Saturday 26 April 2008

Perawan tidak semudah itu

Kamis, 13 Maret 2008

Sebetulnya, catatan kali ini hanya berasal dari sebuah pertanyaan saja. Bagaimana sih sebetulnya hakikat keperawanan itu ? Pertanyaan ini terus bergema dalam alam pikiran saya ketika seorang individu yang memainkan 3 status (sahabat, mantan kekasih & musuh) mengirimkan sebuah sms pengakuan. Kurang lebih jika disingkat, sms itu akan bertutur begini :

…aku memang bodoh, aku waktu itu udah percaya banget sama dia. aku sudah nggak virgin lagi. karena itu, aku takut sama ‘calon’ ku sekarang. apakah aku harus ngaku ? atau aku diam saja…

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Tapi apapun jawabannya, hal itu bukan tema bahasan kali ini. Dalam tema bahasan ini, saya hanya mengutarakan pendapat saya tentang, “Bagaimana seseorang dapat dikatakan perawan ?“. Setiap pendapat akan memicu polemik dan kontroversi, tapi hal itulah yang saya tunggu -dari anda. Itupun bila anda bersedia memberikan komentar- untuk memberikan banyak perspektif dalam hidup saya.

Oke. Saya awali pembahasan tentang konsep manusia, karena ini merupakan titik awal perspektif saya tentang tema bahasan kali ini. Perspektif yang saya gunakan kali ini adalah perspektif Islam tentang “unit ke-satu-an”. Manusia sebagaimana alam semesta diciptakan dalam 2 hal, misal gelap-terang, baik-buruk, maskulin-feminin. Namun demikian, 2 hal yang berlawanan itu sekalipun berbeda dan kontradiktif, tetap bersifat saling komplementer.

Bagaimana dengan manusia ? Secara Islami, manusia berwujud dari 2 hal, yaitu aspek immateri (ruh) dan materi (jasad). Mudah saja, jasad tanpa ruh sama dengan mayat. Dan ruh tanpa jasad, mungkin secara sederhana dapat kita sebut sebagai hantu. Jadi, manusia yang utuh adalah manusia yang lengkap, punya jasad, punya jiwa. Akan lebih lengkap lagi, bahwa yang termasuk dalam jiwa adalah akal (pemikiran) dan budi (perasaan/kejiwaan).

Yang menjadi masalah, ternyata aspek ruh manusia begitu rumit dan canggih. Mengapa ? Karena kenyataannya, aspek ruhaniyah manusia diciptakan Tuhan begitu berbeda dengan makhlukNya yang lain. Manusia diciptakan Tuhan, sebagai refleksiNya, dengan kata lain manusia memiliki beberapa daya yang bolehlah dikatakan menyamai Tuhan dalam batasan tertentu. Manusia memiliki kehendak (free will), daya kreasi dan kebijaksanaan.

Daya-daya inilah yang menyebabkan manusia berbeda dan tidak setara dengan kerajaan flora dan fauna. Bahkan juga tidak setara dengan malaikat. Boleh dikatakan manusia ada karena manusia berpikir. Dan juga dapat disebut manusia ada karena manusia adalah makhluk berbudaya (Bukankah hewan dan malaikat tidak berbudaya ?). Dapat diambil kesimpulan bahwa manusia memiliki kedudukan yang spesial di mata Tuhan. Manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi. Keistimewaan manusia terletak pada karakter yang ditanamkan oleh Tuhan ke dalam tiap tiupan ruh. Hewan dan tumbuhan beserta alam adalah objek. Malaikat ? Mungkin hanya sebagai pengawas. Sedangkan manusia adalah subjek yang memiliki kehendak dan daya-daya kreativitas.

Jadi, andaikata seekor babi diberikan ruh manusia, maka mungkin babi tersebut juga manusia. Lagipula, siapa yang tahu ? Andaikata Tuhan dulu menetapkan tubuh babi sebagai “wadah” ruh manusia. Maka, secara wujud (materi) atau secara simbolis semua dari kita bertubuh babi. Bahwa kemudian, manusia digolongkan sebagai makhluk menyusui berkaki dua, hidup di darat dan berbeda dari monyet, itu hanya deskripsi kita yang disepakati bersama. Sama saja dengan warna. Mungkin moyang kita dulu sepakat bahwa warna lampu lalu lintas paling bawah adalah hijau, sehingga sampai sekarang pun kita menyebut warna tersebut warna hijau. Tapi bagaimana, jika dulu moyang kita –dan kita sendiri- bersepakat bahwa warna lampu tersebut adalah ungu. Mungkin sekarang kita tidak akan mengenal warna hijau dalam sistem lampu lalu lintas.

Apapun itu, aspek ruhaniyah dan aspek ragawi memiliki kedudukannya masing-masing, serta memiliki porsinya masing-masing. Keduanya penting, dan tidak terelakkan, karena faktanya adalah demikian. Yang patut dipahami sebetulnya adalah cara pandang kita dan berusaha mendudukkan tiap masalah pada porsinya masing-masing. Jadi, ada apa dengan perawan ? Hehehe … …

Apa hubungannya dengan perawan ? Menjawab pertanyaan ini harus dengan mengembalikan pertanyaan itu sendiri ke dalam dua hal. Yaitu simbol dan hakikat. Jadi, sebetulnya pertanyaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah, “Perawan itu simbol atau hakikat ?”. Jika pertanyaan ini terjawab, sebetulnya kontroversi tentang keperawanan itu sendiri dapat diakhiri. Kontroversi tentang keperawanan memang diawali oleh perspektif simbol dan hakikat.

Secara simbolik, dapat dikatakan perawan atau perjaka, jika sesosok anak manusia belum melakukan hubungan intim dengan lawan jenis -ataupun sesama jenis- melalui mekanisme lembaga pernikahan sebagai wujud komitmen berumah tangga dalam nuansa cinta kasih. Jadi menurut saya, aksi hubungan intim dengan landasan suka sama suka tanpa legalitas pernikahan, secara simbolis telah menggugurkan virginitas seseorang. Hal yang sama juga berlaku, dalam kasus kawin kontrak dan pemerkosaan, karena ketiadaan komitmen. Komitmen pernikahan berlangsung sepanjang usia. Bahkan perceraian tidak akan menghapus komitmen itu. Karena setelah perceraian pun, masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban masing-masing.

Secara hakikat, dapat dikatakan perawan jika seseorang memiliki niat, tekad dan mentalitas untuk menjadi perawan. Apa maksudnya ? Normally, setiap anak manusia ingin menyerahkan keperawanannya kepada orang yang dicintai, dikasihi, disayangi dan bersedia memberikan komitmen hidup kepada pasangannya. Hakikat adalah penting, terutama untuk mengangkat mental mereka yang diperkosa, diperdagangkan dan dilecehkan secara seksual, baik oleh sesama maupun lawan jenisnya. Mereka yang menjadi “korban” harus dicerahkan jalan hidupnya. Semua itu agar mereka (si “korban”) tumbuh dan berkembang tanpa takut dicemooh dan dikecilkan atas perspektif (pandangan) yang -secara awam- mendiskreditkan mereka. Sebagai tambahan, mereka yang menjadi “korban” adalah mereka yang dipaksa, bukannya “korban” penyesalan atau kekhilafan.

Yang menjadi masalah -terutama dalam Islam- adalah konsep kesatuan. Pengertian yang agak berbeda juga dipahami oleh aliran sekuler. Pertama, dalam konsep Islam tidak ada pemisahan jiwa dan raga. Manusia adalah terdiri dari tubuh dan ruh, ketiadaan keduanya atau satu di antara keduanya, memastikan subjek tersebut tidak dapat dianggap manusia. Kedua, dalam konsep sekuler materi adalah fakta, wujud adalah kebenaran dan logika adalah alat analisa. Itu berarti, hampir semua hal di dunia sekuler dinilai berdasarkan kepemilikan materi (termasuk di dalamnya kekayaan, dan dalam konteks keperawanan adalah tubuh).

Jadi ketika teman saya bertanya tentang keperawanan, dinilai dari konsep Islam maupun konsep sekuler dia sudah tidak perawan. Dari sudut pandang sekuler, ketika dua organ kelamin bertemu, itu sudah menggugurkan virginitas. Apalagi dari sudut pandang Islam yang mengakui manusia memiliki jiwa dan raga. Memiliki hakikat berupa ruh (akal budi yang terintegrasi) dan simbol berupa jasad (tubuh). Ketika salah satu dari keduanya dicederai, maka kesatuan hakikat dan simbol itu sendiri sudah gugur. Kasarnya, percuma ngaku perawan (jejaka/gadis) kalau sudah tidur dan atau ditiduri oleh lawan jenis.

Tapi apakah pandangan-pandangan tersebut dapat selalu dibenarkan ? Bagaimana dengan korban-korban perkosaan, human trafficking dan sexual abuse ? Apakah hati dan jiwa mereka tidak hancur, dikatakan unvirgin jika mereka tidak menginginkan “pergumulan” itu. Pada titik inilah kita perlu mendudukkan setiap masalah dalam porsi dan dosis obat yang benar. Kita perlu flexible, dalam beberapa bab tertentu kehidupan kita.

Saya sendiri, pada akhirnya menyetujui, bahwa mereka yang diperkosa, dilecehkan dan diperdagangkan sebagai pemuas nafsu seksual, sementara mereka sendiri tidak menginginkannya masih dapat dikatakan sebagai perawan. Sekalipun dalam Islam terdapat konsep kesatuan ruh dan jasad, kesatuan simbol dan hakikat, bagaimanapun hakikat adalah inti. Analoginya, boleh saja sesosok subjek bertubuh manusia, tapi kalau cara hidupnya persis sama dengan hewan, maka subjek tersebut pantas disebut sebagai hewan. Sekali lagi, manusia ada karena manusia berpikir -dan juga berbudaya-, manusia adalah sosok perawan, karena mereka berpikir bahwa mereka perawan.

Saya rasa, itu adalah jawaban paling bijaksana dalam pandangan saya untuk kasus perawan dan tidak perawan. Selebihnya tergantung dengan kejujuran dan kebeningan hati. Dan lebih tepat lagi jika saya mengutip satu bagian kalimat surat Al-Ankaabut ayat 10 sebagai berikut :

…bukankah Allah lebih tahu apa yang tersimpan dalam dada setiap manusia ? …

Jadi, bagaimana dengan anda ?

No comments: