Saturday 26 April 2008

MInyak Tanah sepanjang 500 meter

Jum’at, 18 April 2008

Tidak seperti biasanya, saya baru saja menuliskan sebuah kisah yang terjadi beberapa hari lampau. Sulit untuk menuangkan alasannya, karena sebenarnya alasan yang panjang justru berakhir menjadi kebohongan belaka. Jujur saja, saya tidak memiliki mood untuk menulis beberapa minggu terakhir ini. Tanpa mood, kisah yang sebenarnya cukup menarik pun tidak bisa dideskripsikan dengan baik. Walhasil, akhirnya hanya kisah-kisah yang membuat kita ‘shock’ saja yang mampu menarik jari-jari ini menekan tuts keyboard.

Jadi, apa sih yang akan saya tulis hari ini ?

Hari ini saya akan menulis antrian minyak tanah di lingkungan saya. Sejujurnya, sudah dua kali saya ikut melakoni kisah antrian ini. Dan di setiap kisah itu, tidak ada namanya antrian yang menyenangkan. Terlalu panjang untuk dideskripsikan, karena saya bukan seorang pendongeng. Tapi, sebagaimana kita ketahui secara umum, antrian itu terdiri dari tiga kata saja, yaitu PANAS, SEROBOTAN, dan BOSAN. Yah, itulah ciri antrian di negara kita yang tercinta, Republik Indonesia.

Panas, tentu saja karena (pertama) negara ini tepat berada di garis ekuator, (kedua) negara ini merupakan salah satu negara konsumtif (gengsian) dalam urusan moda transportasi, dan (ketiga) rakyat di negara ini paling bisa bikin life shortcut, walaupun harus berakibat merugikan pihak lain. Lengkap sudah arti kata panas di negara ini, baik dari sisi literal sampai dengan makna kiasan. Suhu panas, uang panas, tensi emosi yang mendidih sampai akhirnya kopi panas, hehehehe ….

Serobotan. Ini adalah contoh riil dari life shorctcut di Indonesia. Sedari dulu, mentalitas bangsa Indonesia adalah mentalitas ‘jalan pintas’ dan gak mau susah. Rakyat di negeri ini, maunya menang sendiri. Kalau ingin sukses, persaingannya tidak sehat dan berkesan membunuh pihak lain. Mungkin anda pernah mempelajari ilmu huruf jawa, dalam sistem huruf jawa, ada sistem pangkon dan pasangan, yang berfungsi untuk ‘membunuh’ huruf di depannya. Hal ini dilakukan agar huruf di belakangnya bisa hidup. Walhasil, dalam urusan antrian minyak tanah, jika ingin dapat jatah minyak tanah, ya harus nyerobot, bukan nyeruput, hehehe …

Kesannya kasar ya ? Kenapa yang dijadikan contoh kok JAWA. Karena sebetulnya, tidak ada Republik Indonesia, yang ada adalah Republik Jawa. Believe it or not, fakta itu tidak bisa dibantah. Apa yang kita tonton sehari-hari ada di Jawa. Apa yang kita baca sehari-hari berasal dari Jawa. Pusat pendidikan, kebudayaan dan keuangan semuanya ada di Jawa. Jika hampir semua hal yang kita terima ada di Jawa (atau setidaknya berasal dari Jawa) maka secara tidak sadar kita hidup dengan cara Jawa. Lingkungan membentuk kepribadian. Kepribadian yang status quo juga membentuk lingkungan.

Bosan. Tentu saja bosan, lha wong antriannya bisa 500 meter. Lima kali panjang lapangan sepakbola !!! Yang jelas dalam panjangnya antrian itu, manusia bisa jadi lupa diri. Kondisi demikian itu, paling enak dijadikan santapan empuk para penjahat. Bagaimana tidak, semua orang fokus dengan panjangnya antrian dan emosinya sendiri. Berbagai macam sumpah serapah kebun binatang keluar. Tapi ada juga yang menjadikan peristiwa tersebut sebagai ajang kampanye. Bener-bener konyol …

Jika antrian minyak ini sudah berakhir … kebanyakan juga bingung …

Simple. Sebetulnya minyak-minyak ini mau diapakan ? Disimpan jelas tidak mungkin, karena semua jerigen sudah penuh. Mau dijual rasanya kok ya sayang. Minyak sedang mahal-mahalnya, bukan hanya minyak tanah tapi juga minyak goreng. Itu belum ditambah kelangkaan LPG dan minyak tanah itu sendiri. Akhirnya, semua ingin menimbun minyak tanah. Walau konversi LPG sudah dilakukan, tapi kalau LPG habis tentu beralih ke minyak tanah. Tetapi bagaimana, kalau ternyata minyak tanah juga hilang dari pasaran ? Tentunya semua pasti makan biskuit kaleng, hehehe …

Akhirnya, saya merasa beruntung mempunyai seorang kawan yang lagi kesusahan memperoleh minyak tanah. Kawan saya itu sampai saat ini belum menerima kompor dan tabung gas program konversi LPG. Sungguh sangat aneh, padahal lingkungan tempat teman saya tinggal adalah golongan menengah ke bawah, bahkan boleh dibilang ‘kantong kemiskinan’. Kawan saya itu, tentu saja masih menggunakan kompor minyak tanah. Alasannya jelas, LPG konversi belum datang dan kalaupun sudah datang belum tentu juga kompor LPG tersebut digunakan.

Sekitar lima liter minyak tanah yang saya peroleh kemarin, saya antarkan ke tempat tinggalnya. Saya hanya meminta dia menebus harga minyak operasi pasar tersebut sesuai harga subsidi (sekitar sepuluh ribu rupiah). Sungguh sebuah rejeki yang tidak dinyana-nyana bagi keluarganya. Di saat stok minyak mereka menipis, datang harapan baru dari lima liter minyak yang saya bawa. Buat teman saya itu, lima liter minyak sama saja dengan makan 1 sampai dengan 2 minggu. Tanpa minyak tanah, teman saya itu mungkin harus benar-benar membeli biskuit kaleng …

Dari peristiwa itu, saya berpikir dengan kusut. Sebetulnya, apa yang terjadi di negeri ini ? Saya mencintai negeri ini sama seperti saya mencintai Tuhan saya. Di sinilah saya dilahirkan dan dibesarkan. Tapi di negeri ini juga, saya dikhianati oleh segelintir orang yang sibuk mengenyangkan dirinya sendiri. Apakah saya mampu mencintai negeri ini dengan segala kekurangannya ? Saya selalu ingin menjawab bisa, walau berat …

Saya selalu mencoba menjawab bisa, ketika melewati sawah-sawah yang menghijau indah. Walau petaninya menahan kelaparan. Saya selalu mencoba menjawab bisa, ketika melewati pinggiran hutan yang sejuk rindang. Walau di dalamnya habis ditebang. Saya selalu mencoba menjawab bisa, ketika memandang lautan yang berdebur mesra. Walau nelayannya tak memperoleh ikan.

Kadang saya ingin mengubah jawaban saya tentang kecintaan mutlak terhadap negeri ini. Kadang, saya ingin berkata, “Saya akan mencintai negeri ini sejauh yang saya bisa. Saya akan menyayangi negeri ini sejauh yang saya mampu. Saya akan mencintai negeri ini ketika kepalsuan dan kemunafikan telah pergi menghilang !!!”

Mencintai tidak harus memiliki. Demikian kata pepatah lama, dan mungkin itu juga yang akan menimpa saya dan ratusan juta jiwa masyarakat Indonesia. Saya mencintai Indonesia, tapi saya juga harus siap kehilangan dia. Indonesia bukan milik saya yang memiliki cinta. Tapi milik mereka yang munafik dan mengumbar janji.

Salam …

No comments: