau anda mengakui dan meyakini Islam, maka anda harus meyakini, bersaksi dan mengikuti apa yang ditunjukkan Al-Qur’an dan diamalkan Rasulullah Muhammad SAW.

Jadi, kalau seorang Ahmadee (penganut Ahmadiyah) mengakui sebagai bagian dari Islam, maka hal tersebut adalah sesuatu yang absurd dan tidak bisa diterima. Nabi umat Islam adalah nabi terakhir Rasulullah Muhammad SAW, bukan nabi Mirza Ghulam Ahmad. Kitab suci umat Islam adalah Al-Qur’an yang menutup dan menyempurnakan seluruh kitab Allah yang terdahulu (Zabur, Taurat dan Bible), bukan kitab Tadzkirah. Kalau standard Islam tersebut sudah dilanggar oleh Ahmadiyah, maka secara logis Ahmadiyah bukan merupakan bagian Islam.

Jika Ahmadiyah masih mengaku sebagai bagian umat Islam, tentu saja patuhilah standard Islam. Namun jika tidak, sebaiknya Ahmadiyah diakui sebagai sebuah agama yang baru. Yang menjadi masalah, Tuhan dari Islam, Kristiani, Yahudi dan Ahmadiyah adalah sama-sama Allah SWT. Sementara secara ruhiyah agama samawi (Langit) hanya ada tiga, yaitu Yahudi, Kristiani dan Islam. Keberadaan tiga agama itu juga ditunjang oleh kitab suci masing-masing yang diturunkan langsung oleh Allah yaitu Taurat, Bible dan Al Qur’an.

Bagaimana dengan Ahmadiyah ?

Ahmadiyah memiliki kitab Tadzkirah yang -dari berbagi narasumber- hanyalah tafsir terhadap Al Qur’an oleh Mirza Ghulam Ahmad. Tentu saja, ini sangat mengejutkan. Sebuah kitab dipandang suci karena berasal dari Tuhan yang Maha Suci. Secara hakikat, tidak mungkin kitab suci ‘diterbitkan’ oleh Nabi, sekalipun Nabi itu sendiri adalah makhluk Tuhan yang paling dekat dengan Tuhan. Jika kitab suci Tadzkirah merupakan dasar dalam agama -baru- Ahmadiyah, maka sebaiknya juga jangan mengakui Allah sebagai Tuhan mereka.

Karena secara ruhiyah, jika mengakui Allah sebagai Tuhan dari agama Ahmadiyah, hal tersebut tidak dibenarkan. Allah menurunkan tiga agama secara bertahap dimana Islam merupakan agama penutup dan paling sempurna. Agama samawi (Agama Allah) secara bertahap adalah Yahudi, Kristiani dan Islam. Islam memiliki kedudukan yang khusus karena menyempurnakan seluruh ajaran agama Allah yang sebelumnya. Penyempurnaan tersebut disampaikan melalui Al-Qur’an.

Dengan demikian, jika Ahmadiyah mengakui Allah sebagai Tuhannya maka Ahmadiyah harus memilih untuk menganut Yahudi, Kristiani atau Islam sesuai dengan standardnya masing-masing. Jika tidak mengikuti salah satu di antara ketiganya, sebaiknya jangan mengakui Allah sebagai Tuhan. Saya justru mengusulkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Tuhannya agama Ahmadiyah, sebab kitab suci Tadzkirah ‘diterbitkan’ oleh Mirza Ghulam Ahmad itu sendiri.

Semoga dijadikan pertimbangan komunitas Ahmadiyah, sebab dari sisi manapun Ahmadiyah bukanlah Islam, bahkan juga bukan Yahudi maupun Kristiani. Karena kitab suci Islam, Yahudi dan Kristiani berasal dari Allah bukan dari Mirza Ghulam.

Salam …

No comments: