Saturday 26 April 2008

Maling sandal masih ada lho !!!

Senin, April 7 2008

Kejadian ini bisa dideskripsikan sebagai sebuah kejadian yang unik sekaligus ‘klise’ tapi tetap saja kampungan.

Sore tadi saya berangkat ke Masjid Agung Sunan Ampel di kawasan Ampeldenta, Surabaya. Jika anda bingung mengenai kawasan tersebut, anda akan menemuinya di sebelah timur kawasan Jembatan Merah Surabaya setelah melewati kawasan Kya-Kya Kembang Jepun (China Town District). Kawasan ini terletak di sebelah utara Surabaya, yang sebagaimana layaknya kawasan pesisir di Indonesia dihuni oleh etnis India-Arab dan ‘pribumi’ yang kebanyakan bekerja sebagai nelayan. Dan sebagaimana kawasan pesisir lainnya di Indonesia, kawasan-kawasan ini identik dengan kemiskinan.

Tujuan saya datang ke Masjid Ampel sore tadi hanyalah sebuah perjalanan santai-santai yang ‘diselenggarakan’ tetangga saya. Saya sebut perjalanan santai, karena kenyataannya saya hanya ingin mencoba melakukan prosesi ibadah shalat maghrib dan pengajian yang rutin diadakan setiap senin. Maklum, kata para ulama, tempat-tempat seperti kawasan wali (di Jawa disebut para Wali Sanga) adalah sama-sama memiliki kekuatan spiritual yang sama dengan syekh-syekh dari dataran Nabi (Arab dan tetangganya). Tempat-tempat yang ma’bul tersebut merupakan tempat-tempat di mana persentase do’a seseorang diijabah (diridhai - dikabulkan) oleh Allah SWT.

Harapan saya setelah menjalani prosesi tersebut, adalah membawa sesuatu yang baru bagi jiwa saya. Menjadikan perspektif yang bersifat duniawi, memperoleh keseimbangan yang baru dengan perspektif yang bersifat akhirat. Tentunya, untuk mencapai keseimbangan yang nyata tersebut, saya harus mengaplikasikan wejangan-wejangan sang ustadz dalam konsep-konsep logika praktis sehari-hari. Bukan bermaksud menyinggung, tetapi faktanya ceramah-ceramah di Indonesia bukanlah merupakan konsep ceramah yang komprehensif yang menyeimbangkan antara etika dan logika, antara dunia dan akhirat.

Ceramah yang tidak komprehensif tersebut membuat yang miskin dan terpuruk bangga dengan kemiskinannya, dan diwajibkan menuntut kepada yang kuat dan kaya. Sedangkan yang kuat dan kaya selalu dituntut untuk ‘sadar’ dan mau berbagi. Pemisahan dunia dan akhirat itu sendiri -terutama di kantong-kantong tradisionalis- membuat dzikir hanya dikenal sebagai dzikir lisan dan hati, bukan dzikir kerja yang bernilai kejujuran dan amanah. Seumpama digambarkan, masyarakat kita senang sekali dengan teorema-teorema mu’jizat maupun karomah yang hingga kini belum mampu dijelaskan tataran ilmiahnya. Bahkan sampai saat ini, masih banyak para ustadz yang memberikan ‘amalan-amalan’ bagi para santrinya. ‘Amalan-amalan’ tersebut berupa dzikir¬-dzikir tertentu yang harus dibaca berkali-kali pada waktu tertentu -untuk mendekatkan rezeki dan jodoh-.

Dan alkisah pada sore tadi, celetukan guyonan sang ustadz pun keluar, “Wong Jawa iku ora bakal isa nyanggupi kakuatan lan kasugihan. Nek panjenengan mboten percaos, kathah saking panjenenengan diwenehi kasugihan … nanging -wis tah lah- alasane akeh kanggo nglepataken bab budhal kaji. Sing kaji niku malah tiyang-tiyang ingkang mboten sugih, nanging malah tiyang-tiyang mlarat.” (Orang Jawa itu tidak akan bisa menerima kekuatan dan kekayaan. Kalau saudara sekalian tidak percaya, banyak dari saudara yang sudah diberikan kekayaan, tapi tetap saja banyak alasannya untuk melupakan masalah haji. Kenyataannya, justru yang menunaikan haji itu bukan saudara-saudara yang kaya, tetapi adalah saudara-saudara yang miskin.)

Bahwa haji itu mahal, itu adalah hal yang pasti. Lantas bagaimana mungkin orang-orang miskin seperti saya bisa menunaikan haji ? Apakah kelak saya akan menunaikan haji dengan mengemis dan berharap-harap mendapat tiket haji dari sebuah undian minuman ringan ? Padahal haji itu, ditujukan bagi mereka yang mampu secara finansial dan punya tekad iman yang ‘penuh’. Jadi, tidak mungkin orang miskin bisa haji -dan bahkan tidak diwajibkan berhaji jika memang tidak mampu- sekalipun khusyu’ mengejar akhirat dengan berdzikir dan berdo’a berkali-kali. Logika yang paling mungkin adalah, orang yang belum mampu berhaji harus berdo’a dan berikhtiar dengan cara-cara yang etis dan Islami. Bukan berdo’a dan mengharap durian runtuh.

Kenyataan bahwa logika “orang Jawa sanggup melarat tapi ‘diterima’ Allah” tersebut gagal, adalah ketika saya hendak pulang dari Masjid Ampel. Anda tahu apa yang terjadi ? SANDAL SAYA HILANG. Dengan demikian, gugur sudah logika “melarat tapi diterima Allah”. Tragedi sandal hilang itu juga menyebabkan saya mempunyai thesis baru untuk menentang ustadz, bahwa, “Orang Jawa selain tidak sanggup menerima kekayaan, juga tidak sanggup menerima kemiskinan. Jika kekayaan dan kemiskinan sebagai pemberian Allah tidak disanggupi amanahnya, berarti Orang Jawa itu adalah orang yang kufur dan kafir.”. Hal itu akan menjadi lebih ironis lagi, mengingat tempat kejadian perkara (TKP) adalah kawasan religius. Jika orang-orang yang datang ke kawasan tersebut adalah sekumpulan orang yang memohon petunjuk Allah atas segala ujian berupa kemalangan rezeki, jodoh dan kematian, mengapa mereka tega menyakiti sesamanya ? Padahal agar sebuah do’a dikabulkan, yang berdo’a harus suci dari segala lelaku dosa. Bebas dari lelaku mencuri -sandal-, mencopet, menjambret, dll.

Akhirnya, bercampur dengan segala rasa jengkel dan syukur, saya berharap agar di masa mendatang kawasan religius harus membawa perbaikan mental bagi para peziarah maupun bagi masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Seiring dengan rasa jengkel dan syukur tersebut, saya juga tertawa mengingat cerita seorang rekan kerja beberapa tahun yang lalu di kawasan Ampeldenta. Rekan kerja tersebut, juga kemalingan. Tetapi, itu adalah kemalingan yang konyol. Bayangkan saja jika anda kehilangan karet pelindung handle kemudi sepeda motor, tetapi yang dicuri hanya sebelah !!! “Kalau memang mau mencuri kenapa tidak dicuri sepasang ? Kenapa dicuri cuman sebelah doank. Bikin jelek sepeda motor saya saja !!!”, begitu keluhnya kala itu. Jika mengingat ironi itu, saya juga teringat dengan kalimat teman saya di Purwokerto beberapa tahun lalu. Begini katanya :

“Di sekitar sumber air, selalu ada MCK (Mandi Cuci Kakus). Jadi, di sekitar yang baik-baik akan selalu ada yang kotor-kotor. Itu sudah hukum alam. Harapan kita, tentu saja hal-hal yang baik akan membersihkan yang kotor-kotor. Kamu setuju tentang hal itu kan ?”

Salam …

No comments: