Saturday 26 April 2008

Sopir kita driver F-1

Selasa, 18 Maret 2008

Hari ini bukan hari yang indah, tapi juga bukan hari yang buruk. Menyenangkan, karena setidaknya saya bertemu dua orang wanita cantik yang tidak saya kenal. Yang pertama, saya temui di gedung dekanat FE. Dia sedang menuliskan administrasi kelengkapan surat izin penelitian saya. Dari wajahnya, dia tampak sedikit kesal, karena saya berniat mengirimkan 16 surat izin. Otomatis, dia harus melengkapi 16 surat tersebut, padahal dia menginginkan segera beristirahat -dan mungkin juga shalat-. Saya maklum, ini memang jam istirahat. Setelah, seluruh administrasi selesai, saya mengucapkan sesuatu yang sedikit banyak berhasil membuat dia tersenyum manis, “Terima kasih, karena sudah mau saya kerjain, kalo kamu memang berpikir begitu.”. Dia pun mengucapkan, “Terima kasih juga.”. Kadang, sampai hari ini, senyumnya bikin saya gede rumangsa. Hehehe …

Yang kedua, saya temui di mikrolet AMG. Tidak ada yang spesial, karena kami tidak memiliki kepentingan apapun, dan hubungan apapun. Maka kami berdua cuma bisa saling pandang walau sesaat. Tapi jujur saja, gadis ini cantik sekaligus manis, perangainya juga sangat manja dan ngegemesin. Sayang, dia harus turun di daerah Blimbing, Kota Malang. Kadang, saya hanya berpikir, bahwa andaikata seseorang tidak mudah punya prasangka macam-macam, setiap orang pasti mudah saling kenal dan sapa. Kekhawatiran itu pula yang melanda saya, sehingga saya tidak mampu berkenalan dengannya. Ya sudahlah …

Yang justru jadi topik pembicaraan kali ini ialah tentang fenomena transportasi di negeri kita, Indonesia Raya. Harus kita akui, bahwa sistem transportasi di negeri ini benar-benar carut-marut. Dalam kenyataan itu, nyawa manusia benar-benar dihargai sebesar lembaran tiket. Bagi saya yang gemar naik kereta api ekonomi (KA Penataran), berarti nyawa saya hanya dihargai Rp. 4.500,00 per hantaran. Sebagai tambahan, anda juga jangan berhenti berpikir sampai di situ, karena dalam sistem transportasi massal KA ekonomi, waktu kerja kita juga tidak dihargai. Alasannya KA telat lah, ban-nya bocor lah, banyak polisi tidur lah … hehehe …

Berhubung hari itu saya gagal mengejar KA Penataran pada jam 12 siang, maka saya memutuskan untuk naik bus AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi). Bus AKDP kelas ekonomi -lagi-. Tentang sistem transportasi bus, reputasinya jangan ditanya lagi … reputasi moda bus di republik ini dapat diberikan titel “NGEBUT plus BLONG JAYA”. Ya, anda boleh tertawa. Tapi, juga sahih jika anda -ingin- menangis, karena pernah mengalami kenangan buruk dengan moda transportasi yang satu ini. Tak terhitung korban luka ataupun menyetorkan nyawa mereka kepada Tuhan YME, akibat aksi ugal-ugalan pengemudi bus.

Dan benar saja, bus yang saya tumpangi hari ini benar-benar nekat. Jalur yang berlawanan arah diembat, jarak antar moda merapat dan membelok pun menyikat. Dahsyat. Saya pulang pada jadwal yang tepat. Hehehe … beruntung bus yang saya tumpangi hari ini punya rem yang cukup bisa diandalkan. Tapi di sisi lain, kesan ngebut dan ugal-ugalan tersebut juga mengorbankan hak pengemudi lain. Mereka dipepet, diklakson, dan di-pisuh-i. Khas banget, “Jancok, minggiro !!!”

Mereka, para sopir bus AKDP ini, mungkin sebetulnya layak memperoleh lisensi mengendarai ajang F-1 yang di-manager-i Bernie Ecclestone. Bila perlu, para bos team F-1 macam Flavio Briatore (Renault), Ron Dennis (Mc-Laren) dan Stefano Domenicali (Ferrari) perlu merekrut kelihaian sopir bus AKDP dan AKAP di republik ini. Kita pun tidak perlu terlalu banyak berharap pada pembalap kita macam Ananda Mikola yang bolak-balik gagal masuk F-1. Malah saya yakin, skill Ananda berada jauuuuuuhhhhh di bawah sopir antar kota ini. Jika bukan karena skill factor, Ananda pasti kalah jauh dalam faktor NYALI.

Saya sendiri, tidak paham apakah saya sedang memuji para sopir ini atau sedang menyindir mereka. Yang jelas, para penumpang ingin cepat sampai ke rumah bukan ke kampung akhirat. Hehehe … Tapi bagi saya selain pulang ke rumah, adalah pulang ke rumah tepat waktu. Itu berarti ada aspek kedisiplinan dan keselamatan kerja dalam tiap pengoperasian seluruh sistem transportasi baik bus, maupun moda transportasi lain. Susahnya, penegakan kedisiplinan di republik ini sangat kurang. Itu semua karena kita tidak mau berdialog, semua ingin menang sendiri, semua sok jagoan … jadi jangan berharap banyak pada tilang dan denda. Percuma !!!

Sampai di Bungurasih Surabaya, saya harus naik moda L-300 (Mitsubishi Colt) menuju terminal Joyoboyo. Di situ saya harus berhadapan lagi dengan kenyataan bahwa manusia, tidak pernah dianggap sebagai manusia dalam bisnis transportasi. Kendaraan yang sudah penuh, terus menerus dijejali penumpang. Penjejalan tersebut sampai kepada kenyaataan bahwa saya tidak mampu merogoh kantong untuk membayar moda tersebut. Ketika saya berhasil membayar pun, saya membayarnya dengan bersungut-sungut. Eh, bukannya minta maaf, saya malah di-charge seribu rupiah lebih mahal dari penumpang lain. Brengsek !!!

Sampai di Joyoboyo saya ingin menyampaikan kritik saya, tapi kernet dan sopir Colt tersebut sedang sibuk mencari penumpang lain. Penumpang yang bersedia dijejalkan ke dalam moda tersebut sejauh 4 kilometer dalam waktu kurang lebih 20 menit dari Joyoboyo ke Bungurasih, di-charge dengan biaya Rp. 4.000,00. Dalam hati saya hanya bisa bersumpah serapah, “Semoga kelak kamu sekalian kecelakaan dalam perjalanan pulang kerja, tanpa mengangkut penumpang satupun !!!”

“Oh Tuhan, ampunilah kami yang berbisnis di bidang transportasi. Karena kami menjejal-jejalkan anak manusia ke dalam sebuah gerbong dan kabin yang tidak layak bagi mereka. Ampunilah kami dengan menghela nyawa kami saja di lintasan KA, di jalanan, di lautan dan di udara. Semoga itu cukup bagimu ya Tuhan !!!”

Salam …

No comments: