Saturday 26 April 2008

Aduhai Dewi Persik

Jum’at, 28 Maret 2008

Waktu menulis artikel ini, sebetulnya saya benar-benar malu. Mengapa ? Karena secara tidak langsung, saya telah mengkonsumsi informasi sampah. Tapi, oke-lah karena sebetulnya baik buruknya informasi, ditentukan perspektif kita. Jadi, inilah -dosa- artikel kali ini, saya ngomongin orang lain. Di mana sumber informasi ini cuman sas-sus belaka, alias saya peroleh dari infotainment.

Topiknya, tentang “Kemurkaan Dewi Persik”. Ya, kabarnya Dewi Persik ngamuk-ngamuk sebagai akibat keluarnya “tudingan” pencekalan kepada dirinya. Ancaman cekal tersebut, dikeluarkan oleh walikota Tangerang sebagai akibat aksi Dewi Persik yang “liar”. Pun demikian, pencekalan tersebut kabarnya juga merupakan komoditas politik dari sang walikota. Maklum, walikota Tangerang tersebut merupakan calon incumbent pada event pilkada di masa mendatang.

Dari titik ini, Dewi Persik melakukan upaya gugat terhadap sang walikota. Alasan yang dikemukakan oleh Dewi Persik sungguh “jelas”. Dia menggugat sang walikota, karena merasa dirinya dilecehkan, dicemarkan nama baiknya, dan harga dirinya diinjak-injak di depan publik. Sang walikota, menanggapi hal tersebut dengan tenang-tenang saja, dan justru menuding balik kepada Dewi Persik. Alasannya juga cukup “jelas”. Menurut walikota, Dewi Persik semestinya bersyukur ada seseorang di luar sana yang mau mengingatkan dirinya. Upaya tuding-menuding, gugat-menggugat ini kian memanas seiring “bumbu-bumbu” yang ditambahkan oleh infotainment.

Jadi apa yang mau dibahas di sini ? Dua hal penting unsur komunikasi massa, yaitu kejujuran dan etika berpendapat. Kejujuran dan etika berpendapat, adalah dua hal yang patut dihayati sebelum berkomunikasi. Kejujuran dan etika berpendapat jugalah yang menyebabkan suasana konflik akan selalu tetap jernih, yang berujung pada mudahnya solusi penyelesaian masalah.

Tentang Dewi Persik
Siapa yang tidak kenal Dewi Persik di jagat Indonesia ? Penyanyi dangdut yang satu ini, memang terkenal dengan berbagai “kecelakaan” payudara. Setidaknya, ada dua yang saya ketahui, yaitu pada acara live di SCTV beberapa tahun lalu dan ketika ada tangan “nyelonong” di salah satu infotainment. Dari dua major “event” tersebut, mungkin orang awam pun langsung menilai bahwa Dewi Persik memang “nakal”. Itu belum ditambah “pandangan” masyarakat bahwa Dewi Persik adalah sosok pembangkang. Lha gimana nggak ? Wong, suami sendiri digugat cerai. Kabarnya, gara-gara sang suami gerah dengan “aksi” Dewi Persik.

Bagaimana dengan saya sendiri ? Saya sendiri juga terangsang liat Dewi Persik, apalagi kalo pas lagi mupeng. Tapi apa sih bedanya terangsang ala Dewi Persik dengan terangsang ala penyanyi western macam Beyonce ato Britney ? Jawabnya adalah kacangan dan elegan. Jika kita lihat langsung di beberapa infotainment, saya menilai goyangan Dewi Persik memang kacangan. Dengan alasan profesionalitas apapun, saya menilai bahwa goyangan yang disuguhkan Dewi Persik adalah goyangan senggama. Ada gerakan doggy style lah, gerakan masukin dildo ke liang senggama lah. Ancuuuuuuuur … hehehe … tapi tetap nikmat ya ?

Benar-benar jauh dengan goyangan Beyonce ato Britney. Beyonce dan Britney punya sensualitas tersendiri, mereka memang memancing syahwat, tapi halus dan elegan. Nggak percaya ? Tonton dan lihatlah jajaran video clip yang mereka buat. Sangat jarang dalam video clip, mereka menunjukkan gerakan senggama kepada khalayak ramai. Saya sendiri, sangat menyukai goyangan Shakira dalam video clip ‘Wherever Whenever’. Benar-benar goyangan pusar yang menggugah “selera” saya sebagai lelaki.

Tapi, itu semua adalah sebatas yang bisa kita lihat dan kemudian kita rasakan atas aksi-aksi mereka. Apa yang saya lihat, cuman potongan-potongan fakta yang disusun oleh media cetak dan elektronik. Saya maupun anda, adalah belum, dan mungkin tidak akan pernah melihat “gambar besar” baik itu dari Dewi Persik, Beyonce, Britney dan Shakira. Yang kita lihat adalah pengungkapan-pengungkapan media yang hiperbolis, yang ironisnya, pengungkapan yang telah “dimanipulasi” tersebut kita ambil sebagai sebuah kesimpulan.

Sebagai perspektif baru, coba pikirkan bahwa mungkin di tempat lain Dewi Persik tidak tampil se-seronok itu. Dan itu mungkin lho !!! Toh, kenyataannya Dewi Persik nggak mungkin tampil -seronok- di satu tempat saja sebagaimana ditayangkan oleh infotainment. Pada beberapa tayangan ajang talent search, saya juga sempat menonton bahwa Dewi Persik ternyata “sanggup” untuk tidak “berfantasi senggama” di hadapan publik. Kenyataan bahwa Dewi Persik juga sanggup bergoyang dengan “wajar” adalah sebuah fakta yang kita lupakan. Dan baik sengaja ataupun tidak, hal tersebut tidak ditayangkan (dipaparkan) oleh awak infotainment.

Berlanjut kepada masalah pembelaan diri Dewi Persik. Dalam beberapa kesempatan, pernyataan berikut sering kita dengar :

Di luar sana masih banyak yang sama seronoknya dengan saya. Dan bukan tidak mungkin, mereka tampil lebih seronok daripada saya. Kenapa cuman saya yang dicekal ?

Dari pernyataan tersebut, saya malah menilai bahwa kita suka menjadikan orang lain sebagai kambing hitam. Kita suka sekali melemparkan masalah kepada orang lain, baik mereka itu terkait atau malah tidak terkait sama sekali dengan masalah kita. Mungkin itu kebiasaan kita ya ? Atau jika anda tersinggung, mungkin itu adalah kebiasaan saya ?

Terlepas dari itu semua, sebagai seorang muslim saya paham bahwa aksi-aksi mengumbar syahwat baik yang bugil ataupun semi bugil adalah dosa. Aksi-aksi mempertontonkan aurat, baik yang secara langsung (nunjukin pusar, paha dan belahan payudara) maupun yang tidak langsung (pakaian melekat dan ketat) adalah dosa. Dan saya sendiri juga merasa, bahwa goyangan dan kemasan yang ditunjukkan Shakira, Beyonce, Britney maupun Dewi Persik adalah sebuah dosa, alasannya jelas, semuanya memancing syahwat. Lelaki paling cool sekalipun, boleh saya katakan tidak normal kalau tidak terangsang menonton aksi mereka. Mungkin hanya lelaki yang dikebiri yang tidak terangsang.

Jadi, jika Dewi Persik menggunakan pernyataan seperti tersebut di atas, saya sebagai muslim yang logis jadi berpikir, “Gak salah tah omonge arek iki ?”. Ada dua hal yang saya kemukakan. Pertama, jika Dewi Persik menggunakan pernyataan tersebut di atas, secara tidak langsung dia mengakui bahwa dirinya memang tampil seronok. Kedua, seronok yang sedikit ataupun yang berlebihan itu, adalah hal yang bagi saya maupun bagi sebagian umat muslim adalah sama-sama berdosa. Kasarnya, dosa kecil ataupun dosa besar adalah sama-sama dosa !!!

Dalam dada saya yang paling rusak sekalipun, saya tahu bahwa nonton bokep, baca manga ecchi (hentai) itu sama-sama dosa. Dan rasanya itu juga berlaku bagi tiap anak manusia, alasannya sangat jelas, manusia secara mendasar diciptakan dengan kecenderungan kepada kebaikan dan kebenaran. Jadi, ketika kita berbohong dengan kebaikan dan kebenaran yang telah ditakdirkan Tuhan untuk tumbuh dalam diri manusia, kita sebetulnya telah berbohong kepada diri sendiri. Hal ini adalah apa yang saya rasakan. Hal yang berbeda mungkin terjadi pada anda maupun pada para pelaku debat kusir di infotainment tersebut.

Jika Dewi Persik mencoba membela diri, bahwa dia sanggup tampil sesuai dengan pesanan demi profesionalitas, maka saya berharap dapat menjadi milyarder sekelas Bill Gates. Jika saya sekaya Bill Gates, saya akan membayar Dewi Persik sebesar 100 milyar rupiah untuk menyanyi dan bergoyang bugil secara live melalui seluruh saluran TV nasional untuk menghibur masyarakat di Indonesia. Saya harap Dewi Persik tidak menolak … kan katanya bisa sesuai pesanan ? Lagipula, saya adalah laki-laki terkaya di dunia, saya bisa membeli harga diri seorang Dewi Persik untuk menyanyi bugil kan. Kan katanya profesional ? Saya adalah pembeli, dia penjual yang harus bisa memahami keinginan saya. Kalau Dewi Persik tidak sanggup, saya turunkan penawarannya. Saya akan bayar dia 50 milyar rupiah dengan pesanan yang sama (menyanyi bugil) untuk saya pribadi di kamar hotel berbintang. Dan tanpa sepengetahuan dia, saya bisa merekam aksinya untuk saya edarkan secara gratis kepada masyarakat luas …

Kesimpulannya, saya harap Dewi Persik perlu berpikir secara jernih, jujur dan bertanya kepada diri sendiri. Saya kurang setuju dengan kerangka pemikiran profesionalitas yang diajukan Dewi Persik. Sudah terbukti, aksi tangan “nyelonong” adalah akibat dari goyangan dia sendiri. Sudah terbukti, bahwa ada orang di luar sana yang ngaku secara terang-terangan bahwa dia terpesona dengan goyangan dan payudara miliknya. Apakah kerangka profesionalitas harus melupakan harga diri wanita (menjaga aurat dan tindakan) ? Semudah itukah uang berkuasa atas harga diri … Jika Dewi Persik menjawab YA, saya berharap dapat menyaksikan dia menyanyi bugil di hadapan saya kelak …

Tentang Walikota
Yah … yah … dunia politik adalah dunia yang penuh siasat, strategi dan tipu daya. Saat ini jadi kawan, besok jadi lawan. Terlepas dari kenyataan itu, sebetulnya sebagian besar kita mungkin menyetujui pernyataan Walikota Tangerang tersebut. Sebagian besar masyarakat kita, tentu menginginkan terciptanya masyarakat yang bersih dan menjunjung norma-norma kesopanan. Kita semua tidak memungkiri, bahwa asal muasalnya kejahatan pemerkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual memang berawal dari jasa dan benda-benda yang berbau pornografi dan pornoaksi.

Yang jadi masalah Pak Walikota di sini, adalah tudingan kepada sosok individu tertentu, baik disengaja ataupun tidak. Dan hal ini, ditulis sebagai fakta oleh media informasi yang disadari atau tidak, membuat suasana makin keruh. Fakta yang meluncur dari mulut walikota, disadari atau tidak, telah dinarasikan, dideskripsikan dan dipersepsi sebagai upaya fitnah dan aksi tebang pilih oleh pihak media informasi dan pihak tergugat (dalam hal ini adalah Dewi Persik). Inilah bukti, bahwa lidah lebih tajam dari pedang. Ketika pedang “menggaris” sebuah masalah, maka akan selalu ada pertentangan di dalamnya. Bahkan bukan tidak mungkin, hal ini memang disengaja untuk menghabisi pihak-pihak tertentu dalam pertentangan (konflik) tersebut.

Dalam Islam, terdapat sebuah etika dalam menegur pihak lain apabila yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan atau melanggar norma-norma tertentu. Etika tersebut adalah, upaya menegur pihak lain tanpa diketahui oleh publik. Etika ini telah dianut, bukan hanya oleh masyarakat luas tapi secara mendalam juga disetujui kalangan profesional dan businessman. Dengan menggunakan logika psikologi (kejiwaan), media dialog empat mata akan membuat pihak tergugat lebih merasa dihargai. Karena baik dirinya bersalah atau tidak, dirinya tetap memperoleh rasa aman dan nyaman dalam masyarakat.

Dalam kasus Dewi Persik kali ini, terang-terang digambarkan kepada kita akan kekhilafan atau bahkan ketidakmampuan seseorang dalam menjaga tindak-tanduknya. Kita tidak pernah tahu siapa yang salah dan siapa yang benar dalam kasus ini. Tapi setidaknya, “konflik” semacam itu tidak perlu sampai diekspose oleh media massa. Jujur saja, jika saya melihat dua orang yang berkonflik dalam kasus ini, saya merasa muak. Bukan karena inti dari kasus itu sendiri, tapi karena etika mereka yang rendah dalam berdialog.

Sebetulnya kasus yang serupa pernah terjadi kala Inul Daratista menggegerkan Indonesia dengan kemunculan goyang ngebor-nya. Kala itu, aksi Inul betul-betul membius publik. Bukan karena goyangan ngebor itu sendiri, namun karena Inul sukses membawa dirinya sendiri. Kala itu, Inul “sukses” berperan sebagai gadis desa yang lugu dan tak memiliki tendensi apapun. “Kekuasaan” Rhoma Irama sebagai pengawas jagad dangdut pun tidak diakui oleh khalayak ramai. Masyarakat justru menaruh simpati kepada Inul Daratista.

Simpati yang mengalir kepada Inul itu sendiri, juga dilatarbelakangi oleh kisah epik Inul yang sukses dijual di infotainment dan sinetron. Cerita dan kemasan sinetron itu juga dipoles dengan baik. Rasa-rasanya sas-sus itupun sampai sekarang makin terlihat nyata, bahwa Inul memang tidak seburuk dugaan orang. Inul tidak pernah nampang di berbagai acara gosip yang mengumbar sisi negatif sesosok individu. Kalaupun ada, Inul juga dikabarkan tampak rukun dengan keluarga, sekalipun sampai saat ini keluarga mereka belum dikaruniai putra.

Pada saat itu, tudingan sang “pengawas” benar-benar terpental menuju dirinya sendiri. Karena apa ? Si tergugat tampaknya diam-diam saja, bahkan dengan elegan berusaha datang menemui untuk membicarakan duduk persoalan konflik di antara mereka. Inul tidak pernah menyewa pengacara, apalagi ngoceh yang nggak-nggak. Pada akhirnya, pengacara Inul adalah kaum jurnalis bahkan politisi sekelas Gus Dur. Sampai saat ini kita tidak pernah tahu apakah aksi Inul tersebut adalah sebuah ketulusan atau kecerdikan dalam menilai situasi ? Yang jelas, saat itu slogan “Silence is a gold” benar-benar membuktikan keperkasaannya. Inul menang dengan angka mutlak …

Kesan dari kisah sukses Inul, adalah sejarah pembelajaran tentang taktik dan strategi dalam komunikasi massa. Berkomunikasi bukan hanya soal kelihaian dalam berpendapat dan mengemas tendensi pendapat itu sendiri. Kenyataannya berkomunikasi juga perlu etika dan statement timing. Sosok walikota (politisi) Tangerang tersebut dapat menjadi pelajaran. Sang walikota telah gagal menyampaikan pesannya. Pesan yang semestinya secara keseluruhan akan memenangkan hati publik jadi buyar gara-gara dua hal. Pertama, melakukan penyerangan kepada individu sebagai sample “percobaan”. Kedua, statement timing yang kurang tepat menyebabkan statement tersebut mengarah kepada komoditas politik dan jurnalistik -yang semestinya tidak perlu terjadi-.

Kegagalan dalam menyampaikan dan menggunakan saluran informasi dalam kasus Dewi Persik semacam ini adalah failure yang secara sukses membuat kita terhanyut di dalamnya, dan ketika kita sadar, kita akan mengacuhkan informasi sampah semacam ini. Tapi bagaimana jika kejadian saling tuding ini terjadi di tingkat antar negara dan dalam situasi perang dingin ? Bukan tidak mungkin, kegagalan komunikasi berujung pada pertumpahan darah. Karena itu, event semacam ini dapat dijadikan pelajaran tentang bagaimana semestinya kita belajar berkomunikasi.

Akhirnya …
Kita menyadari bahwa dalam sebuah informasi ada fakta-fakta dan juga ada gosip-gosip belaka. Untuk itu kita harus pandai memilih, menyaring dan mengolah informasi yang diterima otak kita. Saat ini, adalah masa di mana informasi menjadi raja dan keyboard menjadi panglima. Media massa adalah pedang bermata dua, dia bisa membawa manfaat dan juga bisa menjadi pelatuk senjata. Mengutip pendapat pada perang dunia II, bahwa untuk mengalahkan musuh tidak diperlukan senjata. Yang diperlukan adalah rasa takut. Rasa takut, gembira dan cemas, sukses dibuat oleh media massa. Tidak percaya ? Lihat saja, kepanikan bursa saham dan kemasyarakatan bisa diskenariokan dengan informasi yang ditulis dan dikemas dengan rapih oleh media massa. Kita perlu belajar bagaimana menyikapi informasi dan bukan hanya menelannya bulat-bulat. Semoga kita bisa belajar dari kasus Dewi Persik. Salam …

No comments: