Saturday 26 April 2008

Desain dan Makna

Minggu, 16 Maret 2008

Saya baru saja membaca sebuah buku yang disusun oleh Daniel H. Pink, salah seorang mantan staf ahli pidato kepresidenan USA. Tema buku tersebut, menjelaskan fenomena otak kanan yang akan segera menjadi tren ekonomi dunia. Jika disimak secara serius, sedikit banyak isi buku tersebut menyinggung tentang ekonomi kreatif. Berbicara tentang ekonomi kreativ, memang tidak terlepas dari otak kanan yang mengendalikan kemampuan imajinasi dan seni.

Tanpa perlu menjelaskan tiga sebab ekonomi kreativ (kelimpahan, otomatisasi dan asia), Pink menyebutkan enam unsur ekonomi kreativ, di antaranya adalah desain dan makna. Saat ini, desain dan makna sebagai unsur-unsur pergerakan ekonomi kreativ kian menguat. Tapi, kreativitas kadang tidak punya hati …

Sebagai contoh simple, alkisah, anda pernah makan nasi goreng, demikian juga dengan saya. Karena anda, saya dan orang lain juga pernah makan nasi goreng, tentunya kita semua tahu bagaimana rasa nasi goreng. Nasi goreng itu, ya gitu-gitu aja rasanya. Kalau keadaannya demikian, seorang penjual nasi goreng bisa pusing, karena semua orang toh juga bisa bikin nasi goreng.

Karena itulah, sekarang nasi goreng juga memiliki desain, mulai dari recipe-nya sampai dengan packaging-nya. Semuanya ditujukan, agar nasi goreng bukanlah nasi goreng an sich. Nasi goreng memiliki makna berbeda, baik dari tampilan fisiknya maupun manfaatnya. Bisa saja kan ? Saya membuat nasi goreng organik, nasi goreng golongan darah B atau nasi goreng daging kalong. Bukankah itu masuk akal, seperti halnya Madam Ivan Gunawan, “Jangan gila doooonk, masa seumur hidup, kamu cuman makan nasi goreng yang gitu-gitu aja !”

Tapi pada titik tertentu, saya jadi teringat ketika sedang berjalan-jalan ke mall ataupun hotel-hotel berbintang, kadang hati saya sedikit banyak terasa teriris. Apa sebab ? Nasi goreng …

Masuk akal, bahwa kita membutuhkan sesuatu yang beda dan unik, sesuatu yang memberikan warna dalam hidup kita, Tapi apakah harus semahal itu ? Saya mencoba memahami pemikiran Pink dan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Mungkin contoh tentang nasi goreng adalah contoh yang bagi sebagian kalangan dipandang sempit dan picik. Tapi bagi saya, itu adalah contoh kecil yang menurut pendapat saya … tidak dapat diterima oleh akal saya … akal orang miskin dan tidak berpunya …

Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, ketika melihat paparan harga nasi goreng di mall, luar biasa … satu porsi bisa mencapai puluhan ribu rupiah. Mungkin benar, dalam satu porsi nasi goreng, terdapat biaya bahan baku import, sewa petak mall, biaya koki, biaya pelayan dan yang paling penting biaya image, kenyamanan dan kebersihan nasi goreng. Nasi goreng yang tidak pernah saya cicipi itu, -sudah pasti- menawarkan rasa dan aroma yang unik dan nikmat.

Itulah makna nasi goreng mall, yang diracik dalam desain recipe dan marketing yang baik. Yaitu, nasi goreng dengan kualitas gizi dan hygiene yang terjaga, yang disajikan dalam sebuah situs makan yang nyaman dan tenteram.

Tapi makna tertinggi dari nasi goreng adalah energi kehidupan untuk 6 sampai 8 jam ke depan setelah makan. Apakah untuk memenuhi energi 8 jam, saya harus membayar puluhan ribu rupiah ? Saya merasa tak tega, jika saya harus memesan, saya teringat pemulung yang mengais sampah. Jika saya mengangkat sendok, saya teringat tukang sampah yang menarik gerobak sepanjang hari dan -mungkin- hanya makan 2 hari sekali. Ini bukan omong kosong, banyak berita di televisi, Indonesia telah terjangkit kelaparan dan gizi buruk.

Saya paham bahwa kreativitas adalah ilmu yang tidak dapat ditransfer, dia diketemukan seketika dan dia memberikan sesuatu yang berbeda, memberikan banyak pilihan. Tapi jika semua perbedaan (nasi goreng) itu berujung pada harga -mahal- yang sama, maka perbedaan itu sesungguhnya tidak ada. Mungkin ini hanya didramatisasi. Tapi, kita juga jangan sampai terlena.

Negeri ini ditimpa banyak masalah dan cobaan hampir di segala bidang kehidupan. Kita tidak semestinya menjadikan ini ajang debat kusir, tapi kita perlu merasakan … menghayati permasalahan ini. Khususnya permasalahan mereka yang terpinggirkan dan termarginalkan. Saya hanya mencoba mengingatkan anda tentang fungsi kreativitas dan mengembalikan kepekaan sosial anda.

Jadi, sembari merasakan dan menghayati “mereka”, mari makan nasi goreng bersama saya …

Salam …

No comments: