Saturday 26 April 2008

Aku cinta WC

Rabu, 23 April 2008

Uuuuugh …

Sakit perut ternyata bukan sakit kacangan. Yang namanya sakit tetap saja sakit. Kenyataan itu saya rasakan hari ini, setelah menyaksikan pertandingan semifinal leg pertama liga champions eropa antara Chelsea dan Liverpool. Perut terasa mual sedangkan dari arah tenggorokan saya merasa ingin muntah. Perlahan tapi pasti tubuh saya mulai lemas. Dan rasa lemas itu makin bertambah ketika saya telah empat kali ke WC sebelum menuliskan artikel ini. Oh WC, aku jatuh cinta kepada dirimu …

Sakit perut, terutama yang mengarah ke muntaber (muntah berak) bukan hal sepele di negeri ini. Kesannya komikal sekali, jika kita mendengar ada seseorang di republik ini pada hari ini dinyatakan meninggal karena muntaber. Tapi melihat kenyataan tentang cara hidup masyarakat kita, kematian akibat muntaber bukanlah sesuatu yang lucu namun justru merupakan suatu peristiwa yang serius.

Jika anda yang sakit perut atau muntaber, sedang mencari tahu penyebab rasa sakit tersebut, niscaya anda memahami masalah ini. Muntaber diawali oleh kebiasaan kita yang jorok dan menyepelekan kesehatan. Tidak sedikit dari kita yang mengasumsikan bahwa apa yang kita makan dan minum adalah sehat. Tidak sedikit dari kita yang membiasakan diri dengan rokok, membuang sampah di sungai, meludah sembarangan sampai malas cuci tangan. Semuanya berakibat sama, PENYAKIT.

Oke, jika telah terjangkit penyakit buntutnya hanya ada dua, yaitu dokter dan obat.

Berbicara soal dokter, sebetulnya berapa jumlah dokter di republik ini ? Dari seluruh dokter yang ada tersebut, berapa yang bersedia ditugaskan ke daerah-daerah terpencil ? Dan dari seluruh dokter tersebut, berapa dokter yang bersedia menurunkan tarifnya ?

Saya yakin, dokter di negeri ini cukup banyak tetapi jumlahnya cenderung menurun baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Alasannya, untuk menciptakan satu dokter yang mumpuni, biayanya cukup mahal. Sehingga, calon dokter di negeri ini berasal dari kaum elite-borjuis yang mempunyai kecukupan modal untuk biaya pendidikan. Sayangnya, tidak semua calon dokter ini berbakat dan memiliki niat yang kuat untuk menjalani profesi dokter. Akibatnya, dokter-dokter di masa depan bukanlah dokter dengan kualitas yang mumpuni.

Dari semua dokter yang ada tersebut, sangat sedikit yang berminat untuk menjejakkan kaki di luar pulau jawa. Alasannya, bukan hanya karena kultur yang berbeda namun tidak memiliki modal yang kuat untuk melakukan pendekatan dan komunikasi. Alasan kedua, mereka berkuliah dengan modal sendiri, jadi untuk apa memenuhi permintaan pemerintah sebagai dokter di luar pulau. Alasan ketiga, semua dokter ingin segera balik modal (pendidikan), jadi, tidak rasional membuka praktik dokter di tempat terpencil yang daya belinya rendah.

Yang kedua, mengenai masalah obat. Obat, kian hari kian mahal bukan hanya karena biaya produksinya semata namun juga karena tingginya biaya riset. Tingginya biaya riset, disebabkan oleh bermunculannya penyakit baru yang bermunculan di tengah peradaban manusia. Jika dulu, peradaban manusia telah berkenalan dengan campak, cacar dan hepatitis, kini adalah masa dari penyakit flu burung, HIV dan sejumlah penyakit baru yang lain. Konon, beberapa penyakit yang ada di masyarakat kita seperti influenza, sampai saat ini belum ditemukan obatnya. ‘Obat’ influenza yang kita temui di pasaran, sesungguhnya bukanlah obat flu, melainkan peredam rasa sakit dan pembius sementara bagi virus influenza.

Di tengah mahalnya obat-obatan tersebut, obat-obat yang tidak jelas juntrungnya bermunculan di pasar. Ada yang asli tapi palsu (aspal). Ada juga yang betul-betul palsu. Obat ‘aspal’ adalah obat yang telah jatuh masa kadaluwarsa, namun tetap dijual dengan mengganti tanggal kadaluwarsanya. Obat-obat ini berasal dari kecerobohan kita terhadap obat-obat yang tidak kita gunakan lagi dengan cara membuangnya langsung di tempat sampah. Ternyata, obat-obat tersebut masih dianggap layak pakai oleh ‘sebagian orang’. Sedangkan yang tergolong obat-obatan palsu, memang dibuat dengan cara yang ngawur dan tidak memiliki dasar keilmuan farmasi. Akibatnya, bukan sembuh tapi malah koit …

Karena itulah, sehat itu mahal. Termasuk di dalamnya sehat dari ancaman sakit perut dan juga cacingan. Hehehe …

Bagaimana tidak ? Kita bisa saja mendiagnosis bahwa ketika perut terasa sakit, pilihannya ada tiga yaitu masuk angin, diare (muntaber) dan maag. Tapi apa benar begitu, bagaimana kalau ternyata kita mengalami radang usus, radang lambung atau usus buntu ? Kita malas pergi ke dokter karena tarifnya mahal. Eeeh … sudah minum obat, obatnya pun palsu dan ‘aspal’. Akibatnya, yang sakit bukannya sehat tapi malah tersengal-sengal …

Ini baru soal sakit perut (yang saya asumsikan sendiri), bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengalami penyakit ‘aneh-aneh’ lainnya yang biaya pengobatannya bisa mencapai jutaan rupiah ? Berbagai program kesehatan yang digalakkan oleh Menteri Kesehatan, kenyataannya dipergunakan oleh beberapa oknum birokrat dan finansial. Untuk itu perlu dicari jalan keluar yang baru terhadap masalah ini.

Dulu, kita punya posyandu dan PKK. Sekarang, gaungnya tiada lagi … saya jadi kangen zaman Orde Lama. Posyandu dan PKK perlu digalakkan lagi oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Wanita. Tentu, salah satu misinya adalah memberikan edukasi tentang gaya hidup sehat dan tindakan preventiv terhadap penyakit-penyakit sederhana (seperti diare). KB juga dapat digalakkan kembali …

Tapi saat ini, itu semua rasanya hanya mimpi. Apa bisa hal itu diwujudkan ? Saat ini masyarakat lebih suka rebutan minyak tanah, minyak goreng dan rebutan sembako. Wajar saja … karena semuanya sekarang serba mahal. Membelanjakan seribu rupiah saja, kita perlu bersikap bijaksana apalagi yang harganya mencapai ratusan ribu atau malah jutaan rupiah. Kita lebih suka belanja handphone baru yang tidak memiliki pulsa demi mengejar gengsi daripada mencadangkan sejumlah uang untuk biaya kesehatan kita, istri kita dan juga anak kita.

Aaakh … gara-gara gengsi, sakit perut pun bisa jadi merana …

Salam …

No comments: